Ketegangan antara Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bukan lagi sekadar isu regional, melainkan telah menjelma menjadi persoalan geopolitik global yang menyimpan potensi eskalasi besar.
Di tengah dunia yang masih bergulat dengan dampak pandemi COVID-19 dan perang berkepanjangan di Ukraina, dinamika di Selat Taiwan menjadi pusat perhatian baru dalam percaturan politik internasional.
Jika tidak dikelola dengan bijak, konflik ini berpotensi menjadi percikan awal dari perang besar berikutnya yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia.
RRT secara konsisten menjelaskan prinsip “One China Policy”, yaitu bahwa hanya ada satu China dan Taiwan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kedaulatan nasionalnya.
Pandangan ini menjadi fondasi utama kebijakan luar negeri dan pertahanan Tiongkok. Dalam pandangan Beijing, segala bentuk hubungan diplomatik negara lain dengan Taiwan merupakan pelanggaran terhadap prinsip tersebut dan bentuk campur tangan terhadap urusan dalam negerinya.
Namun kenyataannya, Taiwan telah berfungsi secara de facto sebagai negara merdeka, dengan sistem pemerintahan demokratis, mata uang sendiri, militer yang otonom, serta hubungan dagang dan diplomatik dengan banyak negara.
Seiring dengan perkembangan situasi global dan meningkatnya ketegangan antara blok Barat dan Timur, beberapa negara mulai menunjukkan keberanian untuk membuka hubungan diplomatik secara terbuka dengan Taipei.
Langkah ini tentu saja dianggap sebagai ancaman langsung terhadap legitimasi dan kedaulatan oleh RRT.
Sebagai response, Tiongkok meningkatkan tekanan politik, ekonomi, dan militer terhadap Taiwan, termasuk melakukan latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan dan menerbangkan pesawat tempur ke zona pertahanan udara Taiwan.
Di sisi lain, Amerika Serikat memainkan peran ambigu namun strategis. Meskipun secara resmi tetap mendukung kebijakan “One China”, AS juga memiliki komitmen kuat untuk membantu pertahanan Taiwan melalui Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act).
Melalui kebijakan ini, Washington terus menjual senjata canggih kepada Taipei dan melakukan latihan militer bersama secara berkala.
Bagi AS, Taiwan tidak hanya penting secara strategis sebagai benteng pertahanan di Asia Timur, tetapi juga merupakan simbol perlawanan terhadap ekspansi otoritarianisme global yang dipimpin oleh Cina dan Rusia.
Dalam skenario di mana Taiwan secara resmi diakui sebagai negara merdeka oleh komunitas internasional atau jika Cina memutuskan untuk melakukan invasi militer secara terbuka, maka dunia akan menghadapi titik balik yang kritis.
Kemungkinan besar, AS tidak akan tinggal diam, dan akan melibatkan sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan negara-negara anggota NATO dalam upaya membela Taiwan.
Ini akan memicu konflik terbuka antara dua blok besar dunia: blok liberal-demokratis pimpinan Amerika Serikat dan blok otoriter yang terdiri dari Cina dan Rusia.
Keterlibatan Rusia dalam skenario ini menjadi faktor penentu tambahan. Di tengah keterlibatannya dalam konflik berkepanjangan dengan Ukraina, Rusia memiliki kepentingan besar untuk memperkuat hubungannya dengan Cina.
Dukungan Rusia terhadap Beijing dalam konflik Taiwan akan menciptakan front baru yang membelah dunia, tidak hanya secara militer tetapi juga secara ideologis.
Bagi Ukraina, situasi ini bisa menjadi peluang strategis. Jika fokus militer Rusia terbagi antara Eropa Timur dan Asia Timur, Ukraina mungkin akan melihat celah untuk memperkuat posisi mereka dan bahkan melancarkan serangan balik terhadap wilayah yang dikuasai Rusia.
Koalisi dua kutub besar ini akan menyeret banyak negara ke dalam ketegangan berskala global.
Keterlibatan berbagai negara dengan kepentingan yang saling tumpang tindih akan menciptakan efek domino yang mengancam stabilitas dunia.
Bukan tidak mungkin, konflik lokal di Selat Taiwan dapat berkembang menjadi perang dunia ketiga, yang melibatkan senjata berteknologi tinggi, termasuk kemungkinan penggunaan senjata nuklir, siber, dan drone militer otonom dalam skala luas.
Namun demikian, ancaman tersebut masih dapat dicegah. Dunia internasional memiliki tanggung jawab besar untuk menghindari eskalasi konflik melalui jalur diplomasi.
Dialog multilateral yang melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Cina, Rusia, Jepang, dan negara-negara ASEAN harus terus diperkuat.
Organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, dan G20 perlu memainkan peran aktif dalam menciptakan ruang dialog dan solusi damai.
Baca juga: Generasi Muda Indonesia dan China Jalin Persahabatan melalui One Indonesia
Pendekatan diplomatik berbasis kompromi, penghormatan terhadap kedaulatan, dan kerja sama ekonomi dapat menjadi kunci untuk meredakan ketegangan.
Dunia berada di ambang ujian sejarah. Apakah Taiwan harus diakui demi prinsip demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri? Atau harus ditunda demi menghindari perang besar yang bisa menghapus tatanan global? Pilihan ini tidak pernah mudah.
Tapi jika salah langkah, harga yang dibayar bisa sangat mahal: perang dunia ketiga.
Penulis: Rimanalda Andarughea Ayatanoi
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih, Jayapura Papua
Referensi
Council on Foreign Relations. (2024). China-Taiwan Relations. https://www.cfr.org/backgrounder/china-taiwan-relations
Unset cover
Akankah Ketegangan Politik antara Cina dan Taiwan memicu Perang Dunia ke-3?
The Diplomat. (2023). Could a China-Taiwan Conflict Spark World War III? https://thediplomat.com/
Global Times. (2023). China-Russia strategic partnership in the face of global tensions. http://www.globaltimes.cn/
CNN. (2024). Russia backs China on Taiwan: What it means for the world. https://edition.cnn.com/
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News