Paradoks Demokrasi Ekonomi: Antara Amanat Konstitusi dan Kenyataan
Jurnal ini secara kritis mengupas paradoks besar dalam perekonomian Indonesia. Di satu sisi, Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, menempatkan negara sebagai pengelola utama sumber daya strategis demi kemakmuran rakyat.
Namun, dalam praktiknya, realitas ekonomi nasional justru semakin menjauh dari cita-cita tersebut. Dominasi asing di sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur telah mencapai 72% menurut BPS 2023, jelas bertentangan dengan amanat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang penguasaan sumber daya oleh pihak asing secara dominan.
Contoh paling nyata adalah penguasaan tambang emas Papua oleh Freeport yang mencapai 51%, jauh melampaui kepemilikan BUMN nasional.
Baca juga: Membangun Tanggung Jawab Ekonomi Berkelanjutan: Dari Profit Menuju Dampak Jangka Panjang
Legislasi Ekonomi: Antara Kepentingan Oligarki dan Perlindungan Rakyat
Pasal 20 UUD 1945 memberikan mandat kepada DPR untuk membentuk undang-undang di bidang ekonomi.
Namun, jurnal ini menunjukkan bahwa produk legislasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Penanaman Modal justru lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar dan investasi asing.
Proses legislasi seringkali minim partisipasi publik yang substansial hanya 5% pelaku UMKM yang benar-benar diundang dalam sosialisasi dan konsultasi publik.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan kerap mengabaikan suara pelaku usaha kecil dan menengah, serta koperasi yang seharusnya menjadi sokoguru perekonomian nasional.
Kegagalan Sistemik Koperasi dan UMKM
Kontribusi koperasi terhadap PDB nasional stagnan di angka 5% selama satu dekade terakhir. Sebagian besar koperasi (80%) masih beroperasi secara tradisional dan kesulitan mengakses teknologi serta pasar yang lebih luas.
Sementara itu, UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat menghadapi tantangan besar: 60% kesulitan akses modal, 80% belum memanfaatkan e-commerce secara optimal, dan mayoritas masih bergerak di sektor informal dengan produktivitas rendah.
Praktik monopoli oleh tiga konglomerat besar yang menguasai 60% pasar ritel nasional semakin meminggirkan posisi UMKM.
Ironisnya, regulasi yang ada justru sering memperparah kondisi ini, alih-alih melindungi ekonomi kerakyatan.
Baca juga: Sistem Pengendalian Manajemen dalam Perusahaan (BUMN) PT. Pertamina
Respons dan Kebutuhan Nyata UMKM
Dari wawancara mendalam dengan pelaku UMKM, teridentifikasi tiga kebutuhan utama:
1. Akses pembiayaan murah dan mudah
2. Pelatihan konkret berbasis pendampingan jangka panjang, bukan sekadar seminar singkat;
3. Proteksi pasar melalui kebijakan yang berpihak, seperti pembatasan harga produk asing di marketplace dan insentif fiskal yang benar-benar menyentuh pelaku usaha kecil.
Namun, hanya 12% UMKM yang benar-benar menikmati insentif dari kebijakan yang ada, sementara sisanya masih terpinggirkan[1].
Solusi dan Rekomendasi Transformasi
Jurnal ini menawarkan solusi konkret berbasis penguatan koperasi 4.0:
1. Akses permodalan melalui jaringan bank desa dan lembaga keuangan mikro.
2. Pengembangan platform digital lokal khusus UMKM.
3. Kemitraan strategis antara koperasi dan BUMN.
4. Revisi UU Cipta Kerja dengan memasukkan klausul spesifik tentang kuota pembiayaan UMKM dan kewajiban konsultasi publik bermakna.
5. Gerakan nasional digitalisasi koperasi dan sanksi tegas bagi pejabat serta korporasi yang mengabaikan amanat konstitusi.
Kesimpulan
Jurnal ini secara tajam menyoroti kegagalan sistemik dalam implementasi demokrasi ekonomi di Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 yang seharusnya menjadi panglima dalam pengelolaan ekonomi nasional justru terpinggirkan oleh produk legislasi yang lahir dari Pasal 20 UUD 1945.
Ketidakselarasan antara norma konstitusi, kebijakan ekonomi, dan praktik di lapangan menuntut langkah transformatif dan kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan.
Jika tidak segera dilakukan reformasi mendalam, ekonomi kerakyatan akan tetap menjadi jargon kosong tanpa realisasi nyata, dan perekonomian nasional akan terus dikuasai oleh segelintir elit dan kepentingan asing, bukan untuk kemakmuran rakyat banyak.
Pasal 33 UUD 1945 yang begitu gagah mengamanatkan ekonomi kerakyatan justru dikhianati oleh kebijakan-kebijakan turunannya yang cenderung meminggirkan usaha kecil.
Baca juga: Strategi dan Solusi Cerdas untuk Mengelola Cashflow UMKM Demi Stabilitas dan Pertumbuhan Bisnis UMKM
Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional pun telah menjelma menjadi proyek simbolik belaka, dengan kontribusi stagnan 5% terhadap PDB selama satu dekade terakhir – angka yang jauh di bawah potensi sesungguhnya.
Penulis: Kelompok 3
Mahasiswa Jurusan Manajemen, Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News