Permasalahan korupsi di Indonesia layaknya seperti hal yang sudah umum terjadi di setiap masa pemerintahan kepemimpinan tiap presiden. Budaya korupsi yang terjadi di setiap masa pemerintahan sudah seperti perilaku yang mengakar dan selalu menjadi permasalahan bangsa Indonesia.
Akibat maraknya perilaku korupsi tersebut, selalu memberikan harapan pupus serta memberikan beribu-ribu pertanyaan bagi masyarakat, apakah pemerintah dapat dipercayakan kembali kredibilitasnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sudah berjalan kurang lebih 6 bulan (kurang lebih hampir 180 hari), sudah banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap yang membuat masyarakat terkejut, seperti kasus korupsi pengoplosan bahan bakar yang sudah berjalan dari tahun 2018 hingga 2023 yang merugikan negara sekitar 1 kuadriliun Rupiah.
Selanjutnya, kasus korupsi kasus dugaan suap atau gratifikasi hakim sebesar 60 Miliar dalam penanganan korupsi Crude Palm Oil (CPO), lalu adanya kasus korupsi produksi emas ilegal PT. Antam yang didakwa merugikan negara sekitar Rp3,3 triliun, lalu baru-baru ini adanya kasus korupsi Sritex yang merugikan negara Rp692 miliar.
Maraknya kasus korupsi yang terungkap membuat kita sebagai masyarakat merenung dan berpikir:
Apakah nilai-nilai Pancasila yang terkandung didalamnya masih menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa, atau nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah luntur dalam kehidupan bangsa? Sungguh menyedihkan jika dilihat dalam fakta-fakta yang terjadi saat ini dalam maraknya kasus korupsi yang terungkap.
Baca juga: Korupsi Merugikan Negeri, Kapan Berakhir?
Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh siapapun, baik pejabat penyelenggara negara, pihak swasta, dan penegak hukum yang tidak mencerminkan perilaku sila kedua Pancasila, yang mengajarkan nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Perilaku korupsi tersebut tidak sama sekali mencerminkan perilaku bermoral dan adil sesama manusia,justru perilaku tersebut merupakan cerminan sikap tamak dan mentalitas “aji mumpung” yang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan demi kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Kita sebagai masyarakat dapat melihat dan berpikir bahwa disinilah lunturnya nilai Pancasila mengenai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sungguh ironis, seseorang yang diberikan jabatan, kekuasaan, serta kepercayaan, justru jatuh kedalam jurang korupsi yang merugikan dan tidak memikirkan orang lain.
Dengan kata lain, bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi, tidak adil, dan tidak beradab.
Para oknum-oknum yang melakukan perbuatan korupsi juga tidak mencerminkan perilaku sila kelima Pancasila, yang mengajarkan mengenai “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia“.
Dengan adanya perbuatan korupsi tersebut, dapat diartikan bahwa perbuatan tersebut tidak mencerminkan nilai untuk berbuat adil terhadap sesama dengan cara saling menghormati hak-hak antar manusia.
Justru perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut memperburuk keadaan masyarakat, karena seharusnya uang yang digunakan demi hak dan kepentingan kesejahteraan masyarakat justru digunakan untuk kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri.
Adanya perbuatan korupsi,justru meningkatkan kesenjangan sosial di masyarakat, di mana korupsi tersebut akan menguntungkan segelintir kelompok-kelompok tertentu, perbuatan korupsi tersebut juga memberikan pandangan skeptis terhadap kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dan hukum yang berlaku.
Sebagai masyarakat seharusnya kita dapat melihat dan berpikir bahwa disinilah lunturnya nilai Pancasila mengenai “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia“. Sungguh miris,keadilan sosial yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat justru berbanding terbalik dengan keadaan-keadaan realita di kehidupan masyarakat.
Lantas, akibat maraknya perbuatan korupsi yang terjadi, dapat dipastikan banyak dari masyarakat akan menggali lebih dalam mengenai kondisi apa yang menjadi sumber permasalahan dari perbuatan korupsi yang mengakar.
Perenungan masyarakat juga menghasilkan banyaknya pertanyaan mengenai sumber keretakan serta hilangnya nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” atas maraknya perbuatan korupsi yang terjadi.
Berdasarkan teori GONE yang dikemukakan oleh Jack Bologne, sumber letak permasalahan adanya korupsi terbagi menjadi 4 (empat) hal yang mendasar yaitu greed yang berarti keserakahan, opportunity yang berarti kesempatan, need yang berarti kebutuhan, dan exposure yang berarti pengungkapan.
Greed, dalam arti keserakahan merupakan hal yang selalu merasa tidak cukup atas harta yang dimiliki, baik seorang individu, penegak hukum, penyelenggara negara yang tidak mempunyai integritas yang melakukan korupsi, merupakan tindakan dan cerminan sifat serakah dan tidak pernah puas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu demi kepentingan dan kepuasan pribadi.
Contoh nyata dari keserakahan ini terpampang didalam kasus korupsi oplos bahan bakar Pertamina yang sudah berjalan dari tahun 2018 hingga 2023 yang merugikan negara sekitar 1 kuadriliun Rupiah, dan justru para tersangka membuat grup WhatsApp “Orang-Orang Senang” yang artinya mereka sadar telah merampok rakyat.
Opportunity, artinya baik seseorang individu,penegak hukum,penyelenggara negara atau siapapun yang melakukan korupsi dikarenakan adanya kesempatan atau peluang yang dapat menguntungkan dirinya, baik karena memanfaatkan keadaan karena memiliki kekuasaan dan jabatan tinggi, sehingga mengakibatkan hilangnya akal dan pikiran dan terbuai sehingga masuk kedalam jurang korupsi.
Kondisi ini terjadi dalam kehidupan masyarakat,salah satu contohnya terjadi dalam kasus korupsi kasus dugaan suap atau gratifikasi hakim sebesar 60 Miliar dalam penanganan korupsi Crude Palm Oil (CPO), sebagaimana hakim yang memiliki jabatan dan seharusnya menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan, justru karena adanya kesempatan, para hakim tersebut menerima uang 60 miliar sebagai suap.
Need, yang berarti sebuah kebutuhan,bahwa setiap individu memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,yaitu sandang, pangan, dan papan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam kehidupan modern ini mayoritas dari masyarakat mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi tidak jarang dari masyarakat yang mempunyai pendapatan kecil, sehingga banyak dari masyarakat yang terdesak karena kebutuhannya tidak terpenuhi, tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut mendorong seseorang individu tersebut terlibat dalam praktik korupsi.
Exposure, pengungkapan adalah faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban tindakan kecurangan. Exposure atau pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Pengungkapan suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi yang berat apabila perbuatannya terungkap.
Pengungkapan juga merupakan suatu instrumen bagaimana berjalannya adanya suatu praktik korupsi. Semakin lemah suatu sistem yang berjalan, maka semakin besar praktik korupsi yang terjadi.Tetapi,semakin kuat suatu sistem yang berjalan, maka semakin kecil adanya praktik korupsi.
Hal ini berkaitan dengan realita kehidupan bermasyarakat, mengilas balik pada kasus mantan Gubernur Kudus, yaitu Muhammad Tanzil, yang melakukan korupsi dana Pendidikan pada tahun 2004-2005, dan melakukan pengulangan pada tahun 2019 mengenai suap jual beli jabatan.
Dalam hal ini membuktikan bahwa pengungkapan kecurangan belum tentu pelaku tidak mengulangi perilaku kecurangannya, dan membuktikan juga bahwa sistem yang berjalan di Indonesia mengenai pencegahan korupsi belum berjalan baik, sehingga praktik korupsi masih dapat terjadi.
Adanya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dirasa kurang efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan atau praktik korupsi, untuk menjadikan adanya suatu sistem yang baik maka diperlukan adanya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai pencegahan korupsi.
Permasalahan korupsi di Indonesia sudah menjadi peristiwa yang mengakar disetiap masa pemerintahan, termasuk di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sudah berjalan sekitar 6 bulan, seperti korupsi pengoplosan bahan bakar Pertamina, korupsi emas illegal PT Antam, kasus suap hakim senilai 60 miliar rupiah dalam penanganan korupsi Crude Palm Oil (CPO), dan yang baru-baru ini terjadi adalah kasus korupsi Sritex.
Permasalahan korupsi yang terjadi memberikan pertanyaan bagi masyarakat mengenai keberlangsungan Pancasila dalam kehidupan bernegara, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Korupsi merupakan cerminan dari sifat tidak beradab, tidak adil, dan tidak manusiawi, serta menjadi akar dari semakin lebarnya kesenjangan sosial. Berdasarkan teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) dari Jack Bologne, perilaku korupsi didorong oleh keserakahan, adanya peluang karena jabatan, desakan kebutuhan, dan lemahnya sistem pengawasan serta penegakan hukum.
Pengungkapan kasus-kasus korupsi selama ini belum cukup efektif untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana serupa, bahkan oleh pelaku yang sama, karena lemahnya sistem dan tidak adanya efek jera.
Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan menindak pelaku, tetapi juga harus disertai dengan pembenahan sistem secara menyeluruh, termasuk penguatan regulasi.
Salah satu langkah konkret yang mendesak adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, agar aset hasil korupsi bisa segera dikembalikan ke negara dan menutup celah kecurangan sistematis yang selama ini dimanfaatkan oleh para pelaku.
Upaya ini diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah, serta menghidupkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Achmad Risyad Beni
Mahasiswa Hukum, Universitas Pancasila
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News