Transformasi digital telah membuka akses luas terhadap emas digital melalui berbagai layanan fintech. Hal ini mendorong masyarakat dari berbagai kalangan untuk mencoba investasi emas secara online.
Emas yang dulu identik dengan kebutuhan modal besar dan tempat penyimpanan kini dapat dimiliki dengan nominal kecil. Meskipun membuka peluang, perubahan ini juga membawa tantangan baru. Salah satunya adalah ketergantungan masyarakat pada satu jenis instrumen investasi.
Peningkatan minat terhadap emas digital tidak diiringi pemahaman menyeluruh tentang risiko investasi. Banyak masyarakat menganggapnya seperti menabung biasa tanpa menyadari fluktuasi pasar.
Generasi muda paling rentan karena tergoda kemudahan akses dan tampilan aplikasi yang menarik. Mereka cenderung terpengaruh oleh media sosial dan influencer keuangan yang menganggap emas digital sebagai instrumen pasti untung. Padahal, banyak pengguna melakukan investasi impulsif tanpa perhitungan waktu beli dan jual yang tepat.
Layanan seperti Tokopedia Emas, Pegadaian Digital, dan Pluang mempermudah pembelian emas mulai 0,01 gram. Fitur seperti autodebet dan notifikasi membuat aktivitas investasi terasa seperti rutinitas harian.
Aksesibilitas tinggi ini mendorong partisipasi masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau layanan keuangan formal. Namun, kemudahan ini menciptakan ilusi keamanan karena minim pemahaman. Akibatnya, banyak pengguna merasa telah berinvestasi cerdas padahal hanya mengikuti tren.
Investasi emas digital kini juga menjadi simbol gaya hidup digital, terutama bagi generasi milenial dan Z. Emas dianggap bagian dari identitas sosial, bukan sekadar instrumen finansial. Media sosial memperkuat persepsi bahwa emas satu-satunya pilihan aman. Padahal dalam praktiknya, investasi emosional dan impulsif sangat rentan terhadap risiko pasar. Strategi keuangan sehat justru menekankan pentingnya diversifikasi aset.
Baca juga:Â Transformasi Media Komunikasi dalam Organisasi: Menghadapi Tantangan Abad Digital
Ketimpangan antara kemajuan teknologi finansial dan rendahnya literasi masyarakat memunculkan risiko sistemik. Banyak pengguna belum memahami perbedaan emas fisik dan digital, terutama dari sisi keamanan dan likuiditas. Persepsi bahwa emas digital bebas risiko menciptakan rasa aman semu. Sebagian bahkan menggunakan dana kebutuhan pokok untuk berinvestasi karena tergoda promosi.
Fenomena ini mencerminkan bubble mentality, yaitu kondisi ketika harga emas diyakini akan terus naik tanpa mempertimbangkan realitas pasar. Bubble mentality sering kali diawali oleh rasa percaya berlebih pada tren, diikuti oleh gelombang pembelian massal.
Ketika ekspektasi tak terpenuhi, kepanikan menjalar dan nilai aset bisa anjlok drastis. Masyarakat yang tidak siap menghadapi volatilitas inilah yang paling rentan mengalami kerugian.
Strategi pemasaran aplikasi digital memanfaatkan psikologi pengguna dengan diskon, bonus, dan notifikasi rutin. Fitur-fitur ini mendorong keputusan spontan dan tidak terencana.
Efek FOMO (Fear of Missing Out) dan kepuasan instan memperparah kebiasaan investasi impulsif. Banyak yang tertarik hanya karena aplikasi viral, bukan karena memahami substansinya. Bubble mentality mendorong pengguna menumpuk emas digital berlebihan, meski nilai sebenarnya belum tentu sebanding dengan ekspektasi.
Ketergantungan masyarakat terhadap emas digital menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang alternatif investasi. Banyak yang belum mengenal pilihan lain seperti saham, reksa dana, obligasi, atau deposito.
Fokus pada satu jenis aset membuat mereka rentan terhadap fluktuasi pasar. Diversifikasi penting untuk melindungi nilai investasi jangka panjang. Namun, kenyataannya banyak pemula hanya percaya pada emas karena mudah dan populer.
Fenomena gold rush digital mengubah cara masyarakat merencanakan keuangannya. Investasi menjadi bagian dari gaya hidup, bukan strategi keuangan yang rasional. Masyarakat cenderung mengikuti tren pasar tanpa analisis mendalam. Kurangnya perencanaan jangka panjang membuat mereka mudah panik saat harga turun. Kondisi ini berisiko menciptakan gelembung keuangan yang berbahaya.
Untuk menciptakan ekosistem investasi digital yang sehat, kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat harus memprioritaskan edukasi.
Materi edukasi harus disesuaikan dengan karakter generasi—seperti video dan gamifikasi untuk anak muda. Generasi tua bisa dibantu melalui pelatihan langsung atau panduan cetak. Konten edukatif yang sederhana dan relevan akan mendorong perubahan perilaku yang positif.
Penyedia aplikasi juga punya tanggung jawab moral untuk mendidik penggunanya. Fitur seperti simulasi investasi, kalkulasi risiko, dan penjelasan produk seharusnya tersedia dalam aplikasi. Ini membantu pengguna memahami konsekuensi keuangannya sebelum berinvestasi.
Aplikasi yang menggabungkan layanan dan edukasi akan lebih terpercaya di mata pengguna. Dengan demikian, investasi tidak hanya menjadi tren, tapi juga strategi cerdas.
Individu pun harus mengambil peran aktif dalam keputusan keuangannya. Mereka perlu menetapkan tujuan, memahami produk, dan membaca ketentuan investasi secara menyeluruh. Jangan tergoda imbal hasil tinggi yang tidak jelas asal-usulnya.
Disiplin dan diversifikasi menjadi kunci dalam membangun ketahanan finansial. Masyarakat yang sadar dan cerdas akan lebih siap menghadapi dinamika pasar.
Komunitas juga berperan penting dalam menciptakan budaya investasi sehat. Forum diskusi, grup belajar, dan komunitas daring dapat menjadi tempat berbagi pengalaman. Anggota komunitas bisa saling memperkuat pemahaman dan akuntabilitas. Belajar bersama juga mengurangi risiko informasi sesat dari media sosial. Ini akan membentuk ekosistem literasi finansial yang berkelanjutan.
Sumber edukatif resmi dari OJK, BI, atau platform keuangan terpercaya perlu dimanfaatkan. Informasi dari lembaga ini lebih akurat dan bebas kepentingan. Edukasi berbasis sumber yang kredibel akan menyeimbangkan banjir informasi viral yang belum tentu benar.
Ketahanan finansial masyarakat dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang bijak. Literasi adalah senjata utama untuk bertahan dalam pusaran gold rush digital.
Penulis: Dhiva Asoka Ardiyanti (202410180110024)
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang
Dosen Pengampu: Robby Cahyadi, M.Pd
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News