Fenomena kekerasan sosial kini tidak lagi tersembunyi di balik tembok rumah atau lorong gelap. Ia tampil terang-terangan di jalanan, sekolah, media sosial, bahkan di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi ruang aman.
Kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga verbal, simbolik, hingga kekerasan struktural yang terserap dalam budaya diam dan pembiaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita? Mengapa kekerasan kini seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari?
Psikologi sosial memandang agresi sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Ketika agresi ini mendapat pembenaran sosial atau bahkan pujian dalam komunitas, maka kekerasan tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bagian dari “cara bertahan hidup”.
Perilaku ini dapat muncul dalam bentuk intimidasi, ejekan, hingga kekerasan kelompok, yang sering dibingkai sebagai candaan atau “pembelajaran” oleh pelaku. Namun, dampaknya nyata dan menyakitkan.
Sayangnya, normalisasi kekerasan ini banyak dimulai dari pengalaman sosial sehari-hari. Kita terbiasa melihat video kekerasan viral, membaca komentar penuh ujaran kebencian, atau menyaksikan senioritas kampus yang memuat praktik perundungan—dan semua itu dianggap “biasa”.
Dalam teori belajar sosial Albert Bandura, individu belajar melalui observasi. Jika kekerasan terus-menerus dipertontonkan tanpa konsekuensi, maka generasi berikutnya justru akan menirunya sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan menjadi bagian dari pola asuh, pendidikan, bahkan hiburan.
Salah satu faktor yang memperparah agresi adalah media sosial. Di ruang digital, identitas bisa disamarkan, sehingga orang merasa lebih bebas melontarkan komentar kasar, merundung, bahkan mengancam.
Agresi daring (cyber aggression) ini bisa berdampak panjang, terutama pada anak muda yang sedang membentuk identitas diri. Selain itu, algoritma media sosial cenderung menampilkan konten-konten penuh konflik karena lebih menarik perhatian, sehingga kekerasan tak hanya ditoleransi, tapi justru diperkuat oleh sistem.
Lebih parah lagi, sistem sosial kadang turut melanggengkan agresi. Dalam relasi kuasa yang timpang, kekerasan simbolik digunakan untuk mempertahankan dominasi, baik dalam organisasi, keluarga, maupun masyarakat luas.
Kekerasan ini tidak terlihat secara langsung, tetapi terasa melalui penyingkiran, diskriminasi, dan pelabelan negatif. Korban sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang diserang secara psikologis karena kekerasannya bersifat halus.
Solusinya bukan hanya pada penindakan, tetapi juga edukasi empati dan literasi sosial. Kampus, sebagai miniatur masyarakat, seharusnya menjadi laboratorium nilai-nilai damai dan toleransi.
Mahasiswa tidak boleh menjadi penonton kekerasan, tetapi harus aktif mendorong ruang diskusi kritis, pembentukan komunitas suportif, serta budaya saling menjaga. Edukasi tentang kekerasan dan dampaknya perlu ditanamkan sejak dini, baik melalui kurikulum formal maupun kegiatan nonformal.
Kita juga perlu menciptakan sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, bukan justru menyalahkan mereka. Penting untuk membangun solidaritas antarindividu agar siapa pun merasa berani bersuara ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan.
Kekerasan sosial bukan hanya masalah individu, tapi cermin retaknya sistem sosial kita. Jika kita tidak bersuara dan bertindak, maka agresi akan menjadi norma baru yang menggantikan solidaritas. Mari waspada: ketika kekerasan dianggap wajar, maka kita sedang kehilangan kemanusiaan. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri—dari cara kita berbicara, bercanda, hingga cara kita bersikap terhadap sesama.
Penulis: Dian Asminingsih Arun Kristianti
Mahasiswa Psikologi, Universitas Muria Kudus
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News