Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Vladimir Putin di St. Petersburg pada 19 Juni 2025 menjadi sorotan tajam, bukan hanya karena simbolik diplomatik, tetapi karena tawaran konkret dari Rusia yang bersedia membantu Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Tawaran ini datang dari Rosatom, perusahaan energi nuklir milik negara Rusia yang telah berpengalaman membangun PLTN di berbagai negara.
Rosatom bahkan menyebut tiga model yang siap ditawarkan ke Indonesia: PLTN terapung berkapasitas 2×110 MW di Kalimantan Barat, dan reaktor nuklir darat di Bangka Belitung serta Kalimantan Selatan dengan kapasitas lebih besar.
Mereka menyatakan siap memulai negosiasi “besok juga”, jika Indonesia setuju.
Tawaran ini datang pada waktu yang sangat krusial. Indonesia tengah berupaya mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mengejar target emisi nol bersih (Net Zero Emissions) pada 2060.
Salah satu jalan menuju ke sana adalah dengan menggunakan energi nuklir, yang secara teknis masuk kategori energi rendah karbon dan berdaya tinggi.
Pemerintah bahkan menargetkan reaktor pertama beroperasi sebelum tahun 2032.
Namun, persoalannya tidak sesederhana urusan listrik. Ada dimensi konstitusional, politik luar negeri, hingga partisipasi publik yang harus menjadi pertimbangan utama.
Sebab PLTN bukan sekadar proyek teknis, ini adalah keputusan politik dengan implikasi hukum dan geopolitik yang tidak kecil.
Secara konstitusional, UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3) secara eksplisit menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, proyek PLTN, yang menyangkut energi nasional dan keselamatan publik, tidak bisa didelegasikan sembarangan ke swasta atau negara asing tanpa ada kerangka hukum yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Namun, realisasi PLTN skala besar belum juga terwujud karena belum adanya NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization) yang berfungsi sebagai pelaksana resmi proyek nuklir nasional.
itu, lembaga yang ada saat ini seperti BAPETEN sebagai regulator dan BRIN sebagai badan riset, belum diberi mandat untuk pembangunan dan operasi PLTN secara komersial.
Kerja sama dengan Rusia tentu harus tunduk pada kerangka hukum yang sudah berlaku.
Indonesia juga merupakan negara yang telah meratifikasi Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sejak 1978, yang artinya segala penggunaan teknologi nuklir hanya diperbolehkan untuk tujuan damai dan harus di bawah pengawasan ketat, termasuk dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Selain itu, ada dimensi partisipasi publik yang tidak bisa diabaikan.
Pembangunan PLTN menyentuh ranah kepentingan publik dan harus diputuskan dengan melibatkan masyarakat luas. UUD 1945 menjamin hak atas informasi (Pasal 28F) dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan (Pasal 28E).
Artinya, pemerintah tidak boleh membangun reaktor nuklir secara diam-diam tanpa sosialisasi, kajian lingkungan hidup, dan studi kelayakan sosial yang transparan.
Di sisi lain, tawaran Rusia ini juga mengundang perhatian dunia internasional.
Salah satunya media-media Australia, mereka secara terbuka menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran teknologi nuklir Rusia di Indonesia bisa menjadi bentuk “pengaruh strategis baru” Rusia di kawasan Indo-Pasifik.
Terlebih lagi, Indonesia baru saja diterima sebagai anggota penuh BRICS+, aliansi ekonomi negara-negara berkembang yang selama ini dianggap sebagai tandingan geopolitik G7 yang didominasi negara-negara Barat.
Dalam konteks politik luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas-aktif, kerja sama dengan Rusia memang bukan pelanggaran.
Justru ini menunjukkan bahwa Indonesia menjaga otonomi strategisnya dalam berelasi dengan berbagai kekuatan dunia.
Namun, perluk kehati-hatian agar Indonesia tidak terperangkap dalam politik blok baru yang menempatkan negara kita sebagai pion geopolitik, bukan aktor independen.
Di sinilah pentingnya hukum tata negara untuk memastikan bahwa keputusan strategis seperti pembangunan PLTN ini tunduk pada prinsip-prinsip konstitusi, rule of law, dan akuntabilitas publik.
Proyek sebesar ini harus dibahas di DPR, diperkuat dengan Peraturan Presiden, dan dibuka ruang dialog publik agar masyarakat ikut mengawasi.
Sebagai masyarakat yang sadar akan ketertinggalan Indonesia dibanding negara lain, dan sebagai warga negara yang peduli masa depan energi Indonesia, kita perlu mengawal proses ini dengan kritis.
Jangan sampai tawaran besar seperti ini justru mengerdilkan kedaulatan negara karena tidak dikawal oleh hukum dan partisipasi rakyat.
Jika dikelola dengan benar, kerja sama nuklir Indonesia-Rusia bisa menjadi langkah berani menuju transisi energi berkelanjutan yang mandiri dan konstitusional.
Namun jika dikelola secara elitis dan tertutup, proyek ini justru bisa jadi bumerang politik dan sosial yang berbahaya dan mengancam.
Penulis: Muhammad Fahmi Siregar
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News