CTAS dan Masa Depan Pajak Indonesia: Transformasi atau Ilusi

Pajak Indonesia
Ilustrasi CTAS (Sumber: Penulis)

Saat ini, banyak negara berlomba-lomba untuk memperluas basis pajak dari ekonomi digital, dan Indonesia pun perlahan-lahan memasuki arena tersebut. Namun, pertanyaannya adalah: apakah Indonesia hanya mengikuti tren global dalam modernisasi, atau benar-benar berupaya membangun fondasi baru untuk sistem perpajakan?

Jawaban atas pertanyaan ini mulai terlihat dengan diterapkannya Core Tax Administration System (CTAS) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun, apakah semua ini sesederhana yang kita bayangkan?

CTAS bukan sekadar langkah menuju digitalisasi. Ini adalah transformasi menyeluruh yang menyentuh inti dari birokrasi pajak, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan, penagihan, hingga penegakan hukum. Sistem ini berfungsi sebagai otak digital DJP, dirancang untuk menutup celah-celah yang selama ini membuat pemungutan pajak di Indonesia tidak efisien, lambat, dan kurang responsif terhadap perubahan ekonomi.

Baca juga: Dinamika Perpajakan Indonesia di Tengah Polemik Publik

Bacaan Lainnya

Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh ke masa depan, mari kita lihat realitas saat ini. Sistem perpajakan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih terjebak dalam model administrasi yang tidak efisien. Banyak proses pajak yang dilakukan secara manual, sulit untuk dilacak, dan sangat bergantung pada pelaporan sukarela yang minim pengawasan otomatis.

Rasio pajak Indonesia stagnan di angka 10–11% dari Produk Domestik Bruto (PDB) — jauh dari angka ideal. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah menaruh harapan besar pada CTAS.

Dalam sistem ini, semua aktivitas perpajakan akan dikelola melalui satu platform digital: pendaftaran menggunakan NIK sebagai NPWP, pelaporan otomatis melalui e-filing dan pre-filled SPT, pembayaran melalui e-billing, dan semua ini dipantau secara real-time dengan teknologi kecerdasan buatan.

Bahkan, wajib pajak yang tidak patuh dapat langsung terdeteksi dan masuk ke dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum tanpa harus menunggu pemeriksaan manual.

Inovasi seperti ini bukanlah hal baru di tingkat global. India telah meluncurkan Project Insight, Australia memiliki ATO Digital Services, dan negara-negara seperti Estonia sudah menerapkan sistem perpajakan digital sepenuhnya sejak lama. Kini, Indonesia berusaha mengejar ketertinggalan tersebut melalui CTAS — sebuah langkah besar yang patut diapresiasi.

Namun, di balik optimisme ini, kita tidak boleh mengabaikan kenyataan. Digitalisasi sistem perpajakan bukanlah solusi ajaib tanpa risiko. Ada beberapa masalah mendasar yang perlu kita waspadai.

Pertama, perlindungan data pribadi. CTAS mengintegrasikan identitas sipil (NIK), data ekonomi (penghasilan), dan aktivitas digital wajib pajak. Ini berarti potensi penyalahgunaan data atau kebocoran informasi sangat besar. Ironisnya, sistem ini diterapkan sebelum Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diimplementasikan secara penuh.

Kedua, kesiapan sumber daya manusia. Banyak pegawai pajak di daerah yang belum familiar dengan sistem ini. Di sisi lain, banyak wajib pajak, terutama dari kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang masih gagap teknologi. Kita harus memastikan bahwa CTAS tidak menciptakan kesenjangan digital baru antara mereka yang melek teknologi dan yang tidak.

Ketiga, transparansi algoritma. Ketika CTAS menggunakan mesin risiko untuk menentukan siapa yang perlu diperiksa atau diawasi, publik berhak tahu bagaimana sistem ini bekerja. Apakah algoritmanya adil? Apakah bisa diperbaiki jika terjadi kesalahan?

Namun, kita juga harus bersikap adil dalam penilaian. Setiap reformasi pasti menghadapi tantangan. Dalam konteks fiskal, menunda transformasi jauh lebih berbahaya daripada menghadapi risiko awal. Tanpa digitalisasi, Indonesia akan terus terjebak dalam sistem yang lambat, mahal, dan rentan terhadap manipulasi.

Baca juga: Optimalisasi Core Tax Administration System (CTAS) dalam Mengefisiensikan Pajak

CTAS, jika diterapkan secara bertahap dan dengan akuntabilitas publik yang kuat, berpotensi menjadi tulang punggung pajak masa depan Indonesia. Ini bukan sekadar proyek teknologi, melainkan fondasi baru untuk tata kelola fiskal yang modern dan inklusif.

Yang terpenting saat ini adalah menjaga kepercayaan publik. Pemerintah harus bersikap terbuka, menjelaskan manfaat dan risiko sistem ini, serta menyediakan saluran umpan balik bagi masyarakat yang terdampak.

Edukasi harus ditingkatkan, dan sumber daya manusia perlu dipersiapkan. Yang paling penting, teknologi tidak boleh dijadikan tameng untuk menutupi ketidakmampuan dalam memberikan pelayanan yang baik.

Digitalisasi pajak adalah suatu keharusan. Namun, kesuksesannya tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki sistem paling canggih, tetapi oleh siapa yang dapat memastikan bahwa sistem tersebut benar-benar adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat.

 

Kata Penutup

CTAS adalah taruhan masa depan fiskal Indonesia. Ia memiliki potensi untuk menjadi reformasi besar yang berhasil — atau hanya menjadi sistem canggih yang tidak dapat digunakan secara adil. Keberhasilannya, pada akhirnya, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang niat dan integritas dalam mengelola pajak rakyat.

 

Penulis: Arya Angka Wijaya
Mahasiswa Akuntansi, Universitas Sebelas Maret

Dosen Pengampu: Agus Widodo, S.E.,M.Si.,Ak.

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses