Selama ini, pendidikan kedokteran gigi di Indonesia dikenal ketat dan menantang. Mahasiswanya ditempa dengan teori, praktik laboratorium, hingga klinik yang melelahkan secara fisik dan mental.
Fokus utamanya? Sudah tentu keterampilan teknis: diagnosis, perawatan, prosedur pembedahan kecil, manajemen nyeri, dan estetika.
Tapi di balik semua itu, ada satu celah yang kerap luput diperhatikan: kesadaran sosial dan peran dokter gigi sebagai warga negara. Pertanyaannya, mengapa profesi yang lekat dengan alat dan anatomi perlu bicara tentang kewarganegaraan?
Jawabannya sederhana namun krusial: karena dokter gigi bekerja dalam masyarakat, bukan dalam ruang hampa. Setiap hari, mereka berhadapan dengan ketimpangan sosial: pasien dari keluarga miskin yang menunda berobat karena takut biaya, ibu-ibu buruh yang tidak punya waktu untuk perawatan gigi anaknya, hingga lansia di panti yang tak pernah tersentuh edukasi kesehatan mulut.
Kalau dokter gigi hanya dibekali keterampilan medis tanpa pemahaman sosial dan politik, maka mereka akan melihat semua ini sebagai “masalah individu”, bukan sebagai dampak dari sistem yang timpang.
Di sinilah letak pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam dunia kedokteran gigi. Pendidikan kewarganegaraan bukan sekadar pelajaran hafalan soal UUD 1945 atau Pancasila. Ia adalah upaya membentuk kesadaran bahwa kita punya peran dalam masyarakat: sebagai profesional, sebagai warga, dan sebagai manusia.
Ia mengajarkan cara berpikir kritis, bagaimana membaca persoalan secara struktural, serta bagaimana menyuarakan pendapat dengan etis dan efektif.
Bayangkan jika dokter gigi juga bisa menulis opini di media, ikut diskusi kebijakan publik, atau memberi edukasi berbasis komunitas yang bukan sekadar penyuluhan, tapi benar-benar menyentuh akar masalah.
Sayangnya, sistem pendidikan kita cenderung membentuk dokter gigi yang “diam”. Terlalu fokus pada skill tangan dan nilai ujian, hingga lupa melatih keberanian menyampaikan suara.
Padahal, dokter gigi seharusnya bisa ikut bicara soal anggaran kesehatan, program BPJS, hingga penghapusan layanan gigi gratis di puskesmas.
Mereka harus tahu bagaimana sistem bekerja, siapa yang memutuskan kebijakan, dan bagaimana caranya agar suara mereka terdengar. Pendidikan kewarganegaraan melatih semua itu-bukan agar dokter jadi politisi, tapi agar mereka tidak apatis.
Baca Juga:Â Mengembangkan Jiwa Nasionalisme dan Integritas pada Mahasiswa Kedokteran Gigi
Lebih dari itu, pendidikan kewarganegaraan membuat dokter gigi peka terhadap keberagaman. Klinik bukan hanya tempat praktik, tapi juga ruang pertemuan lintas identitas: suku, agama, status ekonomi, dan latar pendidikan. Ada pasien yang malu bicara karena terbata-bata dalam Bahasa Indonesia.
Ada pasien yang trauma karena pengalaman diskriminatif. Tanpa pendidikan kewarganegaraan, kita hanya akan melihat perbedaan sebagai tantangan. Tapi dengan pemahaman yang benar, perbedaan justru jadi pintu masuk membangun pelayanan yang lebih adil dan manusiawi.
Dan mari jangan lupakan isu lingkungan. Kedokteran gigi juga menghasilkan limbah: plastik, logam berat, bahan kimia. Siapa yang mengelola semua itu? Seberapa peduli kita bahwa praktik kita bisa mencemari tanah, air, atau udara?
Pendidikan kewarganegaraan menanamkan kesadaran ekologis-bahwa profesi kita juga harus bertanggung jawab terhadap keberlanjutan hidup di bumi.
Seorang dokter gigi yang sadar lingkungan tak hanya membuang limbah dengan benar, tapi juga bisa ikut menyuarakan kebijakan pengelolaan limbah medis yang lebih baik. Ini bukan aktivisme kosong. Ini adalah bagian dari praktik profesional yang utuh dan etis.
Sudah saatnya kita memperluas definisi “dokter gigi yang baik”. Bukan hanya soal seberapa presisi hasil tambalan, tetapi juga seberapa dalam ia memahami perannya di masyarakat.
Dokter gigi yang ideal bukan yang hanya pandai menggunakan forceps, tetapi juga yang mampu bersuara saat melihat ketimpangan, yang tahu bagaimana menyusun argumen saat sistem tidak berpihak pada pasien, dan yang bersedia turun tangan ketika komunitas membutuhkan.
Integrasi pendidikan kewarganegaraan ke dalam pendidikan dokter gigi tidak perlu rumit. Bisa dimulai dari mata kuliah lintas disiplin, kuliah tamu dari aktivis kesehatan masyarakat, proyek advokasi berbasis komunitas, atau sekadar ruang diskusi bebas tentang isu sosial yang terhubung dengan profesi.
Lebih dari sekadar program, ini soal membentuk karakter. Karakter dokter gigi yang tidak hanya terampil, tapi juga berani dan peduli.
Karena pada akhirnya, tugas dokter gigi bukan hanya menjaga senyum satu pasien di kursi praktik. Tapi juga menjaga senyum seluruh masyarakat agar tetap punya hak untuk sehat, setara, dan berdaya.
Penulis: Hanena Eyla Humda Setiani (J520220092)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu:Â Drs. Priyono
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News