Kebijakan pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM) melalui tes menembak telah menjadi topik yang kontroversial dalam beberapa tahun terakhir sejak akhir 2021 sampai dengan awal 2023, masih banyak yang melakukan praktik-praktik curang dalam pembuatan SIM.
Istilah SIM nembak bisa diartikan sebagai SIM yang dibuat dengan tidak mengikuti prosedur yang seharusnya ada juga yang sampai mengandalkan calo untuk mempercepat proses pembuatannya atau dengan kata lain, SIM yang dihasilkan dari nembak memotong tahapan penerbitan SIM menjadi lebih singkat dan simpel.
Banyak masyarakat lebih memilih memperoleh SIM dengan jalur menembak daripada mengikuti tes mengemudi terlebih dahulu. Tidak heran begitu banyak remaja-remaja dengan mudah mendapatkan SIM hanya dengan nembak.
Memang benar prosedur itu sangat mudah hanya dengan mengeluarkan uang kita langsung mendapatkan SIM tanpa harus bersusah payah untuk melewati ujian teori dan praktik. Orang-orang pasti lebih memilih sesuatu yang simpel dan tidak ingin merepotkan diri sendiri.
Memang benar hak bagi setiap manusia untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan sila pancasila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sila kedua menaruh hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama di depan hukum serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan hukum.
Pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU nomor 26 Tahun 2000 juga dijelaskan tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Namun yang menjadi permasalahannya adalah dengan SIM hasil nembak bisa berdampak buruk untuk diri sendiri maupun para pengemudi lain pada saat di jalan raya.
Banyak dijumpai bahkan saya sendiri sering menjumpai pengendara yang sering kali melanggar lalu lintas dan mengendarai motor atau mobil hanya sebatas mengendarai tanpa memperhatikan keselamatan diri sendiri atau pengendara lain.
Penting untuk diingat bahwa mengemudi merupakan keterampilan yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat umum. Pemberian SIM seharusnya didasarkan pada kemampuan seseorang untuk mengoperasikan kendaraan dengan aman dan senantiasa memahami aturan lalu lintas.
Mempersyaratkan para calon pengemudi untuk nembak SIM jelas sangat tidak relevan dengan keterampilan mengemudi yang sebenarnya.
Mudah mengenali para pengemudi di jalan raya yang mana memiliki SIM tembak dan siapa yang benar-benar mendapatkan SIM dengan prosedur yang seharusnya yaitu mengikuti tes dan praktek mengemudi.
Contoh kasus kecil yang kerap kali kita temui yaitu pengendara yang ketika ingin berbelok ke arah kanan namun saat menyalakan lampu sen nya dadakan atau bahkan tidak menyalakan lampu sein, selain membahayakan keselamatan diri dapat juga membahayakan pengemudi lainnya.
Hal itu bisa disimpulkan bahwa pengemudi tersebut tidak mengikuti tes mengemudi untuk mendapatkan SIM melainkan memperoleh SIM dengan cara nembak.
Penggunaan metode tembak sebagai syarat untuk memperoleh SIM menyebabkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap prinsip-prinsip pancasila.
Sebagaimana pancasila merupakan landasan negara Indonesia, namun dengan adanya metode pemberian SIM dengan prosedur yang tidak resmi atau SIM tembak ini menjadi sebuah tantangan terhadap prinsip-prinsip pancasila.
Pertama, prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, Pancasila menegaskan keharmonisan dengan sesama manusia dan Tuhan yang Maha Esa.
Prosedur tidak resmi seperti SIM tembak dapat memunculkan konflik serta perpecahan dalam masyarakat, yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kedua, prinsip kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pada prinsip ini menekankan perlunya memperlakukan setiap individu dengan adil, menghormati martabat kemanusiaan.
Namun, dengan membayar uang untuk mendapatkan SIM tanpa melalui tes praktek mengemudi termasuk merendahkan martabat individu yang seharusnya diberikan kesempatan yang sama.
Tindakan ini tidak hanya melanggar prinsip kemanusiaan, tetapi juga menciptakan celah untuk penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di dalam sistem.
Ketiga, prinsip Persatuan Indonesia, pada prinsip sila ketiga menekankan pentingnya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun pada, metode SIM tembak yaitu dengan membayar uang tanpa mengikuti tes praktek mengemudi justru menciptakan pemisahan antara masyarakat yang mampu secara finansial dengan yang tidak mampu.
Penggunaan metode nembak sebagai syarat memperoleh SIM dapat menciptakan pemisahan dan konflik antara anggota masyarakat.
Persyaratan ini tidak relevan dengan keterampilan mengemudi sebenarnya. Hal ini bertentangan dengan semangat Persatuan dan Indonesia yang dijunjung tinggi dalam pancasila.
Keempat, prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan juga terancam oleh metode SIM nembak ini.
Prinsip sila keempat menekankan pentingnya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik.
Namun, dengan adanya pembuatan SIM melalui pembayaran uang tanpa mengikuti prosedur yang resmi seperti mengikuti tes praktek mengemudi, hal tersebut membatasi aksesibilitas dan tidak mewakili kepentingan seluruh rakyat berpotensi mengancam prinsip tersebut, dan upaya harus dilakukan untuk memperbaikinya agar proses pengambilan keputusan menjadi lebih inklusif dan adil.
Kelima, prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pada prinsip sila kelima ini menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi, kekayaan, kesempatan, kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun, dengan memungkinkann pembuatan SIM melalui metode nembak yaitu melalui pembayaran uang tanpa melalui tes praktek mengemudi yang seharusnya menjadi sebuah syarat kesempatan untuk mendapatkan SIM tidak lagi didasarkan pada kemampuan dan kecakapan mengemudi seseorang, melainkan pada ketersediaan sumber daya finansial.
Hal itu menunjukkan ketidakadilan bagi mereka yang mampu membayar uang lebih, sementara masyarakat yang kurang mampu tidak mempunyai akses yang sama untuk memperoleh SIM.
Sebenarnya masalah pembuatan SIM nembak ini harus ditindak lanjuti, yaitu diperlukan perbaikan pada sistem pengujian SIM untuk memastikan bahwa semua yang ingin membuat SIM mengikuti prosedur resmi termasuk tes praktek mengemudi.
Sistem pengujian harus objektif, transparan, dan dilaksanakan dengan standar yang jelas untuk menjamin bahwa hanya mereka yang memenuhi persyaratan yang mendapatkan SIM.
Penting juga untuk menegangkan hukum dan peraturan terkait pembuatan SIM. Ini artinya menindak tegas praktik ilegal atau korupsi yang memungkinkan pembuatan SIM dengan cara-cara yang melanggar prosedur resmi.
Penegakan hukum yang kuat akan memberikan sinyal bahwa pelanggaran semacam itu tidak akan ditoleransi.
Pembuatan SIM melalui prosedur yang tidak resmi seperti dengan nembak SIM merupakan tantangan terhadap prinsip-prinsip Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Metode nembak SIM sebagai persyaratan yang tidak relevan dan dapat mengancam keselamatan individu serta masyarakat harus dievaluasi ulang.
Alternatif yang lebih sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila perlu dipertimbangkan guna menjaga ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dalam proses pemberian SIM di Indonesia.
Penulis: Salsa Billa Indah Rini
Mahasiswi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi