Revisi Undang-Undang Penyiaran mengakibatkan banyaknya perdebatan di kalangan jurnalis dan masyarakat. Banyaknya massa menyatakan menolak draf revisi Undang-Undang tentang Penyiaran dan yang memberikan wewenang berlebihan kepada pemerintah untuk mengontrol konten siaran.
Dikarenakan, pasal tersebut berpotensi digunakan untuk menyensor dan menghalangi penyampaian informasi yang jelas, dan juga revisi Undang-Undang tentang Penyiaran memperketat regulasi terhadap media independen yang mengakibatkan pemerintah membatasi dalam menggunakan media dan mengurangi keberagaman dalam penyampaian informasi kepada publik.
Di dalam draf revisi undang-undang tentang Penyiaran tersebut tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undangd 1945.
Draf revisi Undang-Undang tentang Penyiaran menuai kontroversi seperti yang terdapat pada Pasal 42 yang menyatakan bahwa hanya satu-satunya lembaga yang mendengarkan pengaduan pelanggaran jurnalistik adalah Komisi Penyuaran Indonesia (KPI).
Baca juga:Â Adakah Keadilan Sosial di Pendidikan Tinggi?
Revisi ini menunjukkan bahwa perubahan ini dapat mengurangi dan mencegah pertumbuhan pribadi. Pasal 50B Ayat (2) huruf c pada pokoknya menyatakan bahwa adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku LGBT, biseksual dan transgender, dan larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pada ayat (2) tersebut dinilai adanya tumpang tindih dengan Pasal 4 huruf Q Undang-Undang Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi yang ada. Dan juga dinilai tidak berperspektif gender.
Pasal 56 ayat (2) yang sedang direvisi memuat beberapa larangan yang dinilai dapat menghambat kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital. Larangan-larangan ini berkaitan dengan alkohol, kenakalan, rokok, narkoba, dan/atau unsur mistik.
Beberapa sedikitjenis konten yang disajikan sebenarnya memiliki beberapa interpretasi sehingga berguna untuk digunakan secara selektif dan jenis​ konten yang disajikan sebenarnya memiliki beberapa interpretasi sehingga berguna untuk digunakan secara selektif.
Adanya larangan dalam revisi Undang-Undang tentang Penyiaran dianggap berlebihan. seperti, larangan terhadap konten yang terkait dengan narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, unsur mistik, serta LGBT.
Dengan demikian maka, kekurangan definisi yang jelas dalam larangan-larangan tersebut yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik yang ada.
Oleh sebab itu, banyaknya yang menolak pembahasan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang berlangsung pada saat ini dikarena dinilai cacat prosedur yang menyebabkan merugikan banyak orang dan dianggap akan mengganggu hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, dan menimbulkan pro-kontra yang luas dan memerlukan perhatian lebih lanjut untuk menjamin perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi.
Penulis: Muhimmatul Hidayah
Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Trunojoyo Madura
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News