Patriarki: Stigma Kelam yang Tak Kunjung Hilang sampai saat Ini?

Budaya Patriarki
Ilustrasi Budaya Patriarki (Sumber: Media Sosial)

Di dalam sebuah masyarakat, peran antara perempuan dan laki-laki yang berbeda menyebabkan timbulnya suatu budaya patriarki. Masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya ditugaskan untuk melahirkan dan mengurus rumah tangga.

Perempuan juga dianggap sebagai makhluk yang lemah, sensitif, selalu menggunakan perasaan dan tidak layak untuk memperoleh pekerjaan yang tinggi. Sementara itu, laki-laki dipersepsikan sebagai makhluk yang kuat, dominan, dan sebagai penguasa di dalam rumah tangga.

Pada dasarnya, setiap individu dilahirkan dengan hak yang sama dan tidak memandang gender. Oleh karena itu, sudah semestinya tidak terdapat perbedaan bagi perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan pekerjaan, pendidikan, serta hal lainnya. Namun, ketimpangan gender masih saja terjadi dikarenakan masyarakat masih menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak perlu berpendidikan tinggi.

Budaya patriarki yang ada di Indonesia masih sangat kental, hal ini menyebabkan perbedaan perilaku dan status sosial yang dapat berujung pada diskriminasi gender. Budaya patriarki ini bukan hanya kental di lingkup keluarga, namun juga dalam masyarakat dan bernegara.

Bacaan Lainnya

Rokhmansyah (2013); menyatakan bahwa patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang memposisikan laki-laki sebagai penguasa, sentral, dan sebagainya. Sistem ini memberikan dominasi terhadap kebudayaan sehingga menimbulkan terciptanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang dapat berpengaruh sampai ke berbagai aspek dalam kehidupan.

Secara tersirat, patriarki merupakan pemberian hak istimewa bagi laki-laki dan penuntutan subordinasi perempuan (Charles E, Bressler, 20017).

Baca juga: Teroris Perempuan adalah Korban Patriarki

Alasan sederhana mengapa masyarakat masih menerapkan budaya patriarki adalah karena budaya ini telah hadir sejak dulu, bahkan sebelum masyarakat Indonesia mengenal tulisan.

Ajaran yang melenceng dari agama yang diyakini juga mempengaruhi pola pikir masyarakat mengenai budaya patriarki. Ajaran tersebutlah yang dapat menimbulkan rusaknya pandangan masyarakat terhadap suatu agama, selain itu juga akan berpengaruh terhadap semua perempuan yang terlibat.

Sejatinya dari semua agama yang ada, sama sekali tidak ada yang mendukung budaya patriarki ini, contohnya kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut seringkali muncul dan berlindung dibalik kata patriarki untuk tetap dilakukan di kalangan keluarga. Mereka seringkali menggunakan ajaran agama sebagai perisai atas perilaku tersebut karena mereka hanya menerima ajaran agama begitu saja tanpa adanya kajian yang lebih dalam.

Dalam agama Islam sendiri, perempuan merupakan makhluk yang sangat dimuliakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya QS. An-Nisaa [4]:34 yang membahas mengenai kaum perempuan. Dalam ayat tersebut dapat dibuktikan bahwa kedua gender setara dalam kehidupan sehari-hari dan dalam meraih ridha dari-Nya.

Keduanya memiliki kesamaan hak dan kesempatan tanpa adanya diskriminasi, karena Allah SWT sendiri memandang bahwa keduanya merupakan hamba Allah yang kedudukannya sama. Allah SWT sangat menentang adanya budaya patriarki.

Dalam aspek sosial, siapa saja berhak untuk memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang diinginkan tanpa adanya batasan, karena di mata Allah SWT, semua sama-sama ciptaan-Nya dan makhluk-Nya.

Budaya patriarki yang masih ada tentu dapat berpengaruh terhadap orientasi karir perempuan dalam memilih karier yang diinginkan, hal ini dapat menyebabkan potensi di dalam diri perempuan tidak dapat berkembang secara lebih jauh dan lebih bebas karena masih adanya keterbatasan yang diciptakan dari patriarki.

Budaya patriarki memiliki pengaruh terhadap orientasi karir perempuan karena budaya ini telah masuk ke dalam kehidupan sosio-ekonomi yang membuat karir perempuan menjadi ikut terpengaruh.

Terdapat kesinambungan antara patriarki dan orientasi karir yang diinginkan perempuan. Hal ini dapat dilihat sesuai realita bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan secara penuh seperti laki-laki dalam menentukan karir yang diinginkan.

Salah satu penyebab hal tersebut adalah karena masyarakat masih sangat kental akan patriarki dan budaya ini juga selalu mengunggulkan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga perempuan benar-benar terkena dampaknya.

Baca juga: Belenggu Budaya Patriarki terhadap Kesetaraan Gender dalam Seleksi Universitas di Jepang dan Indonesia

Perempuan juga tidak merasa aman dan nyaman dalam melakukan pekerjaan karena pasti semua akan dipandang sebelah mata, direndahkan, bahkan sulit mendapatkan pembelaan dari orang lain. Sehingga hal ini dapat berdampak pada ketidakadilan yang dirasakan perempuan karena mereka akan merasa minder dan tersisihkan oleh masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat, budaya dan ideologi bukan merupakan hal yang terjadi secara alamiah, namun dibentuk oleh manusia dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.

Berdasarkan tesis tersebut, mewujudkan kesetaraan gender bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan, walaupun budaya patriarki ini masih sangat kental di dalam kehidupan bermasyarakat.

Sayangnya, masih terdapat banyak tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya patriarki ini, salah satunya dalam aspek pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan adalah salah satu kunci untuk mewujudkan kesetaraan gender, karena pendidikan berfungsi sebagai alat atau sarana dalam mengirim norma masyarakat, kemampuan, dan pengetahuan.

Dengan kata lain, lembaga pendidikan merupakan wadah untuk dapat mewujudkan keadilan gender. Namun faktanya tidak selalu seperti yang diharapkan, dalam pendidikan pun masih sering dijumpai fenomena ketimpangan gender seperti perbedaan dalam mencapai kesempatan yang sama di setiap jenjang pendidikan.

Ketimpangan gender dalam pendidikan juga dapat dilihat dari segi isi buku pelajaran, seperti IPS, PPKN, Bahasa, Sastra, dan masih banyak lagi.

Isi dari dalam buku-buku tersebut biasanya masih banyak membahas mengenai posisi perempuan yang cenderung masih menganut nilai-nilai yang bias gender. Perempuan di dalamnya masih memegang peran domestik, sementara laki-laki dapat memegang peran-peran publik.

Salah satu kunci dalam mewujudkan kesetaraan gender yaitu dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dari banyak pihak yang memang ingin agar budaya patriarki ini bisa dihilangkan, yang mana hal ini termasuk dalam salah satu aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah dan pihak-pihak lain harus mengupayakan kesempatan untuk perempuan dan laki-laki harus terbuka sama luasnya dan sama pentingnya. Perempuan juga layak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, peluang kerja, dan hal-hal baik lainnya.

Para feminis juga telah memperjuangkan untuk melawan patriarki yang ada dengan beberapa cara, contohnya yaitu melawan stereotip yang dialami kaum perempuan, melawan marginalisasi terhadap perempuan, melawan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dan melawan subordinasi yang dilakukan kepada perempuan.

 

Penulis: Salsabila Varah Lila
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses