Feminisme berasal dari bahasa latin yaitu femina dan diterjemahkan kedalam bahasa inggris menjadi Femine yang artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan.
Secara umum feminisme seringkali di definisikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki atau bisa juga dikatakan.
Feminisme adalah suatu gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki baik akses sosial, politik, maupun ekonom.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosial utopis yaitu Charles Fourier yang berasal dari prancis.
Baca juga: Maraknya Feminisme Radikal di Sosial Media
Charles fouries menganggap institusi pernikahan di Prancis saat itu menindas perempuan. Ia juga berpendapat bahwa perempuan harus diberi akses yang sama terhadap pekerjaan penting berdasarkan keterampilan dan bakat, bukan berdasarkan gender.
Dalam membahas Feminisme eksistensialis kita tidak dapat lepas dari pemikir asal prancis yang Bernama Simone de Beauvoir.
Simone de Beauvoir dalam karya bukunya yang berjudul “the second sex” Simone de Beauvoir mengeksplorasi bagaimana perempuan secara historis didefinisikan sebagai “Lain” (the Other) oleh masyarakat patriarkal dan menekankan pentingnya kebebasan dan otonomi Perempuan.
Simone de Beauvoir Dalam (Arivia 2003 : 122-123) juga menekankan bahwa penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang harus ditanggung oleh tubuh perempuan.
Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki.
Baca juga: Mengupayakan Kesetaraan Gender dan Kebebasan Pers bagi Jurnalis Perempuan di Indonesia
Feminisme eksistensialis menekankan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya.
Bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Konsekuensi dari Feminisme eksistensialis ini adalah tidak berlakunya aturan, norma-norma dalam Masyarakat bahkan sampai kepada tidak berlakunya berbagai aturan tuhan.
Wanita pada umumnya Perempuan lemah lembut, tidak keluar malam sopan dan lain lain. Maka, pada aliran Feminisme eksistensialis seorang Perempuan bebas melakukan hal apapun tanpa perlu memikirkan aturan, norma-norma atau bahkan aturan tuhan sekalipun.
Dalam konteks modern Feminisme eksistensialis tentu memiliki perkembangan-perkembangan. Apalagi di era modern ini semua orang baik itu perempuan maupun laki-laki dapat menyuarakan pendapat-pendapat apa saja yang ada di dalam kepala mereka khususnya perempuan.
seperti yang kita ketahui feminisme eksistensialis adalah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Pada konteks modern ini Perempuan akan melakukan hal-hal yang sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan aturan, norma-norma dalam Masyarakat atau bahkan perintah tuhan sekalipun.
Pada era modern ini membawa peluang baru bagi feminisme eksistensialis. Kebebasan untuk mengekspresikan diri melalui media sosial dan platform online memberikan ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan dan mendefinisi ulang identitas mereka secara bebas.
Peluang solidaritas untuk gerakan-gerakan feminis juga meningkat di era modern ini. Pada konteks modern juga feminisme eksistensialis dapat lebih leluasa dalam mengkritik struktur kekuasaan yang ada dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di tempat kerja, politik, dan media.
Ini termasuk penolakan terhadap stereotipe gender dan upaya untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan setara bagi perempuan.
Feminisme eksistensialis di era modern tetap setia pada prinsip-prinsip dasarnya-kebebasan, otonomi, dan penolakan terhadap determinisme sosial.
Determinasi sosial adalah pandangan bahwa perilaku individu dan identitas seseorang ditentukan oleh faktor-faktor sosial, kelas, budaya, dan norma-norma Masyarakat.
Meskipun tidak ada negara yang secara khusus “menerapkan” feminisme eksistensialis sebagai kebijakan negara, ide-ide dari gerakan ini mempengaruhi banyak aktivis, akademisi, dan pemikir di berbagai negara dalam perjuangan mereka untuk hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Penulis: Zahran Daffa
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News