Maraknya Feminisme Radikal di Sosial Media

Feminisme
Ilustrasi: istockphoto

Globalisasi merupakan suatu hal yang pasti akan mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan yang akan menyebar kepada negara-negara di seluruh dunia. Tak dipungkiri arus globalisasi membuat seluruh informasi, budaya, teknologi, dan juga ideologi (pemikiran) berkembang dan tumbuh di berbagai belahan dunia.

Oleh karena akibat arus informasi dan budaya yang begitu cepat menyebabkan banyak berkembangnya pemikiran-pemikiran dan budaya baru salah satunya adalah feminisme.

Feminisme merupakan suatu pemikiran yang memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan wanita. Seiring berjalannya waktu, gerakan feminisme semakin tersebar ke segala penjuru dunia dan salah satu media penyebarannya adalah sosial media.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dan seiring berjalannya waktu, gerakan feminisme semakin melenceng dari tujuan dasar dan utama dari gerakan feminisme yang memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan wanita.

Gerakan feminisme berkembang pada awal abad ke-19 sampai abad ke-20 yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft sedangkan di Indonesia sendiri gerakan feminisme dipelopori oleh pahlawan nasional yang sosoknya selalu menjadi inspirasi wanita di Indonesia yaitu Raden Ajeng Kartini.

Munculnya feminisme yang cenderung radikal, yang berupaya untuk menata ulang masyarakat secara radikal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, meskipun terkadang tidak sesuai dengan apa yang pertama kali diperjuangkan oleh para feminis gelombang pertama.

Seseorang bisa menjadi seorang feminis dan tetap percaya akan kesetaraan. Namun, sebagian minoritas percaya bahwa patriarki begitu meresap dan mengakar sehingga mereka ingin menyingkirkannya dan memerintah sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh laki-laki selama ini!

Bentuk feminisme yang seharusnya menjadi alat bagi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan atas hak-hak mereka sering disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak mengerti secara penuh tentang arti gerakan feminisme sebenarnya, sehingga mereka cenderung untuk menyuarakan bentuk feminisme yang rancu dan cenderung radikal.

Hal ini menimbulkan dampak buruk bagi gerakan feminisme itu sendiri di mana masyarakat akan menganggap buruk gerakan feminisme.

Feminisme radikal sendiri adalah bentuk gerakan feminisme yang menganggap bentuk penindasan kaum perempuan adalah bentuk dari struktur budaya patriarki.

Pemikiran ini menyebabkan para kaum feminis cenderung lebih membenci kaum laki-laki dan budaya patriarki ketimbang memperjuangkan hak mereka dan mendukung kesetaraan. Bentuk feminisme radikal yang umumnya terjadi terutama di sosial media dalam bentuk postingan yang cenderung merendahkan dan menyindir laki-laki.

Selain merendahkan dan menyinggung laki-laki, banyak juga perempuan yang menjadi sasaran dari para feminis ketika mereka tidak sesuai dengan standar feminisme yang disebarkan oleh para feminis radikal yang ternyata  menyesatkan.

Seperti misalnya banyak perempuan yang direndahkan oleh sesama wanita karena mereka tidak “tangguh” atau tidak menjadi seorang pemimpin, bahkan para wanita yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Di saat banyaknya wanita yang independen dan cenderung career oriented daripada family oriented.

Mengkritisi wanita yang memiliki tujuan yang berbeda dari standar feminis masyarakat bukanlah suatu bentuk dari feminisme. Tidak semua wanita ingin menjadi seorang pemimpin yang independen, tidak semua wanita ingin menjadi pemegang kuasa.

Banyak wanita yang ingin hidup simpel dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang membuat seorang wanita menjadi tidak berharga.

Feminisme radikal juga sekarang didukung oleh film-film dan pop culture yang terkadang memaksakan adanya suatu pengimplementasian dari gerakan feminis seperti mengubah plot dari film Disney Princess yang akan dijadikan sebuah live-action dan membuat karakter utamanya untuk menjadi sebuah wanita pemimpin yang independen yang tidak membutuhkan seorang laki-laki untuk menyelamatkannya.

Mereka hanya fokus kepada gagasan bahwa para Disney Princess bukanlah wanita yang tangguh dan seorang pemimpin dan mengabaikan secara terang-terangan sifat-sifat yang justru dapat dicontoh dari para Disney Princess seperti memiliki harapan, memiliki sikap yang baik kepada sesama, memiliki keberanian, dan lain-lain.

Sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang diajarkan kepada anak-anak oleh para orang tua. Gagasan bahwa wanita yang jatuh cinta dan ingin mencari cinta bukanlah suatu hal yang buruk dan bukanlah menjadi suatu hal yang membuat para Disney Princess lemah.

Namun, hal itu menunjukkan perbedaan minat dan tujuan yang dimiliki oleh wanita, dan mengkritisi hal itu bukanlah suatu bentuk dari feminisme.

Tidak hanya mengarah kepada laki-laki dan perempuan sebagai suatu gender, namun Pseudo Feminism ini juga mengarah kepada penistaan kepada suatu agama dan kepercayaan. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan atau tradisi dari sebuah agama merupakan buah dari patriarki dan “melanggengkan” otoritas laki-laki.

Pada cuitan di atas seseorang dengan nama akun @belivetsgloves menyinggung soal pemakaian hijab sebagai “pakaian patriarki” dan tidak menunjukan apa yang menjadi kebebasan perempuan melainkan kepatuhan penuh terhadap otoritas laki-laki. Jelas ini adalah suatu penghinaan terhadap suatu budaya dan ajaran suatu agama.

Ini merupakan bentuk yang salah dari suatu gerakan yang mengatasnamakan “kebebasan”. Agama tak seharusnya disangkutpautkan dengan gerakan feminisme, sebab ajaran agama adalah suatu hal yang mutlak dan tak seharusnya menjadi hal yang diperdebatkan atau disangkutpautkan dengan gerakan-gerakan lain yang di luar ajaran agama.

Mengapa fenomena Pseudo Feminism atau Fake Feminism ini dapat terjadi? Hal ini didasari dengan adanya rasa untuk memperjuangkan kesetaraan gender, hal ini yang membuat masing-masing individu berusaha untuk memperjuangkan hak mereka masing-masing untuk mengincar apa yang biasa disebut “kesetaraan sosial”.

Jika dikaji dari sudut pandang sosiologi kesetaraan sosial merupakan kondisi di mana semua orang memiliki status dan kedudukan sosial yang sama. Masalahnya masyarakat sudah terbiasa dengan adanya budaya patriarki, tentunya hal ini yang menjadi pelopor masyarakat untuk melakukan tindakan tersebut.

Hal ini memang cukup sulit untuk dihapuskan dalam kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan, dan lain-lain yang kebanyakan bidangnya diisi oleh laki-laki.

Jika meneliti kembali pada pertentangan kelas sosial di mana kaum proletar memperjuangkan hak dan kesetaraan mereka atas kaum borjuis.

Dari hal tersebut, hal semacam kesetaraan yang sempurna tidak akan pernah terjadi seperti apa yang terjadi pada perjuangan para feminis yang pada akhirnya menginginkan posisi di atas laki-laki. Dan laki-laki yang cenderung mempertahankan posisi mereka yang saat ini masih di atas perempuan.

Kasus Pseudo Feminism ini terjadi karena adanya kesenjangan dalam pekerjaan, hal ini dibuktikan dengan adanya pekerjaan yang sampai saat ini perempuan belum bisa melakukan pekerjaan tersebut seperti kuli bangunan, penggali tambang, kuli panggul.

Pekerjaan tersebut lumayan menantang untuk dilakukan perempuan karena memiliki risiko yang tinggi dan membutuhkan banyak tenaga yang dikeluarkan. Hal tersebut bukan merupakan suatu hal yang bersifat merendahkan dan bukan berarti membatasi suatu profesi yang akan dijalankan, akan tetapi profesi yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Ditujukan untuk merealisasikan apa yang disebut kesetaraan bagi kaum perempuan. Karena secara fisik laki-laki terlahir lebih “kuat” daripada perempuan. Namun hal ini tidak memungkiri bahwa sebenarnya perempuan bisa melakukan hal yang sama. Akan tetapi harus memerlukan fisik dan kemampuan yang mumpuni agar bisa melakukan pekerjaan tersebut.

Penulis:
1. Kevin Kristanto
2. Sharon Tabitha
3. Michael Daniswara
Siswa Jurusan IPS SMA Kolese Gonzaga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI