Pengaruh Gender terhadap Peraturan Transportasi Publik

Pelecehan
Ilustrasi: istockphoto

Pasti kita semua sudah tidak asing lagi dengan konsep pemisahan gender pada transportasi publik. Pada setiap transportasi publik terdapat pemisahan khusus untuk para perempuan. Di setiap kereta pasti memiliki gerbong khusus perempuan di gerbong paling depan.

Hal ini memiliki niat positif, untuk melindungi para perempuan dari hal yang tidak diinginkan. Tetapi kebijakan ini juga menimbulkan kontroversi di banyak pihak.

Pemisahan gender pada transportasi publik, perlu kah? Hasil dari gender merupakan perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Berdasarkan hasil studi audit keamanan dalam tiga wilayah di Jakarta yang dianalisa, baru-baru ini perempuan merasa tidak aman di lokasi karena rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan sosial, terutama transportasi publik.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di transportasi publik sangat riskan untuk melakukan tindakan yang tidak pantas karena melihat bahwa transportasi publik tempatnya tertutup dan sangat mudah disalahgunakan.

Salah satu hal yang dianggap menjadi solusi pencegahan pelecehan dan kekerasan di transportasi publik adalah pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya, kebijakan ini tidak luput dari adanya pro dan kontra.

Pada satu sisi, pemisahan antara kedua gender tersebut mengurangi kemungkinan terjadinya masalah-masalah yang tidak diinginkan seperti pelecehan seksual. Laman resmi KCJ mengatakan bahwa gerbong kereta khusus wanita mulai berlaku pada 1 Oktober 2012 dengan tujuan yang sama.

”Mengakomodasi permintaan pengguna yang banyak merasa risih apabila berdesak-desakan dengan lawan jenis. Dan diharapkan dapat menghindari kejadian-kejadian yang tidak diharapkan yang korbannya lebih sering perempuan,” kata Eva dikutip dari detikcom, Rabu (17/5/2017).

Tetapi di lain sisi ada peraturan pemerintah yang kurang efisien dan memunculkan kontroversial, sebagaimana kita ketahui bahwa mayoritas tempat memiliki kebijakan tentang peraturan ladies parking. Publik memiliki banyak pertanyaan mengenai hal parkiran khusus wanita tersebut.

Mereka mempertanyakan mengapa kebijakan ditetapkan oleh pemerintah dan apa tujuan dari kebijakan tersebut. Pasalnya, selain disambut positif oleh para pengemudi perempuan lantaran diberi keistimewaan untuk membantu mempermudah dalam memarkirkan mobilnya.

Tidak jarang juga pengemudi perempuan yang lainnya merasa terhina akibat dianggap keahlian menyetirnya tidak lebih baik dari kaum laki-laki. Selain itu, terkadang keberadaan ladies parking ini kerap kali diacuhkan oleh pengemudi laki-laki.

Walaupun ada larangan bagi pengemudi laki-laki menempati area parkir ini, beberapa masih ada yang nekad menggunakannya. Hal ini terjadi akibat sulitnya mencari lahan parkir yang kosong.

Awal sejarah munculnya parkiran khusus perempuan atau ladies parking adalah berasal dari Jerman. Dikutip dari artikel The Local, kemunculan tempat parkir ini adalah pada era 1990-an dengan alasan utama untuk keselamatan. Perempuan merasa berisiko mendapat serangan seksual di tempat parkir bawah tanah.

Pemerintah setempat akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi risiko tersebut hingga parkir khusus ini diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah lokasi. Tak hanya di Jerman, parkir khusus perempuan juga sudah berlaku di beberapa negara. Ruang aman ini dibentuk guna menekan potensi kekerasan yang kerap terjadi di tempat parkir sepi dan gelap.

Melansir dari artikel yang dicetuskan oleh The Washington Post, pada akhirnya parkir khusus perempuan tersedia di berbagai negara termasuk Austria, Swiss, China, dan Korea selatan.

Itu sebabnya pemenuhan ruang aman bagi perempuan dan gender minoritas, bukan untuk sebuah hak yang istimewa. Kebijakan ini digunakan untuk upayah minimum yang bisa dilakukan, untuk memperkecil kejadian buruk yang bisa terjadi.

Di negara yang kita tinggali saat ini yakni Indonesia, ladies parking sudah kerap banyak diterapkan di berbagai pusat perbelanjaan. Tujuan kebijakan ini dibentuk ialah untuk memberikan kemudahan bagi para pengemudi perempuan untuk memarkir mobilnya pada area parkir yang lebih “proper” dibandingkan dengan area parkir sempit pada parkiran umumnya yang disediakan.

Keberadaan ladies parking biasanya ditandai dengan adanya plang atau papan nama yang dihiasi dengan cat warna pink untuk memberi tanda bahwa adanya eksistensi ladies parking. Parkir khusus perempuan merupakan fasilitas ruang aman yang diberikan.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA) terdapat fakta bahwa 4-5% mengalami pelecehan di ruang publik. Survei tersebut dilakukan pada November hingga Desember 2021 yang melibatkan 4.236 responden dari 34 provinsi.

Dilihat dari kacamata sosiologi, hal ini berkorelasi dengan salah satu teori diferensiasi sosial. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkesinambungan dengan teori diferensiasi sosial gender. Bentuk pertama dari diferensiasi sosial adalah gender.

Jenis kelamin dalam diferensiasi sosial karena tidak dapat menunjukkan perbedaan tingkatan atau dibedakan secara horizontal. Perbedaan ini mencakup secara jenis kelamin dan perbedaan peran yang dibentuk secara sosial dan budaya oleh masyarakat. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki derajat dan posisi yang sama.

Kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah tentunya menimbulkan kontroversial. Berdasarkan dari pengertian diferensiasi sosial gender, hal ini menyimpang dengan kebijakan yang dicetuskan. Kebijakan adanya perbedaan gerbong khusus perempuan membuat banyak orang berasumsi bahwa perempuan lebih ditinggikan.

Walau sebenarnya, kebijakan tersebut dilaksanakan demi kebaikan perempuan dan bukan “membedakan” antara kedua gender.

Sebelum adanya kebijakan pemisahan gender, seringkali perempuan mengalami pelecehan seksual di transportasi umum, dengan kebijakan ini, walaupun sejujurnya masih ada, sudah berkurang dari sebelumnya. Tujuan pemisahan tersebut adalah demi keamanan dan kenyamanan semua orang tanpa memandang gender.

Berdasarkan dari kebijakan pemisahan gender di transportasi publik, kebijakan ini masih kurang efektif. Pemisahan gerbong antara wanita dan pria untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Tak bisa dipungkiri, kebijakan ini memang bisa mengurangi kasus pelecehan seksual.

Namun, faktanya hingga kini pelecehan seksual tetap terjadi, meskipun di luar area khusus wanita. Pelecehan seksual bukanlah suatu hal yang dapat dibasmi secara instan, tetapi harus melewati sebuah proses yang membutuhkan jangka waktu panjang. Pelecehan seksual kembali lagi terhadap kesadaran tiap masing-masing individu untuk mengubah pola pikirnya dan juga mau saling menghargai.

Karena itu, perlu adanya penerapan kebijakan lain yang mendampingi kebijakan ini. Menurut Sexual Psychology and Interpersonal Relationship UNAIR Dr. M.G. Ani Putra, setiap manusia itu memiliki 3 komponen utama yang bisa mempengaruhi perilakunya.

Komponen pertama adalah Id, seperti dorongan dan libido. Komponen kedua adalah Ego, artinya realita rasional berdasarkan status individu, dan yang ketiga adalah Super Ego, yang berarti norma-norma yang ada.

Dalam setiap kasus pelecehan seksual, pelaku pelecehan biasanya memiliki Id atau libido yang tinggi, sehingga pelaku nekat melakukan apa saja untuk melancarkan aksinya.

Karena itu, menurut psikolog Lia Sutisna Latif, M.Psi., perlu ada cara-cara lain untuk mencegah dan mengurangi pelecehan seksual, salah satunya adalah dengan melakukan edukasi pertahanan diri.

Penulis:
1. Nadhine Vricilya Caesarya Sihombing
2. Jonathan Justin Brata
3. Arane Langit Manikmaya
Siswa Jurusan IPS SMA Kolese Gonzaga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI