Keterlibatan pemilih muda dalam Pilkada 2024 akan menjadi faktor penentu masa depan demokrasi di Indonesia.
Generasi muda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan signifikan, terutama karena mereka mewakili kelompok usia produktif yang akrab dengan teknologi dan media sosial. Namun, tingkat partisipasi mereka seringkali dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti apatisme politik, kurangnya sosialisasi, dan ketidakpercayaan terhadap kandidat atau sistem politik.
Di satu sisi, media sosial dan platform digital membuka ruang baru bagi anak muda untuk mendapatkan informasi, mendiskusikan isu-isu publik, dan menilai kandidat secara lebih kritis.
Tapi di sisi lain, arus informasi yang sangat cepat juga membawa risiko disinformasi, yang bisa mempengaruhi pilihan mereka. Karena itu, edukasi politik dan literasi digital menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas partisipasi.
Penting juga bagi para calon pemimpin dan partai politik untuk memahami aspirasi dan kebutuhan generasi muda. Kandidat yang mampu menawarkan program-program konkret terkait pendidikan, pekerjaan, lingkungan, dan ruang kreativitas akan lebih mudah menarik minat mereka.
Selain itu, keterlibatan aktif anak muda tidak hanya diperlukan saat pemilihan, tetapi juga dalam proses pengawasan kebijakan pasca-pemilu, agar demokrasi lebih berkelanjutan dan partisipatif.
Jika pemuda semakin aktif dalam politik lokal, Pilkada 2024 bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat demokrasi partisipatif dan membawa arah baru bagi pembangunan daerah. Namun, ini hanya bisa tercapai jika ada kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat sipil dalam menciptakan ruang partisipasi yang inklusif dan bermakna.
Selain itu, keterlibatan pemuda dalam Pilkada 2024 juga dapat mengurangi dominasi politik dinasti dan patronase yang masih kuat di beberapa daerah.
Pemuda dengan pemikiran kritis dan akses informasi yang luas memiliki potensi untuk tidak terjebak dalam pola-pola politik transaksional atau sekadar memilih karena tekanan sosial. Mereka dapat mendorong munculnya calon-calon alternatif yang lebih kompeten dan berintegritas, sekaligus memperkuat akuntabilitas dalam pemerintahan lokal.
Namun, tantangan utama adalah membangun kesadaran politik yang konsisten. Banyak anak muda hanya antusias menjelang pemilu, tetapi abai dalam mengawal proses kebijakan setelahnya. Di sinilah pentingnya memperkuat peran komunitas dan organisasi kepemudaan sebagai wadah diskusi dan advokasi politik.
Kolaborasi dengan kampus, komunitas kreatif, hingga influencer juga dapat menjadi strategi efektif untuk meningkatkan kesadaran dan minat politik di kalangan anak muda. Selain itu, sistem pemilu yang lebih inklusif juga harus dikembangkan.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, perlu memastikan bahwa sosialisasi tentang pentingnya memilih sampai ke seluruh kalangan muda, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau yang belum mendapatkan akses informasi politik dengan baik.
Memfasilitasi cara-cara baru dalam pemungutan suara, seperti e-voting, juga bisa menjadi langkah inovatif yang menarik minat generasi muda.
Secara keseluruhan, keterlibatan aktif pemilih muda bukan hanya sekadar angka partisipasi, tetapi merupakan investasi bagi kualitas demokrasi di masa depan.
Jika pemuda terlibat secara kritis dan berkelanjutan dalam politik, maka Pilkada 2024 bukan hanya ajang pemilihan pemimpin, tetapi juga momentum memperkuat budaya demokrasi yang lebih sehat, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik.
Keterlibatan pemilih muda dalam Pilkada 2024 dapat dianalisis menggunakan beberapa konsep teori politik dan partisipasi demokratis. Berikut ini ada 5 teori yg bisa kita pakai dalam menganalisis :
1. Teori Partisipasi Politik (Milbrath & Goel)
Menurut Milbrath dan Goel, partisipasi politik dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan: gladiator (aktif secara penuh, seperti menjadi kandidat atau anggota partai), spectator (pemilih dan peserta diskusi politik), dan apathetics (tidak terlibat sama sekali).
Pemuda Indonesia saat ini sebagian besar masih berada pada kategori spectator atau bahkan apathetics, di mana minat untuk memilih cenderung rendah karena merasa suaranya tidak berpengaruh.
Untuk mengubah pola ini, diperlukan upaya meningkatkan kesadaran bahwa keterlibatan mereka, sekecil apa pun, berdampak bagi perubahan di daerahnya. Sosialisasi yang kreatif dan relevan dengan kehidupan anak muda, seperti melalui media sosial, dapat membantu mendorong mereka dari sekadar penonton menjadi peserta aktif dalam politik.
2. Teori Demokrasi Partisipatif (Carole Pateman)
Pateman menekankan bahwa partisipasi politik bukan hanya tentang hak memilih, tetapi juga tentang keterlibatan berkelanjutan dalam pengambilan keputusan publik.
Dalam konteks Pilkada 2024, pemilih muda tidak cukup hanya datang ke TPS, tetapi perlu berperan dalam mengawal program dan kebijakan kandidat terpilih.
Ruang-ruang dialog dan forum publik, seperti musyawarah atau diskusi komunitas, penting untuk diperkuat agar pemuda memiliki saluran aspirasi yang lebih konkret. Demokrasi partisipatif menuntut adanya keterlibatan terus-menerus, dan di sinilah peran organisasi kepemudaan, komunitas, dan media digital menjadi vital.
3. Teori Pilihan Rasional (Anthony Downs)
Downs menyatakan bahwa pemilih akan berpartisipasi jika mereka merasa bahwa manfaat dari memilih lebih besar dibandingkan dengan biaya atau upaya yang dikeluarkan. Dalam konteks ini, banyak pemuda yang merasa tidak ada insentif langsung atau keuntungan yang mereka peroleh dari berpartisipasi, terutama jika mereka tidak percaya pada para kandidat.
Oleh karena itu, kandidat dan partai politik perlu menyampaikan program-program konkret yang menyentuh langsung isu yang relevan bagi generasi muda, seperti pekerjaan, pendidikan, dan lingkungan. Dengan begitu, anak muda akan merasa bahwa suaranya memiliki nilai dan dampak nyata bagi kehidupan mereka.
4. Teori Mobilisasi Politik (Verba, Schlozman, & Brady)
Teori ini menekankan bahwa partisipasi politik tidak hanya dipengaruhi oleh minat individu, tetapi juga oleh adanya mobilisasi eksternal, seperti undangan atau dorongan dari aktor-aktor politik, komunitas, dan kelompok sosial.
Dalam Pilkada 2024, mobilisasi melalui media sosial, influencer, atau komunitas kreatif bisa menjadi faktor penting dalam meningkatkan partisipasi pemuda. Kampanye politik yang kreatif dan interaktif lebih efektif dalam menggaet pemilih muda dibandingkan metode tradisional seperti kampanye tatap muka atau baliho.
5. Teori Kelas dan Partisipasi Politik (Sidney Verba)
Verba menekankan bahwa kelas sosial mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Pemuda dari kelas sosial dan ekonomi bawah sering kali menghadapi hambatan dalam berpartisipasi, seperti minimnya akses informasi dan pendidikan politik.
Dalam konteks Pilkada, penting bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk memastikan akses yang adil, agar anak muda dari berbagai latar belakang bisa terlibat. Sosialisasi perlu menjangkau hingga ke daerah terpencil atau kelompok marginal agar partisipasi tidak hanya didominasi oleh pemuda perkotaan atau berpendidikan tinggi.
Fakta Sejarah Pemilih Muda di Indonesia
Secara historis, peran pemilih muda dalam proses politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang menarik. Berikut beberapa fakta penting terkait keterlibatan pemilih muda di Indonesia:
1. Era Reformasi (1998) dan Euforia Politik
Setelah jatuhnya Orde Baru, gerakan mahasiswa dan pemuda memegang peran penting dalam menggulingkan rezim otoriter. Euforia demokrasi pasca-1998 membuat pemuda merasa lebih bebas mengekspresikan aspirasi politik, baik melalui aksi demonstrasi maupun pemilihan umum.
Pemilu 1999, sebagai pemilu demokratis pertama setelah Reformasi, mencatat partisipasi yang tinggi, termasuk di kalangan pemilih muda.
2. Pemilu 2004: Pemilihan Presiden Langsung Perdana
Pemilu 2004 menjadi tonggak sejarah penting karena untuk pertama kalinya pemilihan presiden dilakukan secara langsung.
Pemuda memainkan peran signifikan dalam meningkatkan partisipasi, dengan kampanye masif di lingkungan perguruan tinggi dan komunitas-komunitas pemuda. Namun, antusiasme politik ini cenderung menurun pada pemilu berikutnya, mengindikasikan bahwa euforia politik tidak selalu berkelanjutan tanpa dorongan yang konsisten.
3. Penurunan Partisipasi dalam Pemilu 2009 dan 2014
Pada Pemilu 2009 dan 2014, terdapat kecenderungan penurunan partisipasi politik, terutama di kalangan pemilih muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebabnya adalah apatisme terhadap politik dan rasa kecewa terhadap kualitas para politisi.
Generasi muda mulai merasa bahwa suara mereka tidak berpengaruh, dan banyak yang lebih tertarik pada isu-isu di luar politik formal.
4. Pemilu 2019: Bangkitnya Partisipasi Pemilih Muda
Pemilu 2019 menunjukkan tren positif dalam partisipasi pemuda. Data menunjukkan bahwa sekitar 40% dari total pemilih terdaftar merupakan pemilih muda (17-35 tahun).
Kampanye di media sosial, keterlibatan influencer, serta kemunculan isu-isu yang relevan dengan anak muda (seperti pekerjaan, ekonomi digital, dan lingkungan) mendorong peningkatan partisipasi. Debat capres yang disiarkan luas dan kampanye daring juga menjadi magnet bagi pemuda yang lebih akrab dengan teknologi.
5. Pilkada 2020: Tantangan di Masa Pandemi
Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi COVID-19 menjadi tantangan bagi partisipasi pemilih muda. Meskipun berbagai inovasi dilakukan, seperti kampanye virtual dan protokol kesehatan ketat di TPS, partisipasi tetap terpengaruh karena kekhawatiran kesehatan dan apatisme politik.
Meski begitu, pemuda yang aktif di media sosial tetap berperan dalam pengawasan dan kritik terhadap jalannya Pilkada, terutama terkait isu transparansi dan penanganan pandemi.
6. Pilkada dan Pemilu 2024: Bonus Demografi sebagai Peluang
Indonesia saat ini berada di puncak bonus demografi, di mana mayoritas penduduknya berada pada usia produktif, termasuk pemilih muda. Pada Pemilu dan Pilkada 2024, sekitar 60% pemilih diperkirakan berasal dari kelompok muda dan pemilih pemula.
Hal ini membuka peluang besar untuk mengubah arah politik, tetapi juga menjadi tantangan dalam hal memastikan bahwa pemuda tidak hanya ikut memilih, tetapi juga memahami pentingnya keterlibatan politik secara berkelanjutan.
Dengan mengaitkan teori-teori di atas, jelas bahwa keterlibatan pemuda dalam Pilkada 2024 memerlukan pendekatan komprehensif. Selain memotivasi mereka secara individu, juga dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak untuk membuka ruang partisipasi yang inklusif dan berkelanjutan.
Partisipasi pemuda bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang bagaimana mereka terlibat aktif dalam mengawal kebijakan dan memastikan pemerintah daerah bekerja untuk kepentingan publik. Jika semua ini tercapai, Pilkada 2024 bisa menjadi titik balik dalam menciptakan demokrasi lokal yang lebih kuat dan partisipatif.
Oleh karena itu, Fakta sejarah menunjukkan bahwa peran pemilih muda di Indonesia bersifat fluktuatif, dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi.
Pemuda pernah menjadi aktor penting dalam gerakan perubahan (seperti di era Reformasi), tetapi juga menghadapi tantangan berupa apatisme dan ketidakpercayaan terhadap sistem politik.
Pada Pilkada dan Pemilu 2024, dengan dominasi jumlah pemilih muda, momentum ini harus dimanfaatkan untuk memastikan bahwa keterlibatan politik mereka tidak hanya sesaat, melainkan terus berkembang dalam proses demokrasi yang lebih matang.
Penulis: Ariyanto Ardiansya S.IP.,M.Si
Dosen Politik Pemerintahan Fakultas Syariah dan Hukum, Akademisi IAIN Bone
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi