Perang-perang besar seperti Perang Dunia (baik yang pertama maupun kedua) dan Perang Dingin memberi dampak permanen pada keseimbangan kekuasaan dan kedudukan negara-negara di dunia.
Dalam bukunya On War, Clausewitz menyatakan bahwa perang sebenarnya merupakan salah satu cara untuk mencapai kehendak politis: “The political object is the goal, war is the means of reaching it, and means can never be considered in isolation from their purpose,” atau sebagaimana ditulis oleh para militer Jerman: “War is the continuation of policy by other means” .
Pasalnya, pada akhir Perang Dingin di mana Amerika berhasil mengalahkan rivalnya, Uni Soviet, maka Amerika berhasil menjadi negara tunggal dengan kekuasaan tertinggi seperti yang dikatakan oleh McKercher: “As the Cold War ended in 1989-91, a new international order arose with the disintegration of Soviet Russia, the collapse of its Eastern European Empire, and the crumbling of its alliances. The international order that emerged after the Second World War, bipolar and dominated by two mutually antagonistic superpowers and their alliance coalitions, disappeared. In its place arose an order with a supposed single ‘Hyper Power’, the United States of America”.
Selain menjelaskan bagaimana perang merupakan proses politik di mana negara mencoba mencapai kekuasaan tertinggi pada pernyataan sebelumnya, McKercher juga menjabarkan bagaimana Amerika menggunakan kedudukannya sebagai “Hyper Power”: “…the United States successfully forced the Iraqis from Kuwait by leading a coalition of Powers with an interest in secure Middle Eastern oil supplies.” Maka, poin pertama yang dapat disimpulkan adalah bagaimana perang sebenarnya merupakan sebuah instrumen politik.
Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah seberapa “valid” poin tersebut? Apakah perang memang harus ada? Bagaimana dengan negara yang mencoba “berpolitik” tanpa perang? Bagaimana dengan negara yang mencoba berperang tanpa berpolitik?
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, maka kita akan memulainya dengan mengingat sejarah. Dalam esainya War and Politics, Helmuth von Moltke [the Elder], menceritakan netralitas, dan bagaimana negara yang netral tidak perlu kuat secara militer, namun tentunya memiliki kelemahan tersendiri: “In reality, one must consider the fact that neutrality can probably be violated, provided that this step does not entail very definite disadvantages for the attacker that far offset his advantages. These disadvantages will consist in the resistance offered by the neutral country itself and in the support offered by the guarantors of its neutrality. Of course its own resistance is the main point, for outside assistance will be furnished only to the degree required for the direct interests of the guarantors”.
Namun, Jerman tidak mempertimbangkan tulisan tersebut. Pada Perang Dunia Pertama, sebagai bagian dari eksekusi Rencana Schlieffen (Schlieffen Plan), perlu bagi Jerman untuk menginvasi Perancis dan menduduki Paris secepat mungkin melalui Belgia, di mana menentang netralitas Belgia yang dijamin oleh Inggris dan menjadi insiden yang dikenal sebagai Pemerkosaan Belgia (Rape of Belgium).
Insiden ini dapat terjadi karena Inggris masih mempertimbangkan minat mereka dalam perang tersebut, terutama karena invasi Belgia terjadi sebagai awal dari Perang Dunia Pertama. Maka masih belum jelas bagi pihak Inggris mengenai apa yang dapat dicapai oleh Inggris untuk ikut campur secara mendalam pada peristiwa tersebut.
Akhirnya, Inggris hanya mengirim 6 Divisi dari 17 Divisi (termasuk kavaleri) aktif yang dimilikinya (standing army) sebagai tentara ekspedisi untuk membantu Belgia (yang mana bahkan sebenarnya bukan untuk membantu Belgia, namun Perancis, sesuai perjanjian Entente Cordiale).
Sejak awal sebenarnya bahkan Belgia sendiri meragukan Inggris sebagai penjaminnya, sehingga pada akhirnya mereka mencoba mempertahankan diri sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam buku My War Memories: 1914-1918 yang ditulis oleh Erich Ludendorff: “It was evident that Belgium had long been prepared for our advance. The roads had been systematically pulled up and barricaded, showing that a great deal of work had been done beforehand. No such obstacles could be found by us on the south-west frontier of Belgium. Why had Belgium not taken similar precautions against France?”.
Harris dalam bukunya Douglas Haig and the First World War menceritakan bahwa Haig, Pimpinan Komandan dari pasukan ekspedisi inggris sendiri, marah akan permintaan Foch (marsekal Perancis yang akhirnya menjadi Panglima Tinggi Sekutu/Supreme Allied Commander) mengenai permintaan supaya Inggris melepaskan divisi lebih banyak lagi untuk melawan Jerman (karena Inggris dikecam masih menahan divisinya dan tidak mau berkomitmen walaupun pada saat itu sudah mendekati akhir dari perang), dan respon dari Haig adalah bahwasanya itu akan mengurangi kemampuan Inggris untuk menjaga kepentingan dan minat mereka sendiri.
Dapat dilihat bahwa negara seperti Belgia, yang memiliki militer lemah dan tidak memikirkan perang di masa damai, akhirnya hanya akan diinjak-injak karena tiap negara yang netralitasnya dijamin oleh negara lain, bergantung pada ketidakpastian; yakni kepentingan si penjamin.
Lalu, bagaimana dengan negara yang berperang tanpa berpolitik? Yaitu negara yang berperang untuk menang saja dan memikirkan bahwa politik hanya sebagai awal dan akhir dari perang?
Ironisnya, pertanyaan tersebut dapat kita jawab dengan melihat sejarah dari Jerman sendiri, tempat lahir Clausewitz, di mana orang-orangnya mengaku sebagai pengikut setia Clausewitz.
Jerman melakukan invasi terhadap Perancis melalui Belgia yang netral sehingga menjadi alasan palsu Inggris untuk terjun dalam Perang Dunia 1, dan menolak permintaan Rusia untuk menghentikan Austria berperang dengan Serbia, akhirnya terpaksa menghadapi peperangan 2 sisi (two-front war).
Kekurangan dari pertimbangan politik dan kemampuan diplomasi Jerman tersebut menuai banyak kritik dari penulis kontemporer seperti Zabecki, Macksey, Zuber, dan lain-lain mengenai bagaimana Jerman cukup “buta” akan peta geografisnya.
Jerman secara tidak sadar telah memusuhi hampir semua bagian Eropa dan mengulangi hal yang sama pada Perang Dunia 2 dengan hasil yang sama pula; runtuhnya kemampuan bermiliter Jerman karena pelucutan senjata (armistice).
Gerhard P. Gross, dalam bukunya yang berjudul The Myth and Reality of German Warfare mengatakan: “It took two lost world wars to reawaken German thinking to the ‘real Clausewitz’.”
Maka, poin kedua yang didapatkan adalah karena perang merupakan instrumen politik, maka negara yang tidak mampu berperang merupakan negara yang tidak mampu berpolitik dan kedudukan suatu negara pada hubungan internasional kemudian dapat dilihat dari seberapa mampu negara tersebut untuk mengadakan perang dan bertahan di dalamnya.
Kedua poin tersebut kemudian memunculkan argumen akan keberadaan poin ketiga; yakni bahwa perang merupakan hal penting dari dunia ini yang akan terus ada dan harus terus ada.
Mengapa? Moltke mengatakan dalam esainya, War and Peace: “A humane effort to lessen the suffering that accompanies war is to be fully valued. However, whoever knows war will agree that it cannot be restrained by theoretical chains. Lessening its horrors is rather to be expected from the gradual advances in general civilization that promote the humanity of each individual. This is because the conduct of war reflects the progress of civilization”.
Ia mengatakan bahwa perang akan terus ada karena hal tersebut tidak dikekang oleh “theoretical chains”, yang dapat dilakukan dengan semakin majunya masyarakat hanyalah mengurangi kengerian dari perang.
Selanjutnya, Moltke berargumen bagaimana bahwa diplomasi, yaitu negosiasi dan biasanya digunakan setelah perang, tidak dapat digantikan dengan membuat koalisi perwakilan tiap negara untuk mengantisipasi perang-perang di masa depan. Ia berkata bahwa hal tersebut tidak akan cocok untuk negosiasi internasional (kemungkinan karena tidak terpenuhinya kepentingan dari negara).
Kemudian yang terpenting, ia berkata bahwa bukan aksi dari berbicara secara damailah yang membuat bangsa Jerman bersatu dan bebas, namun reformasi pasukan Prussia oleh Raja William yang membuat hal tersebut mungkin: “It was King William who, through the reform of the Prussian army, created the power that secured unity and resulting liberty for Germany. There can be no thought of freedom if there is no power to uphold it”.
Pernyataan tersebut terbukti benar oleh kasus yang baru-baru ini terjadi: invasi Ukraina oleh Rusia. Vladimir Putin mengatakan bahwa dahulu, Ukraina merupakan darah dari Rusia yang sekarang dikuasai oleh kaum Bolsheviks, membuatnya ingin berdiri sendiri.
Sehingga, penting bagi Rusia untuk mengklaim kembali Ukraina sebagai bagian dari Rusia, dan juga mencegah pengaruh-pengaruh barat di Eropa.
Oleksiy Goncharenko, politikus Ukraina, mengatakan dalam website atlanticcouncil.org dengan judul artikel Western weakness in Ukraine could provoke a far bigger war with Russia: “It is dangerously delusional to suggest Putin will simply stop if he wins in Ukraine. Instead, Western leaders must decide whether they would rather arm Ukraine for victory today, or find themselves confronted with a resurgent and emboldened Russia tomorrow”.
Jika kita amati kembali, pernyataan Goncharenko terdengar absurd. Mengapa ia menyalahkan bangsa barat atas tantangan yang dihadapi Ukraina?
Seruannya kepada bangsa barat mungkin menarik perhatian, tetapi terlihat terlalu bergantung dan berisiko tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Jika saja Ukraina lebih mempertimbangkan kelemahan-kelemahannya dibanding hanya mengandalkan statusnya sebagai penghasil pangan terbesar di dunia dan letak geostrategisnya, mungkin krisis pangan dan korban jiwa rakyat Ukraina dapat diminimalkan. Masalah yang dihadapi Ukraina jelas sangat memprihatinkan dan memberikan dampak bagi negara-negara lain.
Jika poin ketiga benar apa adanya, maka poin terakhir adalah jika perang tidak dapat dihentikan dan akan terus ada, maka arti dari kedamaian tersebut sendiri akan berubah.
Kedamaian bukan berarti keadaan di mana tidak ada perang dan konflik, namun suatu keadaan di mana konflik antar negara dan insurjensi dapat ditekan secepat mungkin oleh pemerintahan yang kuat. Hal tersebut meminimalisir korban jiwa, menghindari krisis, dan tentunya mengurangi rasa sakit, atau dalam kata-kata Moltke: “Rapid conclusion of a war undoubtedly constitutes the greatest kindness.”
Pernyataan terakhir dalam artikel ini mungkin bukanlah sebuah poin maupun konklusi, namun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam diri setiap orang, yaitu protes tentang “Benarkah perang harus ada?” Namun yang tiap orang cari sebenarnya bukanlah ketiadaan dari perang, melainkan “Dapatkah perang tidak terasa sakit?” dengan kata lain adalah mencari cara lain dalam berperang.
Hal tersebut tentunya sudah pernah dikemukakan oleh seorang diplomat Amerika, Robert D. Blackwill, dalam bukunya War by Other Means, di mana ia mengkritik Amerika terlalu sering merespon dengan senapannya dibandingkan dengan dompetnya.
Yang disarankan oleh Blackwill disini adalah supaya Amerika menggunakan kemampuan geoekonominya yang mapan untuk berperang. Hal tersebut tentunya terlihat menjanjikan karena seperti yang kita tahu kemampuan ekonomi suatu negara berdasarkan letak geografisnya merupakan sesuatu yang permanen karena bentuk fisik dari suatu geografi negara bersifat konstan.
Hal tersebut merupakan pertimbangan yang juga diajukan oleh Gross. Sayangnya, hal tersebut merupakan sebuah constricted vision.
Memang, hal tersebut memungkinkan untuk negara-negara dengan kemampuan geoekonomi yang kuat seperti Amerika, namun sayangnya hal tersebut tidak berlaku untuk seluruh negara. Apa yang diajukan oleh Blackwill sebenarnya bukanlah solusi. Ia lupa mempertimbangkan bahwa kemampuan geoekonomi suatu negara bergantung pada letak suatu negara, di mana merupakan sesuatu yang sudah tidak adil semenjak terlahirnya negara tersebut.
Faktor lain yang lupa dipertimbangkan oleh Blackwill adalah bahwa nilai geografis dari suatu daerah bukanlah sesuatu yang bersifat konstan, seperti yang dikatakan oleh Gross: “The geostrategic situation of a state, however, is not determined wholly by the natural physical characteristics of its area. Economic, social, and political factors also have a decisive influence. The characteristics of an area are not static and unchangeable, because people alter an area through structural activity, and through their perceptions”.
Yang dimaksud oleh Gross adalah bahwa sesuatu yang dinilai berharga oleh masyarakat berubah-ubah dari waktu ke waktu, bergantung pada banyak faktor seperti politik dan permintaan ekonomi. Maka, geografi tidak dapat didasarkan sebagai sesuatu yang akan selalu strategis sehingga dapat digunakan terus-menerus sebagai advantage dalam kemampuan ekonomi dan merupakan dasar dari teori geoekonomi Blackwill.
Bergantung pada geoekonomi maka bergantung pada ketidakpastian, dan terinvasinya Ukraina adalah salah satu contoh kegagalan teori tersebut. Hal itu kemudian sama dengan mendapatkan jaminan kedamaian dari negara lain: tidak pasti.
Dalam hal ini, Moltke berkata: “Only a strong government can carry out beneficial reforms and assure peace. Peaceable assurances by our neighbors are of course very valuable, but we can find security only in ourselves.”
Penulis: Glenda Permata Putri
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Kristen Satya Wacana
Referensi
Blackwill, Robert D & Harris, Jennifer M. (2016). War by Other Means. The Belknap Press of Harvard University Press.
Clausewitz, Carl von. (1976). On War (M. Howard & P. Paret, Trans.). Princeton University Press. (Publikasi asli pada tahun 1832).
Goncharenko, Oleksiy. (2024). Western weakness in Ukraine could provoke a far bigger war with Russia. https://www.atlanticcouncil.org/blogs/ukrainealert/western-weakness-in-ukraine-could-provoke-a-far-bigger-war-with-russia/.
Gross, Gerhard P. (2016). The Myth and Reality of German Warfare. University Press of Kentucky. (Publikasi asli pada tahun 2012).
Ludendorff, Erich. (1923). My War Memories, 1914 – 1918 (Vol. 1). Hutchinson & Co. (Publikasi asli pada tahun 1919).
Macksey, Kenneth. (1996). From Triumph to Disaster. Greenhill Books.
McKercher, B. J. C. (2012). Prologue: the international order and the new century. In B. J. C. McKercher (Ed.), Routledge Handbook of Diplomacy and Statecraft. Routledge.
Moltke, Helmuth von. (1995). War and Peace (D. J. Hughes & H. Bell, Trans.). In D. J. Hughes (Ed.), Moltke on the Art of War. Ballantine Books. (Publikasi asli pada sekitar tahun 1880).
Moltke, Helmuth von. (1995). War and Politics (D. J. Hughes & H. Bell, Trans.). In D. J. Hughes (Ed.), Moltke on the Art of War. Ballantine Books. (Publikasi asli pada sekitar tahun 1880).
Zabecki, David T. (2006). The German 1918 Offensives. Routledge.
Zuber, Terence. (2002). Inventing the Schlieffen Plan. Oxford University Press.
Zuber, Terence. (2011). The Real German War Plan, 1904 – 14. The History Press.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News