Suara yang Terpinggirkan: Budaya Patriarki dan Keterbatasan Suara Perempuan di Indonesia

Suara yang Terpinggirkan: Budaya Patriarki dan Keterbatasan Suara Perempuan di Indonesia
Sumber: pixabay.com = https://pixabay.com/photos/collaboration-equality-people-5353018/

Di tengah kemajuan zaman yang terus melaju, keterwakilan perempuan dalam politik merupakan isu penting dalam upaya mencapai kesetaraan gender dan memperkuat demokrasi. Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman, masih bergulat oleh bayang-bayang budaya patriarki yang mengakar. Ketimpangan gender yang didasari oleh budaya patriarki sangat merugikan bagi perempuan serta menghambat kemajuan bangsa kita.

Patriarki secara sederhana dapat diartikan sebagai penempatan laki-laki sebagai posisi dominan dalam struktur sosial. Sebaliknya, patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang terpinggirkan, terutama dalam pengambilan keputusan dan hak suara di ruang publik. Berbagai upaya dan kebijakan telah dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.

Meskipun perjuangan menuju kesetaraan gender telah berlangsung sejak lama, suara perempuan tetap terpinggirkan hingga saat ini. Padahal, jumlah perempuan hampir sama dengan jumlah laki-laki di negara ini. Namun, mengapa suara perempuan masih sering diabaikan bahkan tak digubris sama sekali? Apakah ini layak bagi setengah populasi negara kita?

Baca Juga: Pemberdayaan Wanita: Kunci Menuju Masyarakat yang Lebih Adil dan Maju

Bacaan Lainnya

Patriarki: Akar dari Ketimpangan Sosial

Patriarki secara harfiah berarti “kekuasaan laki-laki”. Budaya patriarki di Indonesia menempatkan laki-laki pada posisi dominan. Dalam beberapa budaya lokal, laki-laki dianggap sebagai pemimpin, pengambil keputusan utama, dan penjaga kehormatan keluarga.

Sedangkan, perempuan kerap dipandang sebagai makhluk yang lemah dan tak layak terlibat di ranah publik (khususnya dalam politik). Budaya patriarki yang mengakar dan struktur sosial yang ada seringkali menempatkan perempuan dalam posisi marginal, sehingga hak suara perempuan terpinggirkan.

Dalam politik, patriarki sering kali menciptakan norma-norma yang membatasi peran perempuan dalam mengambil keputusan publik. Mereka tidak akan menerima dukungan yang setara dari partai politik maupun masyarakat luas, sekalipun perempuan mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Namun, bukankah setiap individu, terlepas dari gendernya, memiliki hak yang sama untuk bersuara dan berkontribusi di ruang publik?

Baca Juga: Pendidikan Sebagai Pembuka Jalan Emansipasi Wanita

Minimnya Keterwakilan Perempuan dalam Dunia Politik

Biasanya, perempuan yang ingin terjun ke dunia politik sering menghadapi stigma negatif dan kurangnya dukungan dari masyarakat, yang memandang bahwa dunia politik adalah ranah laki-laki. Lantas, apa dampak dari stigma tersebut? Walaupun undang-undang di Indonesia telah menetapkan kuota 30% untuk perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, apakah dalam pelaksanaanya berjalan sesuai harapan?

Pada pemilu 2019, sekitar 20.5% dari kursi DPR yang diisi oleh perempuan. Jauh dari target kuota 30% yang ditetapkan oleh undang-undang. Dari sini, kita bisa lihat bahwa ketimpangan yang terjadi mencerminkan bagaimana politik di Indonesia belum memberikan cukup ruang bagi perempuan.

Nyatanya, banyak partai politik (parpol) yang hanya memenuhi kuota tersebut untuk formalitas tanpa memberikan dukungan yang tulus kepada calon perempuan. Akibatnya, banyak kandidat perempuan yang gagal terpilih karena kurangnya dukungan dan sumber daya, terlepas dari kebijakan yang ditetapkan untuk calon perempuan di lembaga legislatif.

Lalu, mengapa keterwakilan perempuan sangat penting? Perempuan mempunyai perspektif unik yang sangat bermanfaat dalam merumuskan kebijakan publik.

Jika representasi perempuan dalam politik masih low, siapa yang akan memperjuangkan isu-isu penting yang berkaitan dengan kebutuhan dan hak perempuan? Beberapa kebijakan, seperti anti diskriminasi dan perlindungan dari kekerasan yang berbasis gender, memerlukan banyak suara perempuan untuk benar-benar terwujud.

Baca Juga: Menemukan Inspirasi tanpa Batas: Kisah Inspiratif Wanita dalam Al-Qur’an

Suara Perempuan yang Dibelenggu

Keterbatasan hak suara perempuan di Indonesia bukan hanya terlihat dalam politik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam keluarga, perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sekalipun keputusan tersebut menyangkut pilihan hidup mereka sendiri.

Terkadang orang tua memberikan stigma kepada anak perempuannya untuk tidak menempuh pendidikan terlalu tinggi, dengan alasan “susah mendapatkan suami”. Bagi orang tua, anak perempuan lebih baik pandai memasak daripada menimba ilmu setinggi-tingginya.

Lebih dari itu, tak jarang perempuan menghadapi ancaman atau intimidasi karena menyuarakan opininya di ruang publik. Media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk mengekspresikan diri, menjadi tempat dimana perempuan menghadapi serangan verbal yang bersifat “misogini” (kebencian terhadap wanita atau perempuan secara berlebihan).

Imbasnya, perempuan menjadi takut untuk berbicara dan memilih membungkam suara mereka. Lantas, upaya apa yang harus dilakukan pemerintah maupun masyarakat dalam menangani budaya patriarki yang masih mendarah daging?

Baca Juga: Peran Wanita dalam Matrilineal Minangkabau: Relevansi dan Tantangan di Era Modern

Langkah dalam Mengatasi Budaya Patriarki

Budaya patriarki memang tidak dapat diubah dalam semalam, namun langkah-langkah kecil yang konsisten bisa membawa perubahan yang besar. Sebagai contoh, Dalam beberapa komunitas atau organisasi, pemimpin atau ketua dari komunitas tersebut adalah perempuan. Hal ini mampu mematahkan stereotype bahwa “pemimpin harus laki-laki”.

Kesetaraan gender wajib diajarkan sejak dini. Keluarga, sekolah, dan media berperan penting dalam membentuk pola pikir yang inklusif bagi generasi mendatang. Maka dari itu, masyarakat dianjurkan untuk menghormati perempuan yang menyuarakan opini mereka serta memandang perempuan sebagai agen perubahan, bukan ancaman.

Selain itu, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat, perlunya ruang bagi perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Pendapat perempuan seharusnya dihargai, bukan diabaikan.

Lagi pula, sudah seharusnya pemerintah memastikan bahwa kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen benar-benar ditegakkan. Partai politik juga harus komitmen untuk mendukung kandidat perempuan, bukan hanya sebagai formalitas. Namun, sebagai langkah untuk mencapai kesetaraan (equality).

 

Penulis: Kirey Aiko Marianto
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Kristen Satya Wacana

 

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses