Abstrak
Pemungutan Suara (KPPS) memiliki peran penting dalam pemilu dan pemilihan umum di Indonesia. Sebagai penyelenggara teknis di tempat pemungutan suara (TPS), mereka bertanggung jawab atas kelancaran proses pemungutan suara.
Meskipun begitu, hak-hak pekerja KPPS seringkali tidak sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, terutama dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja. Pekerja KPPS memiliki hak atas upah yang layak, perlindungan keselamatan kerja, dan jaminan sosial. Namun, praktiknya, banyak pekerja KPPS yang menerima upah yang tidak sebanding dengan beban kerja mereka dan seringkali tidak terlindungi dalam sistem jaminan sosial.
Undang-Undang Cipta Kerja memberikan fleksibilitas dalam hubungan kerja, termasuk untuk pekerja kontrak seperti KPPS. Meskipun mereka bekerja dalam jangka waktu tertentu, pekerja KPPS seharusnya tetap memperoleh perlindungan yang setara dengan pekerja tetap dalam hal upah dan jaminan sosial.
Namun, dalam implementasinya, banyak pekerja KPPS yang tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial, sehingga hak-hak mereka tidak sepenuhnya terlindungi. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan regulasi untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja KPPS, khususnya terkait dengan jaminan sosial dan upah yang layak.
Kata Kunci: KPPS, Upah Layak, Jaminan Sosial.
Abstract
The Election Voting Organizing Group (KPPS) plays a crucial role in the election and general elections in Indonesia. As technical organizers at the voting stations (TPS), they are responsible for ensuring the smooth running of the voting process.
However, the rights of KPPS workers often do not align with the labor laws, especially in the context of the Omnibus Law. KPPS workers are entitled to fair wages, safety protections, and social security benefits. In practice, many KPPS workers receive wages that do not match their workload and are often not covered under social security systems.
The Omnibus Law provides flexibility in labor relations, including for contract workers such as KPPS. Although they work for a specific period, KPPS workers should still receive protections similar to permanent workers in terms of wages and social security.
However, in implementation, many KPPS workers are not registered in the social security system, leaving their rights insufficiently protected. Therefore, regulatory improvements are necessary to ensure better protection for KPPS workers, particularly regarding social security and fair wages.
Keywords: KPPS, Fair Wages, Social Security.
Pendahuluan
Pemilu dan pemilihan umum adalah salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Untuk memastikan proses demokrasi ini berjalan dengan adil dan transparan, diperlukan suatu sistem yang mengatur dan mengelola pelaksanaan pemungutan suara secara efektif. Salah satu elemen utama dalam sistem tersebut adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
KPPS memiliki peran vital dalam mengorganisir dan menjalankan seluruh proses pemungutan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Tugas-tugas yang diemban oleh anggota KPPS meliputi memastikan keberlangsungan pemungutan suara, penghitungan suara, serta pengamanan hasil pemilu.
Setiap tahapan ini memerlukan pelaksanaan yang penuh tanggung jawab dan integritas tinggi, mengingat dampaknya terhadap legitimasi hasil pemilu yang sangat besar. Namun, meskipun memiliki peran yang sangat penting, pekerja KPPS sering kali berada dalam posisi yang tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Hal ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mereka yang bersifat sementara, hanya berlangsung selama masa pemilu atau pemilihan umum. Pekerja KPPS biasanya dipekerjakan dengan sistem kontrak waktu tertentu, yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan perlindungan yang setara dengan pekerja tetap dalam hal hak-hak ketenagakerjaan.
Salah satu tantangan terbesar adalah kesesuaian antara hak-hak pekerja KPPS dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, terutama dalam kerangka Undang-Undang Cipta Kerja yang diterbitkan pada tahun 2020.
UU Cipta Kerja mengatur sejumlah perubahan penting dalam regulasi ketenagakerjaan, yang berpotensi memberikan dampak baik positif maupun negatif bagi pekerja dengan status kontrak jangka waktu tertentu, termasuk anggota KPPS.[1]
Untuk itu, penting untuk menganalisis sejauh mana hak-hak pekerja KPPS sejalan dengan ketentuan yang ada dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Sebagai contoh, hak-hak dasar pekerja seperti upah yang layak, jaminan sosial, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas cuti dan waktu istirahat, harus dijamin meskipun sifat pekerjaan mereka bersifat sementara. Namun, dalam kenyataannya, banyak pekerja KPPS yang seringkali tidak menerima upah yang setara dengan tanggung jawab yang mereka emban.
Selain itu, mereka juga tidak selalu mendapatkan jaminan sosial yang memadai, seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, yang sebenarnya harus dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Dalam hal ini, meskipun pekerja KPPS berstatus kontrak sementara, perlindungan yang mereka terima seharusnya tidak jauh berbeda dengan pekerja lainnya yang bekerja di bawah sistem hubungan kerja formal.
Analisis terhadap kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan sangat penting mengingat bahwa pekerja KPPS turut serta dalam menjalankan salah satu tugas negara yang fundamental, yakni pemilu dan pemilihan umum.
Oleh karena itu, upaya untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja KPPS seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia.
Beberapa persoalan utama yang sering dihadapi oleh pekerja KPPS terkait dengan hak-hak ketenagakerjaan di antaranya adalah rendahnya upah yang diterima, ketidakpastian mengenai perlindungan jaminan sosial, serta kurangnya pengakuan terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja yang sah.
Selain itu, meskipun Undang-Undang Cipta Kerja memberikan sejumlah kemudahan dalam hubungan kerja, implementasi dari ketentuan-ketentuan tersebut dalam konteks pekerja kontrak dengan status sementara seperti KPPS sering kali mengalami kendala.[2]
Undang-Undang Cipta Kerja, yang disahkan pada tahun 2020, bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan menyederhanakan regulasi di berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan.
Salah satu perubahan yang signifikan dalam UU ini adalah pengaturan mengenai pekerja kontrak dan tenaga kerja dengan waktu tertentu, yang salah satunya adalah pekerja KPPS. UU Cipta Kerja memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Namun, fleksibilitas tersebut tidak selalu berdampak positif bagi pekerja KPPS.
Meskipun mereka bekerja hanya dalam waktu tertentu dan dengan kontrak yang bersifat sementara, seharusnya mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan upah yang layak, perlindungan sosial, dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam hal ini, pengaturan mengenai pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja tidak selalu menjamin perlindungan yang memadai bagi pekerja KPPS. Selain itu, implementasi dari Undang-Undang Cipta Kerja dalam konteks pekerja dengan status kontrak waktu tertentu seperti KPPS masih menunjukkan adanya celah yang cukup besar.
Pekerja KPPS sering kali tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial tenaga kerja, sehingga mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan atau jaminan kecelakaan kerja yang merupakan hak dasar bagi setiap pekerja. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar hukum ketenagakerjaan yang seharusnya memberikan perlindungan sosial bagi semua pekerja, tanpa terkecuali.
Di sisi lain, meskipun mereka bekerja dengan status kontrak waktu tertentu, hak-hak mereka dalam hal perlindungan keselamatan kerja dan upah yang layak seharusnya tetap diperhatikan secara serius oleh pemerintah dan lembaga terkait.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesesuaian antara hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, serta bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja memengaruhi perlindungan bagi pekerja dengan status kontrak sementara.
Melalui analisis ini, diharapkan dapat ditemukan solusi dan rekomendasi kebijakan yang lebih baik dalam memberikan perlindungan yang lebih memadai bagi pekerja KPPS.
Dengan demikian, pemerataan hak-hak ketenagakerjaan bagi seluruh pekerja, baik yang bekerja dalam jangka waktu tetap maupun yang bekerja dalam jangka waktu tertentu, dapat terwujud secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum Indonesia.[3]
Pembahasan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) adalah unsur penting dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan umum di Indonesia. Mereka bertugas mengorganisir dan menjalankan proses pemungutan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), yang melibatkan sejumlah pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan integritas.
Namun, sering kali timbul pertanyaan terkait apakah hak-hak pekerja KPPS sudah sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja yang mempengaruhi berbagai sektor ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis terhadap kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja.
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan, diatur berbagai hak yang dimiliki oleh pekerja, mulai dari hak untuk mendapatkan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas cuti, hingga hak untuk memperoleh perlindungan atas kondisi kerja yang aman dan sehat.
Namun, pekerja KPPS berada dalam posisi yang sedikit berbeda dibandingkan dengan pekerja pada umumnya, karena mereka hanya bekerja selama masa pemilu atau pemilihan umum, yang bersifat sementara dan terbatas dalam waktu.[4]
Dalam hal ini, pekerja KPPS tidak sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan kerja jangka panjang, seperti yang berlaku dalam hubungan kerja formal antara pekerja dan pemberi kerja pada umumnya.
Meskipun demikian, mereka tetap memiliki hak-hak tertentu sebagai pekerja yang perlu dijamin perlindungannya sesuai dengan hukum ketenagakerjaan. Sebagai contoh, pekerja KPPS berhak mendapatkan upah yang layak atas pekerjaan yang mereka lakukan.
Meskipun tidak ada hubungan kerja permanen, mereka tetap harus diberikan kompensasi yang adil sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka dalam menyelenggarakan pemilu. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, upah adalah salah satu hak pekerja yang diatur secara tegas.
Pasal 94 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa upah harus dibayar sesuai dengan jumlah yang telah disepakati, serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk pekerja KPPS, meskipun masa kerjanya terbatas, mereka berhak menerima upah yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka jalankan selama penyelenggaraan pemilu.
Di samping itu, mereka juga berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan kerja, meskipun dalam konteks kerja yang sifatnya sementara. Namun, meskipun pekerja KPPS memiliki hak untuk mendapatkan upah dan perlindungan lainnya, dalam praktiknya terdapat ketidaksesuaian antara hak-hak pekerja KPPS dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Baca juga: Analisis Kesesuaian Hak-Hak KPPS yang Disabilitas dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
Salah satu isu yang sering muncul adalah rendahnya upah yang diterima oleh pekerja KPPS. Hal ini terjadi karena anggaran untuk penyelenggaraan pemilu terbatas, sehingga pemberian upah bagi pekerja KPPS sering kali dianggap tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung. Selain itu, perlindungan atas hak-hak pekerja KPPS dalam hal jaminan sosial dan keselamatan kerja juga belum sepenuhnya terjamin.[5]
Undang-Undang Cipta Kerja, yang disahkan pada tahun 2020, membawa perubahan signifikan terhadap regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. UU ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan menyederhanakan regulasi yang ada, termasuk dalam sektor ketenagakerjaan.
Beberapa perubahan penting yang diperkenalkan dalam UU Cipta Kerja meliputi ketentuan mengenai hubungan kerja, sistem pengupahan, jaminan sosial, dan perlindungan bagi pekerja. UU Cipta Kerja juga memberikan pengaturan yang lebih fleksibel mengenai hubungan kerja, termasuk dalam hal tenaga kerja kontrak dan pekerjaan waktu tertentu.
Dalam konteks pekerja KPPS, yang memiliki masa kerja terbatas sesuai dengan periode pemilu, pengaturan dalam UU Cipta Kerja tentang pekerjaan waktu tertentu (PKWT) bisa relevan.
PKWT diatur dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja, yang mengatur bahwa pekerja yang dipekerjakan dalam kontrak jangka waktu tertentu berhak memperoleh hak-hak dasar yang setara dengan pekerja tetap, meskipun ada beberapa pengecualian. Namun, meskipun UU Cipta Kerja memberikan fleksibilitas, terdapat potensi ketidakpastian terkait dengan jaminan sosial dan perlindungan pekerja.
Salah satu hal yang perlu dicermati adalah apakah pekerja KPPS, yang bekerja dalam rentang waktu yang sangat terbatas, dapat dijamin perlindungannya dalam hal jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja.
Pasal 24 UU Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja kontrak berhak atas jaminan sosial, namun implementasinya dalam kasus pekerja KPPS masih sering dipertanyakan, karena mereka tidak terdaftar dalam sistem ketenagakerjaan formal dan terikat oleh hubungan kerja yang tidak permanen.
Secara keseluruhan, meskipun UU Cipta Kerja memberikan dasar hukum bagi perlindungan pekerja kontrak, hak-hak pekerja KPPS dalam konteks hukum ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja masih menghadapi sejumlah tantangan.
Salah satu tantangan utama adalah jaminan perlindungan sosial bagi pekerja KPPS, yang sering kali tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial tenaga kerja. Pekerja KPPS mungkin tidak mendapatkan perlindungan yang setara dengan pekerja tetap, terutama dalam hal jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, atau jaminan pensiun.
Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar hukum ketenagakerjaan yang seharusnya memberikan perlindungan sosial bagi semua pekerja, tanpa terkecuali. Selain itu, meskipun UU Cipta Kerja memberikan pengaturan yang lebih fleksibel terkait hubungan kerja, hal ini justru dapat memperburuk ketidakpastian hak pekerja KPPS.
Mereka mungkin tidak memiliki jaminan hak yang jelas, terutama terkait dengan hak atas upah yang layak dan perlindungan lainnya.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pekerja KPPS mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik itu dalam konteks UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa meskipun hak-hak pekerja KPPS diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, terdapat beberapa ketidaksesuaian yang perlu diperbaiki.
Meskipun pekerja KPPS berhak mendapatkan upah yang layak dan perlindungan atas keselamatan kerja, kenyataannya hak-hak tersebut sering kali tidak terpenuhi dengan baik. Selain itu, perlindungan sosial seperti jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja untuk pekerja KPPS belum sepenuhnya terjamin.
Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih jelas dan implementasi yang lebih baik untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja KPPS sejalan dengan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Untuk memahami lebih dalam mengenai kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, kita perlu melihat lebih lanjut aspek pelaksanaan, tantangan, dan peluang yang ada dalam implementasi hak-hak pekerja KPPS di Indonesia.
Hal ini mencakup bukan hanya aspek legal-formal, tetapi juga bagaimana pengaturan tersebut diterjemahkan dalam praktik, dan apa dampaknya bagi pekerja yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemilu. Sebagai pekerjaan dengan waktu yang terbatas dan peran yang sangat spesifik, pekerja KPPS memerlukan perhatian lebih dalam hal perlindungan hak-haknya.
Pekerja KPPS berperan sangat krusial dalam suksesnya pelaksanaan pemilu di Indonesia. Mereka tidak hanya mengorganisir pemungutan suara, tetapi juga bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan keamanan proses pemilihan.
Dalam menjalankan tugasnya, pekerja KPPS harus bekerja dengan penuh ketelitian, ketegasan, dan seringkali menghadapi tekanan dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses pemilu. Namun, meskipun mereka menjalankan tugas yang sangat penting, hak-hak mereka seringkali terlupakan dalam implementasi peraturan ketenagakerjaan yang ada.[6]
Salah satu tantangan terbesar adalah terkait dengan upah. Berdasarkan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja berhak mendapatkan upah yang layak untuk setiap pekerjaan yang dilakukan. Namun, banyak pekerja KPPS yang mengeluhkan rendahnya honorarium yang mereka terima dibandingkan dengan beban kerja yang mereka jalankan.
Meskipun mereka bekerja dalam waktu yang relatif singkat, dengan durasi yang hanya terjadi saat penyelenggaraan pemilu, jumlah upah yang diberikan sering kali tidak proporsional dengan jumlah jam kerja dan tanggung jawab yang mereka emban.
Pada kenyataannya, upah pekerja KPPS sering kali tidak mencakup seluruh biaya yang mereka keluarkan, seperti transportasi, akomodasi, atau kebutuhan lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas di TPS.
UU Cipta Kerja berusaha untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih fleksibel dan efisien, tetapi hal ini berpotensi mengabaikan perlindungan pekerja dengan kondisi kerja tertentu, seperti pekerja dengan status kontrak jangka pendek, seperti pekerja KPPS.
Dengan mengutamakan efisiensi dan penyederhanaan birokrasi, UU ini dapat mengarah pada pengabaian hak-hak pekerja dalam kategori tertentu yang sifat pekerjaannya tidak sesuai dengan pekerjaan tetap atau jangka panjang. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian serius, karena pekerja KPPS yang hanya bekerja untuk waktu tertentu tetap berhak atas perlindungan yang layak, meskipun hubungan kerja mereka tidak bersifat permanen.
Salah satu aspek penting dalam hukum ketenagakerjaan adalah perlindungan jaminan sosial, yang mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, serta jaminan pensiun bagi pekerja. Namun, jaminan sosial ini sering kali tidak sepenuhnya tercakup untuk pekerja KPPS, yang bekerja dengan status kontrak sementara dan tidak terdaftar dalam sistem ketenagakerjaan formal.
Padahal, jaminan sosial ini sangat penting mengingat pekerja KPPS sering kali bekerja dalam kondisi fisik yang melelahkan dan terkadang berisiko terhadap kecelakaan kerja.
Dalam hal ini, UU Cipta Kerja telah mengatur bahwa pekerja kontrak atau pekerja dengan status pekerjaan waktu tertentu (PKWT) tetap berhak atas jaminan sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 39 UU Cipta Kerja. Namun, bagi pekerja KPPS, masalah penerapan jaminan sosial ini masih sering kali diabaikan atau tidak diterapkan dengan baik.
Dalam praktiknya, pekerja KPPS sering kali tidak terdaftar dalam program jaminan sosial tenaga kerja, seperti BPJS Ketenagakerjaan, karena mereka bukan bagian dari pekerja tetap. Ketiadaan jaminan sosial ini membuka celah bagi potensi penyalahgunaan, di mana pekerja KPPS tidak terlindungi secara maksimal ketika terjadi kecelakaan kerja atau masalah kesehatan yang timbul akibat tugas mereka.
Meski dalam UU Cipta Kerja telah diatur bahwa pekerja yang bekerja dalam hubungan kontrak berhak mendapatkan perlindungan sosial, seringkali proses implementasinya tidak berjalan dengan optimal.
Pekerja KPPS, meskipun memiliki hak ini, tidak selalu terdaftar dalam sistem jaminan sosial yang tersedia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa pekerja KPPS, meskipun mereka bekerja dalam waktu terbatas, tetap mendapatkan jaminan sosial yang sesuai, seperti yang diterima oleh pekerja tetap.
Hal ini penting untuk melindungi hak-hak dasar pekerja, terutama mengingat kondisi kerja mereka yang seringkali penuh tekanan dan risiko. Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah salah satu aspek penting yang harus dijamin dalam setiap hubungan kerja, termasuk bagi pekerja yang bekerja dalam waktu singkat seperti KPPS.
Dalam konteks pekerja KPPS, mereka seringkali harus bekerja dalam waktu yang panjang, bahkan hingga larut malam, untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka terkait pemungutan suara, perhitungan suara, dan pengawasan hasil pemilu. Selain itu, mereka juga harus menghadapi kerumunan massa atau tekanan dari berbagai pihak yang berusaha mempengaruhi jalannya pemilu.[7]
Meskipun UU Ketenagakerjaan mengatur perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dalam Pasal 86 hingga Pasal 88, di mana setiap pekerja berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman dan sehat, kondisi pekerja KPPS seringkali tidak sesuai dengan ketentuan tersebut.
Dalam banyak kasus, pekerja KPPS tidak mendapatkan pelatihan atau perlindungan yang memadai mengenai bagaimana menangani potensi bahaya atau ancaman yang mungkin timbul saat melaksanakan tugas mereka. Selain itu, pekerja KPPS sering kali tidak dilengkapi dengan fasilitas atau peralatan yang memadai untuk menjamin keselamatan mereka selama bertugas.
Perlindungan terhadap keselamatan kerja juga mencakup aspek kesehatan mental dan fisik pekerja. Pekerja KPPS, yang seringkali menghadapi stres yang tinggi dalam pelaksanaan tugas mereka, perlu mendapatkan perhatian lebih terhadap kondisi kesehatannya.
Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang memastikan pekerja KPPS tidak hanya dilindungi dalam hal keselamatan fisik, tetapi juga dalam aspek kesehatan mental, yang sering kali terabaikan dalam pekerjaan yang penuh tekanan seperti ini.
Untuk mencapai kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja, diperlukan langkah-langkah nyata dari pemerintah dan pihak terkait. Penyempurnaan regulasi yang ada, termasuk penyusunan peraturan pelaksanaan yang lebih detail dan spesifik terkait dengan pekerja kontrak dalam pemilu, menjadi langkah yang sangat penting.
Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja KPPS, meskipun mereka bekerja dalam waktu yang terbatas, tetap terlindungi dengan baik. Selain itu, peningkatan kesadaran tentang pentingnya perlindungan bagi pekerja KPPS juga perlu dilakukan.
Penyuluhan mengenai hak-hak pekerja KPPS dan bagaimana mereka dapat mengakses perlindungan yang layak, seperti jaminan sosial dan perlindungan keselamatan kerja, harus digalakkan. Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem yang menjamin hak-hak pekerja KPPS, dengan memperhatikan aspek kesejahteraan dan keselamatan mereka.
Analisis terhadap kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan adanya sejumlah tantangan dan celah yang perlu diperbaiki.
Meskipun UU Cipta Kerja memberikan perlindungan bagi pekerja dengan status kontrak, kenyataannya pekerja KPPS sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang setara dengan pekerja tetap. Hal ini terlihat dalam isu terkait upah yang tidak sesuai dengan beban kerja, ketidakjelasan jaminan sosial, serta kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa pekerja KPPS memperoleh hak-hak yang sejalan dengan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, dengan memperhatikan aspek kesetaraan, perlindungan, dan kesejahteraan mereka.
Selain masalah upah, jaminan sosial, dan keselamatan kerja, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah aspek pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan hak-hak pekerja KPPS. Meskipun hukum ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja memberikan dasar yang jelas terkait dengan perlindungan hak-hak pekerja, dalam kenyataannya, pengawasan terhadap pelaksanaannya seringkali terbatas.
Hal ini berpotensi mengarah pada ketidakpastian bagi pekerja KPPS dalam memperoleh hak-hak mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi tantangan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum yang ada serta menyarankan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi hak-hak pekerja KPPS adalah lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Dalam konteks pekerja dengan status kontrak atau pekerja sementara, pengawasan terhadap pemenuhan hak-hak mereka sering kali terabaikan.
Meskipun pekerja KPPS berhak atas sejumlah perlindungan yang diatur oleh hukum, termasuk jaminan sosial dan keselamatan kerja, sering kali mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap hak-hak tersebut. Hal ini bisa terjadi karena terbatasnya pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Keterbatasan pengawasan ini sering kali diperburuk oleh kenyataan bahwa pekerja KPPS hanya bekerja dalam waktu singkat, biasanya hanya pada periode pemilu atau pemilihan umum tertentu.
Dengan periode kerja yang terbatas, pekerja KPPS mungkin merasa kesulitan untuk mengajukan keluhan atau meminta perlindungan hukum terkait dengan hak-hak mereka, karena mereka tidak memiliki hubungan kerja yang permanen dengan lembaga atau instansi yang mengontrak mereka.
Ketidakpastian status kerja ini sering kali mengakibatkan pekerja KPPS merasa tidak memiliki saluran untuk melaporkan pelanggaran hak mereka, baik itu terkait dengan upah yang tidak sesuai, kurangnya jaminan sosial, atau kondisi kerja yang berisiko.[8]
Dalam hal ini, penguatan sistem pengawasan menjadi penting agar hak-hak pekerja KPPS dapat terpenuhi dengan baik. Pengawasan yang lebih efektif dapat dilakukan dengan melibatkan lebih banyak pihak terkait, seperti pihak penyelenggara pemilu (KPU), Kementerian Ketenagakerjaan, serta lembaga pengawasan sosial lainnya.
Selain itu, pekerja KPPS juga perlu diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak mereka dan bagaimana cara mereka dapat mengakses perlindungan hukum jika hak-hak tersebut tidak dipenuhi. Penyuluhan mengenai pentingnya hak-hak ketenagakerjaan dan proses pengaduan dapat membantu pekerja KPPS dalam melindungi kepentingan mereka.
Penegakan hukum yang efektif juga merupakan hal yang sangat penting dalam memastikan hak-hak pekerja KPPS dilindungi dengan baik. Meskipun undang-undang telah mengatur hak-hak pekerja, implementasi hukum yang lemah atau penegakan yang tidak maksimal sering kali menyebabkan pelanggaran hak pekerja tetap terjadi.
Salah satu contoh nyata dari hal ini adalah pemberian upah yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, atau ketidakmampuan pekerja KPPS untuk mendapatkan perlindungan sosial yang mereka butuhkan, seperti jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kesehatan.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak pekerja KPPS seringkali terhambat oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah ketidakjelasan tentang status hubungan kerja antara pekerja KPPS dan pihak yang menyelenggarakan pemilu.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pekerja KPPS tidak memiliki hubungan kerja yang permanen dengan lembaga pemerintah atau pihak penyelenggara pemilu, sehingga mereka sering kali terabaikan dalam hal perlindungan hukum.
Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran hak-hak pekerja KPPS, serta adanya mekanisme yang jelas dan mudah diakses oleh pekerja dalam mengajukan keluhan atau laporan terkait pelanggaran yang terjadi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penegakan hukum adalah dengan memperkuat peran lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan ketenagakerjaan, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, pemberian sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang tidak memenuhi hak-hak pekerja KPPS juga menjadi langkah yang penting untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi dengan baik. Pekerja KPPS harus merasa bahwa ada sistem hukum yang dapat melindungi mereka jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka, baik itu terkait dengan upah, jaminan sosial, maupun keselamatan kerja.
Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja KPPS. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu, pemerintah harus memastikan bahwa pekerja KPPS mendapatkan hak-hak mereka secara adil dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Salah satu langkah yang dapat diambil oleh pemerintah adalah dengan memastikan bahwa pekerja KPPS terdaftar dalam sistem jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, untuk memastikan bahwa mereka terlindungi dari risiko kecelakaan kerja dan memperoleh akses ke layanan kesehatan yang memadai.
Selain itu, pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup untuk memastikan bahwa pekerja KPPS mendapatkan upah yang layak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka jalankan.
Pemberian honorarium yang adil dan proporsional sangat penting agar pekerja KPPS merasa dihargai atas kontribusi mereka dalam menyukseskan pemilu. Upah yang layak juga menjadi bentuk penghormatan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan, yang sering kali berlangsung dalam kondisi yang penuh tekanan dan tantangan.[9]
Dalam konteks UU Cipta Kerja, yang mendorong penciptaan lapangan kerja yang fleksibel dan efisien, pemerintah perlu memastikan bahwa fleksibilitas tersebut tidak mengorbankan hak-hak pekerja, khususnya pekerja dengan status kontrak sementara seperti KPPS.
Pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara efisiensi dan perlindungan hak pekerja, sehingga pekerja KPPS tetap dapat menikmati hak-hak dasar mereka, seperti upah yang layak, perlindungan keselamatan kerja, dan jaminan sosial.
Pemerintah juga perlu memperhatikan kesejahteraan mental pekerja KPPS, dengan memberikan ruang untuk istirahat yang cukup dan mengurangi tekanan yang mereka hadapi selama proses pemilu. Secara keseluruhan, analisis tentang kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan adanya sejumlah tantangan dalam pelaksanaan perlindungan hak pekerja KPPS di Indonesia.
Meskipun hukum ketenagakerjaan memberikan landasan perlindungan yang jelas, pekerja KPPS sering kali tidak mendapatkan hak-hak mereka secara penuh. Masalah utama yang dihadapi oleh pekerja KPPS adalah terkait dengan rendahnya upah, ketidakjelasan jaminan sosial, serta kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Di samping itu, pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang tidak efektif juga berkontribusi pada ketidakpastian perlindungan bagi pekerja KPPS. Untuk itu, perlu adanya langkah-langkah konkrit dari pemerintah, pihak penyelenggara pemilu, dan lembaga ketenagakerjaan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja KPPS terlindungi dengan baik.
Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan, memastikan pemberian upah yang layak, dan memberikan jaminan sosial yang memadai bagi pekerja KPPS. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan efektif perlu diperkuat untuk melindungi hak-hak pekerja dan memastikan bahwa pekerja KPPS dapat menjalankan tugas mereka dengan rasa aman dan dihargai.
Dengan langkah-langkah tersebut, hak-hak pekerja KPPS akan lebih terlindungi dan tercipta sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan.[10]
Penutup
Pekerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memegang peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan umum di Indonesia. Sebagai penyelenggara teknis yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS), pekerja KPPS memiliki tugas yang cukup berat yang membutuhkan integritas dan dedikasi tinggi.
Namun, meskipun hak-hak pekerja KPPS diatur dalam hukum ketenagakerjaan, khususnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, kenyataannya masih terdapat ketidaksesuaian antara hak-hak pekerja KPPS dengan ketentuan yang ada.
Pekerja KPPS berhak atas sejumlah hak yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan, seperti upah yang layak, jaminan sosial, serta perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Meskipun demikian, dalam praktiknya, pekerja KPPS sering kali tidak mendapatkan upah yang sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung. Selain itu, hak-hak terkait jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, sering kali tidak terpenuhi dengan baik, mengingat status mereka yang bersifat sementara dan tidak terdaftar dalam sistem ketenagakerjaan formal.
Undang-Undang Cipta Kerja, meskipun memberikan kemudahan dan fleksibilitas dalam hubungan kerja, ternyata belum sepenuhnya memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja KPPS. Pekerja KPPS yang bekerja dalam kontrak jangka waktu tertentu (PKWT) memang dilindungi oleh beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, namun implementasinya dalam konteks pekerja dengan status kontrak sementara ini sering kali tidak dapat dipastikan.
Keterbatasan waktu kerja serta ketidakpastian status hubungan kerja menyebabkan mereka seringkali tidak terdaftar dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga mereka terpapar risiko tanpa perlindungan yang cukup.
Secara keseluruhan, meskipun pekerja KPPS diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, terdapat berbagai tantangan dalam implementasi hak-hak mereka yang harus segera diperbaiki.
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih spesifik untuk memastikan bahwa pekerja KPPS mendapatkan hak-hak yang setara dengan pekerja formal lainnya, meskipun mereka hanya bekerja dalam waktu yang terbatas.
Berdasarkan temuan dan analisis yang telah disampaikan, beberapa langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kesesuaian hak-hak pekerja KPPS dengan hukum ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi yang lebih spesifik untuk melindungi pekerja KPPS dalam hal hak-hak ketenagakerjaan, termasuk upah, jaminan sosial, dan perlindungan keselamatan kerja. Regulasi ini harus disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan mereka yang bersifat sementara, namun tetap memberikan perlindungan yang memadai.
Kedua, untuk memastikan implementasi hak-hak pekerja KPPS sesuai dengan ketentuan hukum yang ada, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dari lembaga terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, pekerja KPPS perlu diberi pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak mereka yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan, sehingga mereka dapat mengakses perlindungan yang mereka butuhkan jika hak mereka tidak dipenuhi.
Keempat, pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga harus lebih aktif dalam memastikan bahwa hak pekerja KPPS dihormati dan dipenuhi dengan baik.
Terakhir, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melakukan revisi atau penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya terkait perlindungan sosial dan hak-hak pekerja kontrak jangka waktu tertentu, agar pekerja dengan status kontrak seperti KPPS tidak tertinggal dalam hal perlindungan ketenagakerjaan.
Penulis:
- Bunga Berti Patricia Joti Saragi
- Mega Dewi Ambarwati, S.H., M.H.
Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Referensi
Dina, L. L. M. (2025). Analisis Kesesuaian Honor dan Hak-Hak KPPS dengan Peraturan Desa serta Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, 3(1), 207-214.
Dirkareshza, R., Wahid, U., Wijaya, S., Dirkareshza, N. P., & Permatasari, E. D. (2023). Inklusi Politik untuk Semua: Menuju Pemilihan Umum yang Lebih Responsif terhadap Penyandang Disabilitas. PT Idemedia Pustaka Utama.
Nasution, N. F. (2021). Pelaksanaan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang hak politik bagi penyandang disabilitas di Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan (Doctoral dissertation, IAIN Padangsidimpuan).
Aminuddin, M. F., & Prasetyawan, W. (Eds.). (2022). Pasang Surut Demokrasi: Refleksi Politik Indonesia 1999-2019. LP3ES.
Dina, L. L. M. (2025). Analisis Kesesuaian Honor dan Hak-Hak KPPS dengan Peraturan Desa serta Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, 3(1), 207-214.
Valentina, T. R. (2024). Literasi Informasi Petugas KPPS Terhadap Keterpunuhan Hak-Hak Sebagai Pekerja Pada Pemilu 2019. Jurnal Niara, 16(3), 561-567.
Melinasari, R., Hertanto, H., Warganegara, A., & Maryanah, T. (2023). Pelaksanaan Pemilu 2019 di Kabupaten Mesuji: Kualitas Kerja KPPS. Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online), 697-704.
Insiyah, S. Regresi Hak Asasi di Tengah Pandemi.
PENA, P. A. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta.
Afriansyah, A., Ardianingsih, A., Habibu, R., Kusnadi, I. H., Ulya, Z., Putri, D. A., … & Silalahi, J. (2022). Konsep dan Teori Etika Bisnis.
[1] Dina, L. L. M. (2025). Analisis Kesesuaian Honor dan Hak-Hak KPPS dengan Peraturan Desa serta Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, 3(1), 207-214.
[2] Dirkareshza, R., Wahid, U., Wijaya, S., Dirkareshza, N. P., & Permatasari, E. D. (2023). Inklusi Politik untuk Semua: Menuju Pemilihan Umum yang Lebih Responsif terhadap Penyandang Disabilitas. PT Idemedia Pustaka Utama.
[3] Nasution, N. F. (2021). Pelaksanaan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang hak politik bagi penyandang disabilitas di Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan (Doctoral dissertation, IAIN Padangsidimpuan).
[4] Aminuddin, M. F., & Prasetyawan, W. (Eds.). (2022). Pasang Surut Demokrasi: Refleksi Politik Indonesia 1999-2019. LP3ES.
[5] Dina, L. L. M. (2025). Analisis Kesesuaian Honor dan Hak-Hak KPPS dengan Peraturan Desa serta Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, 3(1), 207-214.
[6] Valentina, T. R. (2024). Literasi Informasi Petugas KPPS Terhadap Keterpunuhan Hak-Hak Sebagai Pekerja Pada Pemilu 2019. Jurnal Niara, 16(3), 561-567.
[7] Melinasari, R., Hertanto, H., Warganegara, A., & Maryanah, T. (2023). Pelaksanaan Pemilu 2019 di Kabupaten Mesuji: Kualitas Kerja KPPS. Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online), 697-704.
[8] Insiyah, S. Regresi Hak Asasi di Tengah Pandemi.
[9] PENA, P. A. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta.
[10] Afriansyah, A., Ardianingsih, A., Habibu, R., Kusnadi, I. H., Ulya, Z., Putri, D. A., … & Silalahi, J. (2022). Konsep dan Teori Etika Bisnis.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News