Agresivitas Tiongkok untuk Menguasai Afrika dalam Keterlibatan dengan Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC)

Africa China Locator
Africa China Locator (Source: Social Media)

Perkembangan Ekonomi Tiongkok

Tiongkok menjadi trending topic pada dekade belakangan ini. Tidak mengherankan , dikarenakan eksistensinya di kancah dunia perekonomian dunia dapat dikatakan tak tergoyahkan dan berdiri tegak di urutan kedua sebagai negara dengan perekonomian terkuat di dunia setelah negara super power lainnya di dunia saat ini, Amerika Serikat.

Semua yang Tiongkok dapatkan saat ini dapat dikatakan telah melewati proses yang panjang, bahkan Tiongkok dikatakan sebagai suatu fenomena yang mengherankan bagi dunia. Bagaimana tidak, dalam sejarah, negara tirai bambu ini sempat menjadi negara yang bahkan dapat dikatakan miskin di kawasan Asia.

Dengan luas wilayahnya, Tiongkok hingga saat ini masuk dalam daftar 5 besar negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, dan juga masih dalam tiga besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Bacaan Lainnya

Dengan ini tidak mengherankan apabila permasalahan ekonomi di Tiongkok menjadi salah satu hal yang mengkhawatirkan saat itu, sehingga kemiskinan di Tiongkok sempat dikatakan menjadi hambatan bagi wilayah Asia.

Situasi perkembangan ekonomi di Asia, terkhusus Asia Timur, tercatat masuk kedalam masa perkembangan yang signifikan cepat memasuki tahun 1980-an. Kemajuan perkembangan ekonomi yang cepat ini juga mempengaruhi perekonomian Tiongkok, sehingga aspek-aspek dalam perekonomian Tiongkok menjadi perhatian besar yang menarik negara-negara lain (Fanzhang, 1994).

Kemajuan perekonomian Tiongkok yang signifikan ini tidak lepas dari usaha para pemimpinnya yang merindukan kesejahteraan bagi RRC. Perekonomian Tiongkok yang dibangun dan semakin kuat di akhir abad 20 lalu, dikatakan sebagai salah satu perkembangan yang sangat penting bagi dunia.

Tiongkok telah mengalami banyak perubahan, yang mana dari setiap perubahan yang dirasakan oleh masyarakat merupakan rencana-rencana atau program kerja yang dilakukan oleh setiap pemimpin di dalam periode kepemimpinannya.

Kebijakan dan lembaga ditekankan untuk pembangunan ekonomi semasa pemerintahan Mao Zedong (1952-1975) berbeda dengan Deng Xiaoping (1978-1995).

Penekanan yang berbeda juga berlaku dalam pembangunan ekonomi pada masa kepemimpinan Jiang Zemin (Dernberger & Robert F, 1999). Namun perkembangan signifikan yang dirasa membawa Tiongkok ke dalam perubahan besar dan maju, hingga terus berlanjut hingga saat ini adalah pada masa Deng Xiaoping. Maka dari itu Deng Xiaoping dinobatkan menjadi bapak ekonomi Tiongkok.

Menurut Dollar (2016 : 197) peningkatan ekonomi Tiongkok adalah salah satu faktor yang menciptakan ketegangan di dunia internasional bidang keuangan. Tiongkok sudah menjadi negara perdagangan terbesar dan kedua ekonomi terbesar, dan kemungkinan akan muncul dalam beberapa tahun mendatang sebagai dunia kreditor bersih terbesar.

Saat ini di tempat kedua, Tiongkok memiliki perkiraan $ 2,4 triliun dalam aset asing bersih pada akhir 2015, dibandingkan dengan Jepang $ 3,6 triliun. Dalam empat tahun yang berakhir pada 2015, akun lancar kumulatif Tiongkok surplus berjumlah sekitar $ 1 triliun jauh lebih besar dari $ 200 miliar Jepang. Jika itu berlanjut, itu adalah membuktikan secara sederhana bahwa Tiongkok akan menjadi kreditor bersih terbesar sekitar tahun 2020.

Apabila menilik ke belakang pada sejarah perjalanan perekonomian Tiongkok, di akhir tahun 1970-an Tiongkok mulai mengubah dan bangkit dari sistem lamanya yang sempat dianutnya selama kurang lebih 30 tahun mulai zaman pemerintahan Mao Zedong.

Pada tahun 1978 Tiongkok mulai meninggalkan sistem perencanaan bertahap dan kembali ke ekonomi yang lebih berorientasi pasar. Revolusi kebudayaan yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun di 1966-1976 menghalangi jalan masuknya modernisasi, dikarenakan sistem yang sudah terlanjur di anut oleh Tiongkok sejak era 1950-an.

Maka dari itu beberapa alasan yang dapat dikatakan menjadi sebab tahun reformasi ekonomi Tiongkok pada 1978 adalah adanya Revolusi Kebudayaan tahun 1966-1976 yang tidak begitu menjadi perhatian utama saat itu, tidak sepopuler proses modernisasi yang masuk beriringan menyebabkan Partai Komunis Tiongkok dan pemerintah harus berubah arah agar mendapat dukungan dari rakyat Tionghoa.

Ketua Partai Mao Zedong yang merancang Revolusi Kebudayaan kemudian meninggal pada tahun 1976. Selanjutnya, Deng Xiaoping menjadi pemimpin Tiongkok karena didukung oleh partai atas (Chow, 2004).

Alasan kuat selanjutnya adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang pesat yang terjadi di negara-negara tetangga Tiongkok yang berorientasi pasar lebih terasa sebagai contoh bahwa ekonomi pasar dapat berkinerja lebih baik.

Negara-negara tetangga tersebut diantaranya, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan dan Singapura. Adanya kontras dalam kinerja ekonomi antara Korea Utara dan Selatan, antara Jerman Timur dan Barat, dan antara Eropa Timur dan Barat juga turut memperkuat hal ini. Dan yang menjadi alasan lainnya adalah, untuk alasan yang disebutkan di atas, warga Tiongkok menginginkan sebuah reformasi yang berorientasi pasar.

Orang Tionghoa juga menderita akibat konsekuensi ekonomi dari perencanaan pusat, termasuk kekurangan barang konsumsi, keterbatasan varietas dan kurangnya peningkatan kualitas. Mereka harus menyesuaikan diri dengan pemasok barang konsumsi dan menunggu dalam antrian panjang untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan (Chow, 2004).

Dari kilasan singkat sejarah perekonomian Tiongkok tersebut, dapat terbukti bahwa panjang dan berlikunya proses perkembangan perekonomian Tiongkok itulah yang membuat Tiongkok dapat menjadi negara dengan ekonomi kuat saat ini. Bahkan Tiongkok dikatakan menjadi salah satu sandaran utama beberapa negara di dunia dalam hal ekonomi.

Negara-negara yang menjadi sasaran investasi Tiongkok ini kebanyakan adalah negara berkembang di Asia. Jika melihat pengaruh Tiongkok di daratan Asia hingga saat ini, bahkan dapat dikatakan ketergantungan negara-negara di Asia kepada negeri tirai bambu ini, sudah terlampau jauh, membuat keadaan di Asia tidak terlepas atas pengaruh kekuasaan oleh Tiongkok didalamnya. Melihat sifat ketergantungan ini, Tiongkok terlihat mengangkat dagu atas keberhasilannya.

 

Dinamika Bilateral Tiongkok dan Afrika dalam FOCAC

Namun ternyata cakupan wilayah Asia dirasa belum memuaskan. Lantas Tiongkok mulai melebarkan sayapnya meraih wilayah lain. Seperti yang diketahui, disetiap hubungan bilateral yang disepakati antara dua negara, pasti ada keuntungan yang harusnya didapat oleh kedua negara.

Yang menarik dan menjadi sorotan adalah saat Tiongkok menjadikan Afrika sebagai salah satu dari pilihannya untuk mendapat aliran dana langsung dari Tiongkok pada masa pemerintahan Xi JinPing pada KTT FOCAC tahun 2015 lalu di Beijing.

Benua yang dikenal sebagai benua termiskin di dunia ini dijadikan Tiongkok sebagai tempat berinvestasi. Melihat tawaran yang langsung menarik perhatian Afrika ini nyatanya tidak di sia-siakan.  Dengan himbauan Tiongkok atas dana yang diberikan untuk pembangunan demi kesejahteraan di wilayah Afrika, membuat Afrika dengan tangan terbuka menerimanya.

Hubungan kerjasama bilateral oleh Tiongkok dan Afrika terbagi dalam dua bagian besar, yaitu pada saat sebelum dan sesudah terjalinnya hubungan diplomatik.

Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Indonesia pada tahun 1955 menjadi awal hubungan bilateral antara Tiongkok dan Afrika, terkhusus Afrika Selatan, ini terjadi sebelum disahkannya hubungan diplomatik antar kedua negara ini.

Sedangkan setelah adanya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Afrika, hubungan bilateral ini menjadi lebih erat saat sah dengan ditandatanganinya nota diplomatik antara Tiongkok dan Afrika Selatan yang tercatat pada tahun 1998 lalu berlanjut pada pembentukan Komisi Bi-Nasional pada tahun 2000.

Dalam kerjasama multilateralnya, Tiongkok dan Afrika Selatan melakukannya melalui pembentukan FOCAC (Forum On China-Africa Cooperation) tahun 2000 bersama negara-negara Afrika lainnya.

Melalui Komisi Bi-Nasional dan FOCAC, Tiongkok telah mengembangkan kerjasamanya secara pesat terhadap Afrika khususnya Afrika Selatan, di mana pada tahun 2003-2008, peningkatan perdagangan kedua belah pihak mencapai angka yang signifikan dibanding tahuntahun sebelumnya.

FOCAC adalah Forum on China-Africa Cooperation yang terbentuk pada tahun 2000, dan Tiongkok sendiri yang menjadi inisiator dan memprakarsai pembentukan FOCAC. FOCAC beranggotakan 49 negara dari benua Afrika dan Tiongkok sendiri sebagai pendiri dan anggota terpenting di dalamnya.

Berhubungan dengan aktivitas peningkatan perekonomian Tiongkok yang kian lama kian pesat, pembentukan FOCAC adalah salah satu cara Tiongkok untuk meningkatkan eksistensinya di dalam kancah organisasi internasional.

Tujuan FOCAC sendiri telah jelas terlihat saat FOCAC terbentuk. Tiongkok yang menjadi negara rising power sedang melebarkan sayap kekuasaannya untuk kali ini merangkul negara di Afrika dan berusaha juga untuk menegakkan eksistensinya di Afrika, sama seperti apa yang sudah dilakukan Tiongkok di kawasan Asia.

FOCAC mengkhususkan kerjasama antara Tiongkok dengan negara-negara Afrika dalam bidang ekonomi. Mengkhususkan pada free-trade yang ingin di kembangkan juga di Afrika, mengingat perkembangan perekonomian global pada saat memasuki abad ke 21, mendorong setiap negara untuk melakukan perdagangan yang lebih terbuka kepada dunia.

Mengingat bahwa melakukan kerjasama dinilai lebih menguntungkan, dibanding dengan jalur kekerasan, yaitu dengan berperang. FOCAC pun tidak hanya sebatas membahas bidang ekonomi tapi juga permasalahan dalam bidang lain banyak diperbincangkan dalam setiap pertemuan FOCAC.

Tiongkok fokus pada Afrika lewat kerjasamanya dalam hal ekonomi yang diawali lewat pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tiongkok-Afrika yang menghasilkan FOCAC. Forum ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama investasi dan perdagangan antara Tiongkok dan Afrika. Hingga saat ini ada sekitar 49 negara di Afrika yang menjadi anggota FOCAC di mana kegiatan perdagangan bebas terbuka bagi Tiongkok dan negara-negara Afrika.

Adanya beberapa hal menarik yang menjadi perhatian dunia terhadap satu organisasi ciptaan Tiongkok sendiri ini adalah Tiongkok bermitra dengan negara-negara yang ada di Benua Afrika, yang berada pada jarak relatif jauh dari Tiongkok.

Situasi ini berbeda dengan pemilihan negara-negara mitra Tiongkok dalam ASEAN-China Free Trade Agreement dan Shanghai Cooperation Organization, di mana Tiongkok bekerja sama dengan negara-negara tetangga yang masih berada di kawasan Asia, yaitu Asia Timur dan Asia Tenggara.

Selain itu, kawasan Afrika yang kerap kali berhadapan dengan konflik dan ketidakstabilan dan berbagai ancaman, tercatat dalam Departemen Pertahanan Inggris telah terjadi jumlah peningkatan konflik yang melibatkan senjata dalam kurun waktu 1964 hingga tahun 2000, tepat pada saat pendirian FOCAC.

Ketidakstabilan ini menimbulkan risiko yang serius bagi Tiongkok,  terkhusus dalam segi interaksi dan komitmen serta kerjasama bilateral dengan negara-negara Afrika. Keunikan lainnya dari FOCAC adalah, organisasi ini tidak terinstitusionalisasi secara formal.

Instrumen-instrumen yang dihasilkan dari organisasi ini, yaitu deklarasi dan rencana aksi, tidak memiliki kekuatan mengikat negara-negara yang menyepakatinya.

Kekuatan dari instrumen-instrumen yang seperti ini cenderung lebih lemah dibandingkan dengan instrumen yang dengan jelas mengikat, seperti Traktat dan Piagam, dalam memastikan komitmen negara-negara yang terlibat. Karena seperti yang diketahui FOCAC ini memiliki sifat yang informal atau tidak formal.

Dengan rancangan sifat organisasi yang informal, Tiongkok dihadapkan dengan resiko kerugian yang signifikan, karena melihat lemah dan tidak pastinya komitmen dari negara-negara Afrika terhadap kesepakatan yang ada dalam organisasi dan kosongnya mekanisme enforcement seperti pemberian sanksi yang dapat dilakukan Tiongkok untuk mencegah kecurangan atau ketidakpatuhan dari negara-negara Afrika, membuat apa yang disebut keunikan dari organisasi ini lebih terlihat seperti sebuah wadah kerjasama yang membuahkan kerugian tersendiri.

Pemilihan Afrika sebagai wilayah kerja sama FOCAC dan desain FOCAC sebagai institusi informal memberikan risiko kerugian yang besar bagi Tiongkok. Risiko tersebut berupa instabilitas kawasan dan ketidakpatuhan dari negara-negara Afrika terhadap komitmen yang dilakukan dalam organisasi.

Akan tetapi, Tiongkok tetap memilih untuk membentuk dan mempertahankan FOCAC selama lebih dari satu dekade hingga tahun Terdapat ketidaksesuaian antara risiko yang timbul dengan pilihan yang diambil oleh Tiongkok untuk membentuk FOCAC.

 

Kepentingan Tiongkok dalam Investasinya di Afrika

Motif utama Tiongkok untuk semakin menguatkan hubungan bisnisnya dengan Afrika adalah kebutuhan untuk mendapatkan sumber energi yang sangat mendesak untuk mendukung perkembangan sektor industri Tiongkok yang saat ini produk-produknya yang hampir membanjiri pasar-pasar asing di seluruh dunia, dan hal inilah yang menjadikan Tiongkok sebagai pesaing kuat Amerika Serikat yang telah lama mendominasi perdagangan dunia.

Selain itu, Tiongkok bermaksud untuk mengupayakan agar memperoleh akses yang luas terutama menyangkut komoditi pertambangan sumber daya energi dari Afrika.

Tiongkok diketahui saat ini tidak lagi secara murni menganut ideologi komunis tetapi lebih kepada ideologi nasional pragmatis yaitu menjalin kerjasama dengan siapa saja yang keuntungan bagi mereka, sehingga menarik Amerika dan Rusia yang dalam kekuasaannya telah masuk dalam sistem yang unipolar sulit untuk menarik Tiongkok menjadi bagian dari porosnya.

Karena dengan meningkatnya perekonomian Tiongkok yang meningkat sebesar 11.9 persen pada tahun 2007 menurut data dari Congressional Research Service Library of Congress pada jurnalnya yang berjudul CHINA’S FOREIGN POLICY AND ‘‘SOFT POWER’’ IN SOUTH AMERICA, ASIA, AND AFRICA, memperkuat dugaan Tiongkok akan menjadi raksasa perekonomian dunia.

Ini justru membuat Rusia terlebih Amerika Serikat khawatir akan perkembangan signifikan yang secara terang-terangan di tunjukan oleh Tiongkok kepada dunia.

Karena dapat terlihat kegigihan dan kemantapan yang di miliki Tiongkok dalam perekonomiannya, membuat Tiongkok terlihat dengan percaya diri melenggang menjadi salah satu negara rising power yang bahkan telah menjadi super power di atas kakinya sendiri dan merasa tidak perlu masuk dalam poros yang diciptakan Amerika Serikat dan Rusia.

Seperti yang sudah dikatakan bahwa perdagangan yang terbuka telah mengharuskan dan mendorong negara-negara untuk melakukan perdagangan bebas dengan dunia adalah menjadi salah satu alasannya.

Namun adanya kerjasama bilateral dalam pencarian sumber daya alam yang selalu menjadi jawaban untuk mendapat keuntungan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut adalah juga menjadi sebuah alasan penting adanya FOCAC di antara Tiongkok dan Afrika disamping daripada kepentingan bisnis dalam perdagangan.

Fokus keseriusan Tiongkok untuk menjalin kerjasama bilateral dengan Afrika dan merangkul Afrika menjadi mitra sebagai juga sasaran investasi yang tidak tanggung nilainya, yaitu sebesar US$60 miliar, seperti yang dijanjikan pada KTT FOCAC 2015 lalu, yaitu termasuk dalam investasi, dana pinjaman lunak dan kelangsungan infrastruktur di benua Afrika, membuktikan bahwa tindakan Tiongkok ini adalah langkah serius yang sekaligus langkah besar bagi kerjasama bilateral antara Tiongkok dan Afrika, dan juga sebuah perubahan besar bagi perkembangan perekonomian dunia.

Potensi pasar yang baik dan pembangunan infrastruktur yang berkesinambungan menciptakan kondisi yang lebih harmonis di antara Tiongkok dan Afrika. Secara singkat memang Tiongkok melihat bagaimana peluang FOCAC bagi negaranya terutama dalam bidang ekonomi.

Oleh sebab itu, dapat dilihat bagaimana Tiongkok memahami pentingnya FOCAC diambil dalam salah satu kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, Tiongkok menjadi negara yang memperlihatkan tindakan agresif untuk mempromosikan FOCAC ke negara-negara internasional.

Tiongkok dijadwalkan untuk menjanjikan miliaran dolar lebih banyak dalam bantuan dan pinjaman kepada negara-negara Afrika pada konferensi utama di Beijing pada hari Senin, bahkan ketika risiko utang meningkat dan pengembalian yang lebih rendah dari perkiraan telah memperlambat investasi Tiongkok di benua itu, kata para analis.

Dari sejak awal, dalam memberikan bantuan asing, Tiongkok menekankan prinsip kesetaraan dan saling menghargai. Dalam kurun waktu tahun 1963 hingga tahun 1964 Perdana Menteri Zhou Enlai melakukan 10 kunjungan ke Afrika10 untuk mempererat kerjasama dengan negaranegara di Afrika.

Tiongkok menawarkan bantuan kepada negara-negara di Afrika yang difokuskan pada pengembangan infrastruktur, pengembangan teknis, dan pertukaran pelajar. Contoh kerjasama yang dilakukan adalah pembangunan rel Tazara yang menghubungkan Zambia ke Dar es Salaam di Tanzania.

Secara keseluruhan, para pemimpin dari 53 negara Afrika diharapkan untuk mengambil bagian dalam Forum tentang Kerjasama Tiongkok-Afrika pada pertemuan FOCAC 2018. Dalam pembicaraannya dengan Presiden Guinea Alpha Conde pada hari Sabtu, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan hubungan antara Tiongkok dan Afrika berkembang cepat.

Dia juga mendesak Guinea untuk lebih berpartisipasi dalam “Inisiatif Sabuk dan Jalan”, program utama proyek infrastruktur Xi yang menjangkau seluruh dunia. Meskipun ada kekhawatiran yang meningkat atas pinjaman China, Xi diperkirakan akan mengumumkan lebih banyak pembiayaan ke Afrika dalam pidatonya di forum tersebut, setelah menjanjikan pinjaman dan hibah sebesar US $ 60 miliar pada konferensi terakhir tahun 2015.

Salah satu tujuan yang dinyatakan adalah untuk “mensinergikan” program sabuk dan jalan, bahkan ketika struktur pinjaman inisiatif semakin mendapat kecaman karena potensinya untuk menghasilkan “diplomasi perangkap utang”.

Kecurigaan ini didukung dengan keputusan Tiongkok yang mencengangkan, yaitu dengan menetapkan pinjaman sebagai pinjaman yang bersifat lunak, serta sebagian dari hutang Afrika yang tercatat sudah sebanyak US$130 miliar kepada Tiongkok hingga tahun 2018 dihapuskan oleh Tiongkok, yang membuat dunia bertanya-tanya, apa sebenarnya motif dibalik tindakan yang menghebohkan dunia, terlebih Afrika sendiri.

Sebagai mitra dagang terbesar di Afrika, Tiongkok menjadi semakin signifikan di benua yang kaya sumber daya, saat ia berkembang dari perdagangan dan investasi ke keterlibatan keamanan – dari pangkalan militernya di Djibouti ke mediasi konflik di Sudan Selatan – serta lebih banyak penjaga perdamaian dan bantuan kemanusiaan . Tetapi investasi langsung Tiongkok ke Afrika telah sedikit melambat, dari puncaknya US $ 3,4 miliar pada 2013 menjadi US $ 3,1 miliar 2019, menurut data dari Kementerian Perdagangan Tiongkok.

Dalam kerjasama bilateralnya ini, Tiongkok dinilai menjadi satu pihak yang tidak begitu diuntungkan, malah mendapat ancaman atas kerjasamanya tersebut bagi keberlangsungan kesejahteraan rakyatnya, namun ada beberapa hal yang dinilai dapat menjadi sumber keuntungan yang dilihat oleh Tiongkok, yaitu:

  • Mendapatkan akses yang lebih besar untuk mengembangkan eksploitasi energi di Afrika,
  • Mendapatkan akses yang lebih besar untuk memasarkan produk-produk Tiongkok yang meningkat secara luar biasa,
  • Mendapatkan dukungan suara dari negara-negara Afrika di forum-forum internasional, dan
  • Memiliki kesempatan lebih besar untuk mengembangkan industri-industrinya di kawasan Afrika,
  • Serta dengan bantuan yang diberikan Tiongkok.

Maka Afrika diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur dan sarana pendukung lain yang pada akhirnya akan mendukung dan memperlancar pengembangan industri Tiongkok di Afrika

Kerjasama Tiongkok dan Afrika melalui forum FOCAC sangat berarti bagi kedua Negara tersebut untuk memenuhi kepentingan nasionalnya.

Tiongkok telah menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar di dunia, di mana kekuatan Tiongkok ini telah menyaingi kekuatan dunia lainnya seperti Jepang maupun Amerika Serikat.

Pertumbuhan Tiongkok yang begitu pesat dalam ekonomi, dapat kita lihat dari pertumbuhan dalam bidang industri maupun teknologi yang telah dihasilkan oleh Tiongkok sebagai pemasukan dalam ekonominya.

Ekspansi perdagangan hasil dari industri dan teknologi telah menyebar di berbagai belahan dunia di mana barang barang yang berasal dari Tiongkok telah banyak diminati. Hal ini kemudian menjadikan Tiongkok memerlukan sumber daya alam untuk tetap dapat menghasilkan barang-barang tersebut bagi pabrik-pabrik yang memproduksinya.

Sumber daya alam yang dibutuhkan oleh Tiongkok seperti minyak dan material mentah lainnya. Alasan Tiongkok untuk mencapai keamanan energinya melalui pencarian pasokan di Afrika adalah karena karakter minyak mentah dari Afrika yang sesuai dengan fasilitas penyulingan yang dibangun oleh Tiongkok.

Minyak yang dihasilkan oleh Afrika memiliki kandungan sulfur yang rendah yang sesuai dengan fasilitas penyulingan di Tiongkok. Selain itu, pilihan dijatuhkan pada Afrika juga karena cadangan energi yang dimiliki oleh Afrika. Beberapa negara di Afrika diyakini memiliki cadangan minyak yang belum sepenuhnya dieksplorasi.

Secara sederhana Forum On China-Africa Cooperation (FOCAC) merupakan salah satu poin penting bagi kebijakan perdagangan Tiongkok. FOCAC dijadikan sebuah sarana dengan prioritas tinggi untuk mendorong perbaikan ekonomi melalui investasi dan perdagangan antara Tiongkok dan afrika. Selain itu, pentingnya afrika dalam hal politik untuk memperkuat bargaining position Tiongkok di dunia internasional.

Perkembangan perekonomian Tiongkok yang kerap kali menjadi perhatian di kanah dunia, adalah hasil dari proses yang panjang yang melibatkan banyaknya sistem yang digunakan untuk dapat menjadi negara rising power pada era saat ini. Namun keberhasilan yang didapat Tiongkok, dirasa belum memuaskan.

Keinginan untuk menguasai berbagai bidang tidak hanya ekonomi menjadi salah satu halnya. Akan tetapi, bidang ekonomi yang menjadi kekuatan utamanya tetap di gencar hingga menyentuh benua hitam, Afrika.

Walau melihat kemungkinan ancaman yang didapatnya dalam menjalin kerjasama bilateral, namun nyatanya komitmen yang dimiliki Tiongkok dinilai teguh, bahkan menjadikan Afrika sebagai salah satu aliran investasi terbesarnya, walaupun adanya kemungkinan bagi Afrika tidak dapat membayar hutangnya.

Melihat itu Tiongkok di bawah pimpinan Xi Jinping kembali memberi keputusan yang mencengangkan dunia. Penghapusan hutang, dan bahkan dikabarkan akan kembali lagi memberi dana segar kepada negara di Afrika.

Disisi lain dari kerugian yang mungkin didapatnya, Tiongkok melihat Afrika sebagai sumber keuntungan bagi kelangsungan negaranya pada bidang sumber daya alam.

Pembangunan dan perekonomian Tiongkok sangat bergantung pada ketersediaan energi. Sedangkan Tiongkok bukanlah termasuk kepada negara yang mampu memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri. Untuk menjaga keberlangsungan pembangunan dan perekonomian Tiongkok, maka Tiongkok harus mampu memenuhi kebutuhan energi domestik negaranya.

Secara ekonomi, peningkatan hubungan Tiongkok dengan Negara-negara eksportir minyak dapat menjamin keamanan suplai dan akses minyak di masa mendatang.

Tiongkok telah fokus pada Afrika lewat kerjasamanya dalam hal ekonomi yang diawali lewat pertemuan KTM Tiongkok-Afrika yang menghasilkan FOCAC (Forum on China-Africa Cooperation). Forum ini bertujuan meningkatkan kerjasama investasi dan perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara di Afrika.

 

Penulis: Elfrine Hingis Manampiring
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi:

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.