Suasana iktikaf masih terasa kental di masjid kampus, desiran doa dan lantunan ayat suci memenuhi setiap sudut ruangan. Bagi para mahasiswa yang jauh dari kampung halaman, hati mereka mulai berbisik tentang kerinduan.
Di tengah khusyuknya ibadah, terbayang wajah-wajah tersayang, aroma masakan ibu, dan kehangatan keluarga.
Bayangkan, seorang mahasiswa bernama Fahmi, yang telah berbulan-bulan tenggelam dalam kesibukan kuliah. Di sela-sela waktu luang, ia menyempatkan diri untuk beriktikaf, mencari ketenangan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Namun, di balik ketenangan itu, tersimpan kerinduan yang mendalam akan kampung halaman.
Persiapan mudik Fahmi dimulai dengan hati-hati. Ia menyusun jadwal perjalanan, memastikan tidak mengganggu ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadan. Tiket kereta api telah dipesan, dan oleh-oleh untuk keluarga pun mulai dikumpulkan.
Baca juga:Â Mahasiswa, Sepak Bola, dan Ramadan: Menjaga Keseimbangan di Bulan Suci
Di tengah malam yang sunyi, Fahmi merenungkan makna mudik. Baginya, mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual. Ia ingin kembali ke kampung halaman dengan hati yang bersih, membawa berkah Ramadan untuk keluarga tercinta.
Kereta api melaju membelah malam, membawa Fahmi dan para pemudik lainnya menuju kampung halaman masing-masing. Di dalam gerbong, suasana hening, diisi dengan doa dan harapan.
Para pemudik merenungkan perjalanan hidup mereka, memohon ampunan dan keberkahan.
Setibanya di stasiun kota kelahiran, Fahmi disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibu. Rasa lelah perjalanan langsung sirna, digantikan oleh kebahagiaan yang tak terhingga. Rumah yang dulu sepi, kini mulai ramai dengan kehadiran anak-anak dan cucu.
Hari-hari menjelang Idulfitri diisi dengan berbagai kegiatan khas kampung halaman. Fahmi membantu ibu menyiapkan hidangan lebaran, mengunjungi sanak saudara, dan berziarah ke makam keluarga. Suasana kebersamaan ini menjadi pengobat rindu yang paling mujarab.
Mudik bukan sekadar tradisi, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual. Di tengah kesibukan dunia, mudik menjadi waktu untuk merefleksikan diri, memperbaiki hubungan dengan keluarga, dan mensyukuri nikmat yang telah diberikan.
Baca juga:Â Ramadan di Kosan: Ketika Menjalani Puasa Jauh dari Keluarga
Bagi Fahmi dan jutaan mahasiswa lainnya, mudik adalah bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri, sebuah tradisi yang akan terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Merantau karena Ilmu, Mudik karena Rindu
Tradisi mudik, fenomena tahunan yang mewarnai perayaan Idulfitri di Indonesia, menyimpan makna mendalam bagi para perantau, terutama mahasiswa. Perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka tempuh bukan semata-mata untuk merayakan hari kemenangan, tetapi juga untuk menuntaskan kerinduan akan kampung halaman dan keluarga tercinta.
Merantau karena ilmu, mudik karena rindu,” ungkapan ini seolah menjadi mantra yang memotivasi mereka untuk kembali ke pelukan keluarga, setelah sekian lama menimba ilmu di kota orang.
Bagi mahasiswa, merantau adalah sebuah keniscayaan dalam menempuh pendidikan tinggi. Mereka rela meninggalkan zona nyaman, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan menghadapi berbagai tantangan hidup di kota metropolitan.
Di tengah kesibukan kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk, kerinduan akan kampung halaman dan keluarga seringkali menghantui. Momen mudik Idulfitri menjadi pelipur lara, kesempatan emas untuk melepas penat dan mengisi kembali energi positif.
Tradisi mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual. Di tengah hiruk-pikuk kota, mahasiswa seringkali kehilangan arah dan tujuan. Mudik menjadi momentum untuk merefleksikan diri, merenungkan perjalanan hidup, dan memperbaiki hubungan dengan keluarga.
Suasana kampung halaman yang tenang dan damai memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali terhubung dengan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan sejak kecil.
Selain itu, mudik juga menjadi ajang silaturahmi, mempererat tali persaudaraan dengan sanak saudara dan tetangga. Momen kebersamaan ini menjadi pengingat akan pentingnya keluarga dan komunitas dalam kehidupan.
Baca juga:Â Mahasiswa Indonesia dan Peluang untuk Berubah: DNA Change dalam Ramadan
Mahasiswa belajar untuk menghargai perbedaan, membangun empati, dan memperkuat ikatan sosial yang telah lama terjalin.
Dengan demikian, tradisi mudik bagi mahasiswa bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga sebuah perjalanan bermakna yang memperkaya jiwa dan memperkuat identitas. Di balik perjalanan panjang dan melelahkan, tersimpan rindu yang mendalam, harapan akan kebersamaan, dan semangat untuk kembali membangun kampung halaman.
“Merantau karena ilmu, mudik karena rindu,” sebuah ungkapan yang akan terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Penulis:Â Ismail Suardi Wekke
Cendekiawan Muslim Indonesia
Editor:Â Redaksi Media Mahasiswa Indonesia
Ikuti berita terbaru di Google News