UPN “Veteran” Jawa Timur menjadi salah satu perguruan tinggi yang berpartisipasi dalam program Matching Fund. Melalui platform Kedaireka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menciptakan program Matching Fund untuk mendukung kolaborasi antara perguruan tinggi dengan dunia usaha sebagai salah satu kegiatan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM).
Program ini melibatkan mahasiswa dan dosen dengan pihak mitra untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di dunia industri, sehingga harapannya mahasiswa tak hanya menguasai dalam bidang teori, tetapi juga mengenal dan memahami berbagai permasalahan industri beserta penyelesaiannya melalui pengembangan ilmu dan teknologi yang telah dipelajari.
Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., IPU, Asean Eng pada hari Jumat (16/9) mengungkapkan bahwa “Kolaborasi perguruan tinggi dan industri dengan Kedaireka, diharapkan akan melahirkan inovasi. Begitu juga dengan masalah yang dialami industri segera menghulu ke agenda riset di perguruan tinggi”.
Program Matching Fund yang diketuai oleh Dr. Dra. Jariyah M.P menggaet salah satu UMKM yang bergerak dalam bidang pangan olahan, yaitu UD Sofia Cookies. UD Sofia Cookies yang beralamat di Jl. Wiyung I No.9A, Wiyung, Surabaya merupakan salah satu industri skala menengah yang memproduksi berbagai jenis kue kering, antara lain nastar, lidah kucing, kastengel, putri salju, semprit, kue kacang, stik tumpuk keju, dan masih banyak lagi.
Kegiatan sosialisasi ini mengangkat materi tentang manfaat biskuit bebas gluten bagi kesehatan yang dilaksanakan pada hari Jumat (21/10/2022) di UD Sofia Cookies. Kegiatan ini dihadiri oleh Ibu Dian Harminingsih selaku pemilik UD Sofia Cookies dan para karyawan produksi. Tujuan diadakannya sosialisasi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kepada pemilik dan para karyawan UD Sofia Cookies tentang manfaat biskuit bebas gluten khususnya bagi penderita autisme.
Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan dengan metode presentasi yang disampaikan oleh pemateri yaitu Salsabila Gintari Purwadiani. Penyampaian materi diawali dengan pengenalan tepung terigu sebagai bahan baku biskuit, kelebihan tepung terigu, dan kekurangan tepung terigu yang dapat berdampak buruk terhadap penderita autisme.
Setelah menyampaikan kekurangan tepung terigu, pemateri melanjutkan presentasinya dengan mengenalkan beberapa bahan alternatif pengganti tepung terigu beserta kelebihannya, ditutup dengan beberapa contoh produk biskuit bebas gluten komersial.
Biskuit merupakan salah satu pangan olahan yang cukup populer di semua kalangan. Pada tahun 2021, tingkat konsumsi biskuit di Indonesia mencapai 1,83 kg/kapita/tahun. Perlu diketahui bahwa semua makanan yang menggunakan tepung terigu otomatis mengandung gluten, yang mana protein ini tidak dapat dikonsumsi oleh penderita gluten intoleran dan penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme.
Penyandang autisme memiliki masalah dalam memecah protein gluten, oleh karenanya gluten yang tidak tercerna akan terbawa ke otak, lalu ditangkap oleh reseptor opioid dan dianggap sebagai morfin yang dapat memicu gangguan perilaku seperti agresif dan hiperaktif.
Mungkin tidak masalah bagi anak lain tapi berisiko bagi anak autis karena jika bahan makan seperti kasein dan gluten masuk ke tubuhnya akan menyebabkan aliran darah ke otak menjadi racun yang bisa membuat anak autis kebal terhadap rasa sakit, nggak bisa tenang, cuek, ketawa sendiri, dan lainnya” ujar Ketua Yayasan Autisme Indonesia dokter Melly Budhiman Sp.KJ.
Saat ini, autisme menjadi permasalahan yang cukup serius dan mendapatkan perhatian lebih, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia mencatat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000 penyandang spektrum autis.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan membuat biskuit bebas gluten, yaitu menggunakan bahan baku non-terigu, misalnya tepung umbi-umbian. Salah satu jenis umbi-umbian yang cukup berpotensi adalah tepung mocaf.
Tepung mocaf (modified cassava flour) adalah tepung yang terbuat dari singkong yang difermentasi terlebih dahulu sehingga didapatkan tepung yang menyerupai tepung terigu protein sedang.
“Saya memang sudah sering dengar produk biskuit non-terigu, tapi saya baru tahu kalau ternyata berdampak besar untuk anak autis. Apalagi karakteristik biskuit mocaf juga ternyata nggak beda jauh sama terigu.” ujar Bu Dian, selaku pemilik UD Sofia Cookies.
Dengan adanya wawasan tentang biskuit bebas gluten pada pemilik dan seluruh karyawan, harapannya UD Sofia Cookies di masa yang akan datang dapat memproduksi biskuit bebas gluten secara komersial, sebagai bentuk dukungan sosial bagi anak autis di wilayah sekitar maupun di Indonesia.
Penulis: Salsabila Gintari Purwadiani
Mahasiswa UPNVJT Jawa Timur