Sejatinya mahasiswa adalah agent of change yang memiliki peran yang sangat mendasar (fundamental) untuk membangun perubahan bangsa yang lebih berkemajuan (progresif).
Akan tetapi, sekarang eksistensi (keberadaan) mahasiswa kekinian menarik untuk kita pertanyakan ulang. Pertanyaannya apakah benar bahwa mereka sudah menyadari tugasnya? Sejalan dengan itu, apakah mungkin mahasiswa sudah bereksistensi sesuai dengan esensi?
Maka yang menarik untuk kita kritisi adalah apakah universitas atau perguruan tinggi di negeri ini sudah menanamkan pendidikan karakter terutama kesadaran untuk berdemokrasi di dalam diri mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya lewat tulisan-tulisan yang inspiratif di media nasional dan partisipasinya dalam fungsi kontrol terhadap pemeritahan?
Mahasiswa dan politik adalah fenomena yang sampai detik ini sangat hangat untuk selalu kita perbincangkan. Bagaimana tidak jika kita menengok sejarah, negara ini adalah salah satu produk sekaligus realitas serta entitas dari usaha mahasiswa untuk tetap menjaga kemerdekaan melalui pemikiran-pemikiran politiknya.
Kita tahu bagaimana tokoh pemuda waktu itu yang diwakili oleh Chaerul Saleh dkk, memuncak yang pada peristiwa 1998 yang juga dimotori oleh semangat para kaum muda, telah mengambil peran yang sangat sentral dalam merubah wajah perpolitikan di Indonesia.
Namun, jika kita menengok negara kita saat ini, kita seperti kehilangan ruh. Kita seperti mengalami anti klimaks dan mungkin sekarang kita bertanya tentang di manakah “atmosfer” segar yang dulu pernah menyelimuti dunia perpolitikan Indonesia? Dimanakah ruang “transparansi” yang dulu selalu dibawa oleh semangat anak-anak muda serta dimanakah “mentalitas kejujuran” yang dulu sering didengung-dengungkan oleh mahasiswa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sikap kritis kita terhadap kemajemukan serta keegoisan dunia politik Indonesia yang saat ini telah kehilangan sang pencerahnya. Dunia politik saat ini sangat “asyik” dengan dunianya sendiri. Ibaratnya, Ia seperti seorang anak kecil yang diberikan mainan untuk pertama kali oleh orang tuanya lalu sang bocah melonjak kegirangan dan akan bermain dengan mainannya sampai ia lupa waktu.
Maka duduk perkara yang menarik untuk kita telusuri dan kita pertanyakan serta kita renungkan adalah; dimanakah posisi mahasiswa pada saat ini, apakah kita sadar akan segala hal “paradoks” yang melanda negeri ini, atau jangan-jangan kita justru lebih asyik dengan dunia kita yang hanya sebatas mahasiswa? Kalau bagitu apa bedanya kita dengan seorang anak kecil tadi?
Antara Media, Politik dan Mahasiswa
Masih sangat hangat di ingatan kita bagaimana perjuangan Soe Hok Gie yang tidak pernah lelah untuk mengkritisi sistem perpolitikan di bumi pertiwi. Bukan hanya mengkritisi, Gie juga memberikan pencerahan melalui tulisan-tulisannya di media masa. Jika kita kontekskan dengan realitas saat ini, kita tidak lagi menemukan sosok Gie, bahkan semangat Gie cenderung hilang dilahap kisah dan nama besarnya sendiri.
Yang ingin penulis sampaikan pada poin ini adalah; bagaimana peran dan fungsi media pada saat itu sangat kooperatif dalam menampung aspirasi mahasiswa dan bahkan berani memuatnya di dalam halaman depan? Melihat media saat ini, justru saya merasa prihatin. Pada era ini, menurut hemat saya, media mengambil peran yang sangat signifikan dalam pembentukan opini publik.
Namun sayangnya opini-opini yang dimuat di dalam media-media masa adalah hasil jepretan dan editan para senior. Yang lebih memprihatinkan adalah ruang untuk mahasiswa dalam berekspresi hanya dibatasi pada kolom mahasiswa, dan lebih parahnya lagi, di dalam kolom tersebut tema dan pembahasan yang diangkat lebih banyak mengarah ke “dunia entertaint”, serta “dunia artifisial” lainnya. Jarang sekali media masa memberikan ruang ekspresi bagi mahasiswa untuk berpolitik.
Ruang media saat ini lebih cenderung bergerak ke arah pragmatis dan ideologis. Tergantung untuk siapa yang membutuhkan dan tergantung ideologis siapa yang ingin ditonjolkan. Permainan “drama” dalam media, sudah menjadi tontonan yang sangat membutakan kita sebagai penikmat media itu sendiri. Sehingga batas antara media dengan penonton kini menjadi semakin kabur. Kita terbawa arus tontonan yang dikemas oleh media, melalui tampilan, pencitraan, figur, slogan-slogan serta bentuk-bentuk kreatifitas yang memancing hasrat penonton hingga melebur menjadi satu sekaligus mencipatakan perbedaan-perbedaan.
Maka arus itulah yang kemudian ‘memanjakan’ kita (orang muda). Kita “terhipnotis” oleh segala bentuk-bentuk pencitraan dan riuhnya dunia politik para senior. Kita dengan mudah “memaafkan” bahkan cenderung acuh dengan permasalahan politik yang melanda negeri ini. Kita terbawa dalam arus media yang semakin mempolitisir realitas. Kita tidak mau mengambil pusing perkara politik yang semakin pelik. Bahkan kita “permisif” terhadap penyakit korupsi yang menggerogoti negeri ini.
Kita beramai-ramai berteriak untuk adanya revolusi. Kita jengah dengan politik yang mengakar kuat pada periode Orde Baru. Kita menginginkan demokrasi, tapi sayang justru demokrasi itulah yang menjadi “bumerang” dan menina-bobokan semangat (spirit) kita untuk berjuang lebih jauh. Kita terbungkus dengan sangat nyaman oleh demokrasi.
Seakan-akan dalih dari setiap perkara mengerucut dengan kata demokrasi. Demokrasi menjelma menjadi “tameng” untuk kita berapresiasi sekaligus sebagai tempat untuk “mengerdilkan” apresiasi. Kita berpendapat namun tidak didengar, kita berdialog tapi hanya sekedar ritual.
Pada titik inilah, kejenuhan kita terhadap dunia politik semakin menguat, dengan kata lain, demokrasi hanya sekedar kendaraan layak pakai yang semakin melanggengkan dunia politik untuk menjadi semakin bermain dengan bebasnya. Namun sayangnya kita sebagai orang muda tidak ikut dalam kendaraan itu, justru kita “asyik” menikmati bahkan bersikap acuh dengan kendaraan yang telah dibuatnya.
Kita bertaruh pada konsep ideal a la demokrasi yang semakin hari semakin membuktikan betapa bobroknya negeri kita yang tercinta ini. Kekuasaan merajalela. Disparitas hak asasi semakin menampakan warnanya. Korupsi hampir di semua lembaga. Dehumanisasi yang semakin menggila serta pluralisme yang sekedar wacana. Itu semua adalalah deretan “gen” yang semakin radikal menancapkan dirinya di sendi-sendi manusia dan mengemasnya dengan sangat cantik menjadi satu kata yakni ‘Budaya’.
Politik Sebagai Aktualisasi Diri
Sebagai seorang mahasiswa, kesadaran dalam berpolitik adalah suatu bentuk apresiasi dalam berdemokrasi. Secara pragmatis berpolitik tidak hanya membentuk citra kita sebagai mahasiswa yang berkarakter kritis, subversif dan bahkan imaginatif. Namun yang lebih substantif dari itu semua adalah bahwa kita menjadi mahasiswa yang memiliki identitas progresif serta “moving towards” .
Apresiasi dalam berpolitik tentunya lahir dari adanya kesadaran dalam berpartisipasi. Partisipasi di sini tidak harus diterjemahkan secara harafiah, akan tetapi mari kita lihat partisipasi di sini sebagai bentuk dari aktualisasi diri. Bahwa “kedirian” di masa kini membutuhkan partisipasi untuk mengaktualkan dirinya dan salah satu cara untuk mengaktualisasikan diri itu didapat melalui kesadaran kita dalam berpolitik.
Dengan demikian terminologi seperti disorientasi, carpe diem, let it flow, tidak lagi menjadi semakin akrab dengan generasi muda saat ini.
Kesadaran dalam berpolitik adalah suatu bentuk kerendahan hati untuk mau mengejawantahkan fenomena-fenomena yang lahir dari setiap sisi yang kompleks. Di sana kita harus berdistansi, berdialektika serta melihat kemungkinan adanya harmonisasi yang bisa kita katakan sebagai buah dari kerendahan hati yakni Kebijaksanaan.
Maka di sanalah kita mendapatkan aktualisasi diri yang melibatkan adanya proses partisipasi dan apresiasi serta perayaan demokrasi yang tiada pernah berhenti sehingga dalam “kedirian” kita sebagai orang muda pun tidak mengalami disorientasi.
Walahu’alam bishsho’wab.
Fastabiqul Khairat.
Arifudin
Mantan Sekertaris IMM FKIP UMMat 2017/2018
Direktur Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Pancasilla
Baca juga:
IMM HAMKA Unnes Adakan Pengabdian Masyarakat untuk Menanamkan Humanisme Kader
Persekusi Terhadap Mahasiswa Unnes, Ketum IMM Depok: Hanya Ada Satu Kata, Lawan!
DPD IMM Jawa Tengah Sesalkan Penangkapan Mahasiswa dan Aktivis Lingkungan Hidup