Wacana adalah istilah yang sering dipakai oleh masyarakat dewasa ini. Terdapat sejumlah pengertian tentang istilah wacana. Dalam bidang sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam bidang linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat.
Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.
Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Oleh karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.
Terlepas dari segala variasinya, perbedaan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain dapat dikelompokkan berdasarkan hal yang mendasar. Hal-hal tersebut adalah hal yang berkaitan dengan konsep dan ide dasar ilmu sosial atau asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, opsi
moral, serta komitmen terhadap nilai-nilai tertentu. Setidaknya ada beberapa paradigma yang bisa dikelompokkan dalam teori-teori penelitian ilmiah komunikasi sebagai wacana.
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan adanya keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu tampak bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal itu menunjukkan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.
Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri.
Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.
Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media dalam konteks paradigma kritis.
Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada
dirinya bias.
Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran. Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.
Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.
Reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa, simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat
sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia). Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Namun, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepada peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran.
Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya? Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang sudah ditentukan justru dimarginalisasikan? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau wilayah pertarungan sosial.
Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa. Bahasa dalam konteks wacana – terutama dalam konteks wacana komunikasi – sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal selalu memakai kata.
Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi. Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi.
Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif- intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.
Fungsi analis wacana kritis bagi masyarakat adalah memberikan kesadaran nyata atas peran mereka di masyarakat. Pemikiran ini bersumber dari bahwa ilmu itu value – free
Gondanglegi, 11 Desember 2022
Penulis: Eka Putri Vania
Mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Indonesia Institut Agama Islam Al-Qolam Malang