Bagaimana Dampak Lumpur Lapindo terhadap Kesehatan Mental Korban?

Dampak Lumpur Lapindo Kesehatan

Terhitung 15 tahun berlalu sejak munculnya lumpur lapindo pada tahun 2006 di Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur lapindo mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat, bahkan lumpur lapindo sudah dijadikan tempat wisata. Dampak yang ditimbulkan oleh lumpur ini merugikan banyak pihak, utamanya masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Apabila dilihat dari daerah yang terdampak, tercatat 6 desa di 3 kecamatan tenggelam, 25 ribu warga mengungsi, 8.200 warga dievakuasi, 30 pabrik yang hancur dan lainnya.

Menyaksikan rumah, harta benda yang tenggelam karena aliran lumpur yang terus menerus keluar dari perut bumi tentu meninggalkan pengalaman pahit bagi para korban. Pengalaman ini dapat menjadi pemicu tersendiri yang menyebabkan korban mengalami gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan, stres dan depresi.

Baca Juga: Balada Covid-19 Jawa Timur

Hal ini tentunya berpengaruh dengan kesadaran pada diri individu. Menurut Sigmund Freud, dalam teorinya yang menjelaskan tentang concious mind atau alam sadar,  dijelaskan bahwa alam sadar adalah satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas.

Bacaan Lainnya

Gangguan psikologis yang dialami oleh korban dapat dimasukkan ke dalam gangguan pasca trauma atau post-traumatic disorder (PTSD). Gejala utama dari gangguan ini adalah kesulitan kognitif, seperti pemusatan perhatian yang buruk. Berdasarkan salah satu penelitian tentang lumpur lapindo, terdapat satu korban yang mengungkapkan bahwa dirinya merasa sulit tidur, sering mengigau, mudah marah dan sering melamun.  

PTSD memiliki gejala yang mengakibatkan gangguan, gangguan tersebut umumnya berupa panic attack (serangan panik), perilaku menghindar, depresi, merasa sendirian, mudah marah dan gangguan lain yang mengganggu kegiatan sehari-hari. Penderita PTSD membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, namun terkadang penderita merasa terabaikan dan sendirian. Selain itu, penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Baca Juga: Mahasiswa Kampus Mengajar Adakan Sosialisasi Mitigasi Bencana untuk Sekolah Dasar

Dikutip dari Indosport.com (24/10/2021) ditemukan seorang pria yang merupakan korban lumpur lapindo diduga mengalami depresi hingga menimbulkan gangguan jiwa. Pria tersebut diketahui merupakan mantan atlet voli dari Sidoarjo. Pria tersebut terlantar di jalanan hingga akhirnya di temukan oleh Aipda Purnomo. Penampilan pria tersebut tampak memiliki rambut panjang yang sudah tidak terawat dan menderita penyakit kulit yang sangat parah.

Dalam akun Youtube Purnomo Belajar Baik, korban masih dapat berkomunikasi dengan baik saat ditanya oleh Aipda Purnomo. Kemudian korban diajak untuk membersihkan diri dan akhirnya Aipda Purnomo mengajak korban untuk tinggal di rumahnya agar mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Depresi yang terjadi pada korban, tentu diakibatkan oleh kurangnya perhatian terkait gejala awal depresi. Gejala awal dalam depresi yaitu, tidur  terlalu  banyak  (10  jam  atau  lebih) atau  terlalu  sedikit (sulit untuk tertidur, sering terbangun), kekakuan motorik, kehilangan  nafsu  makan  atau sebaliknya makan berlebihan sehingga berat  badan meningkat drastis, kehilangan  energi,  lemas,  tidak  bersemangat,  tidak tertarik melakukan apapun. Seseorang dapat didiagnosa depresi apabila mengalami beberapa gejala tersebut dan sudah berlangsung selama minimal dua minggu.

Baca Juga: Pentingnya Mengontrol Pikiran Negatif untuk Kesehatan Mental Pasien

Dari sini dapat dilihat bahwa kejadian pasca trauma yang dialami oleh korban berdampak cukup serius sehingga  perlu adanya perhatian serta  penanganan khusus terhadap korban. Pengalaman buruk akibat lumpur lapindo tentunya akan melekat selama seumur hidup korban.

Selain itu, edukasi terkait dengan kesehatan mental perlu ditingkatkan lagi, karena dapat dilihat pada kasus di atas bahwa kesehatan fisik saja tidak cukup. Dengan adanya kesadaran terkait kesehatan mental, gejala-gejala yang termasuk ke dalam gangguan jiwa tidak sampai ke tingkatan yang parah dan dapat ditangani secara maksimal oleh pihak profesional.  

Avilia Anggraini
Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses