Pada tanggal 28 Maret 2025, sebuah gempa sebesar 7,7 skala Richter melanda Myanmar, guncangan tersebut juga dirasakan oleh Thailand serta Cina bagian barat daya. Gempa tersebut telah merenggut 3,689 korban jiwa.
Lebih dari 5000 orang mengalami luka-luka dan setidaknya 139 orang dinyatakan hilang. Bencana tersebut memicu respon dari berbagai aktor internasional dalam menangani dampak bencana tersebut.
Cina merupakan salah satu negara yang terlibat dalam penanganan dampak gempa bumi yang melanda Myanmar.
Dilansir dari Reuters, Cina telah mengirimkan lebih dari 30 tim penyelamat ke lapangan sebagai bentuk partisipasi terhadap perbaikan serta pengawasan terhadap dampak bencana sejak bencana tersebut terjadi.
Tidak hanya sampai disitu saja, Cina telah menjanjikan bantuan kemanusiaan sebesar 1 miliar yuan (Rp 2,3 triliun).
Bantuan tersebut menyediakan dana yang dibutuhkan untuk kebutuhan pangan, obat-obatan, tempat perlindungan berupa rumah prefabrikasi, biaya pengobatan, pencegahan epidemi.
Namun, bantuan yang diberikan oleh Cina ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar motivasi yang berfokus pada kepedulian saja atau merupakan bagian dari strategi politik luar negeri Cina untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, khususnya Myanmar.
Bantuan Kemanusiaan: Kepentingan atau Kepedulian?
Bantuan kemanusiaan pasca bencana merupakan bagian dari teori liberalisme yang percaya bahwa kepedulian merupakan motif utama dalam bantuan internasional.
Liberalisme menekankan nilai-nilai kemanusiaan yang mendorong negara untuk memberi bantuan kepada yang membutuhkan.
Menurut Morgenthau (1962), bantuan kemanusiaan merupakan bantuan yang tidak memiliki kepentingan tertentu.
Heinrich (2013) menjelaskan bahwa suatu bantuan yang disebabkan oleh krisis kemanusiaan akan semakin murni motivasi kebaikan oleh pemberi.
Baca juga: Krisis Kemanusiaan dalam Negeri: Mengurai Dampak dan Tantangan Imigran Rohingya bagi Indonesia
Walaupun bantuan kemanusiaan bersifat non politik, bantuan kemanusiaan dapat menjalankan fungsi politik. Menurut Civelli, Horowitz, dan Teixeira (2013), berbagai bentuk bantuan dapat menjadi alat untuk meningkatkan reputasi pemberi bantuan kemanusiaan.
Berbagai dampak serta kebutuhan yang disebabkan oleh bencana alam di Myanmar mengundang bantuan-bantuan kemanusiaan yang didasarkan oleh rasa kepedulian serta kemanusiaan dari negara Cina.
Walaupun pada dasarnya bantuan tersebut tidak memiliki kepentingan politik yang harus dipenuhi.
Baca juga: Hubungan Terkini Indonesia-Cina Meningkatkan Kerja Sama Antar Negara
Namun Cina secara tidak langsung, sudah meningkatkan reputasinya dalam menanggapi negara yang terkena musibah dengan pemberian bantuan kemanusiaan.
Kesimpulan
Bantuan yang diberikan China kepada Myanmar pasca gempa bumi menunjukkan penerapan konsep bantuan kemanusiaan dan bagian dari perspektif liberalisme dalam hubungan internasional, tanggung jawab kemanusiaan lintas negara merupakan hal prioritas, tanpa memandang kepentingan politik semata.
Meski bantuan kemanusiaan kerap dikaitkan dengan strategi diplomasi, dalam konteks bencana alam, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi dasar utama dalam memberi bantuan kemanusiaan.
Penulis: Asyer Abednego Runkat
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News