Abstrak
Pandemi COVID-19 secara signifikan mengubah lanskap kehidupan global, memaksa adaptasi masif ke lingkungan digital yang berdampak kompleks terhadap kesehatan mental individu.
Artikel ini menganalisis pergeseran kehidupan sehari-hari ke platform digital dan peran ganda media sosial sebagai penghubung sekaligus sumber tekanan psikologis selama dan setelah pandemi.
Pembahasan mencakup fenomena peningkatan durasi layar, paparan tren digital yang intens, serta perbandingan sosial yang tidak realistis, yang secara kolektif berpotensi memicu kecemasan, depresi, dan perubahan mental lainnya.
Disimpulkan bahwa penyeimbangan antara dunia fisik dan digital serta literasi digital yang kuat menjadi krusial untuk menjaga kesejahteraan mental di era pasca-pandemi.
Kata Kunci: COVID-19, kesehatan mental, era digital, media sosial, dampak psikologis, isolasi.
Pendahuluan
Wabah COVID-19 yang melanda dunia telah meninggalkan jejak yang mendalam pada hampir setiap sendi kehidupan manusia, dengan kesehatan mental menjadi salah satu area yang paling rentan.
Pandemi COVID-19 dipandang sebagai salah satu akselerator transformasi digital pada abad 21 (Nurina, 2025).
Kebijakan pembatasan mobilitas dan kewajiban untuk berdiam diri di rumah dalam jangka waktu yang lama telah memaksa masyarakat beralih secara drastis ke interaksi digital sebagai satu-satunya jembatan penghubung dengan dunia luar.
Fenomena ini bertepatan dengan percepatan perkembangan teknologi yang melahirkan beragam tren digital, beberapa di antaranya cukup “aneh” dan intens, serta paparan media sosial yang masif.
Kondisi ini menciptakan sebuah badai virtual yang berpotensi memengaruhi stabilitas mental seseorang.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana isolasi fisik akibat pandemi berpadu dengan kelebihan informasi dan tekanan virtual di era digital, membentuk narasi baru dalam tantangan menjaga kewarasan kolektif.
Metode Penelitian
Artikel ini merupakan studi kepustakaan dan analisis konseptual yang berlandaskan pada observasi umum serta tren sosial yang berkembang selama dan pasca-pandemi COVID-19.
Data dikumpulkan melalui sintesis informasi dari berbagai laporan publik, artikel berita, diskusi daring, dan pengamatan terhadap perubahan perilaku masyarakat yang terekspos secara luas.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis fenomena pergeseran gaya hidup ke ranah digital, karakteristik media sosial sebagai pisau bermata dua, serta implikasi jangka panjang terhadap kesehatan mental.
Artikel ini tidak melibatkan pengumpulan data primer melalui eksperimen atau survei, melainkan berfokus pada interpretasi dan elaborasi dari narasi dan pengalaman kolektif yang telah terdokumentasi secara luas dalam konteks pandemi dan era digital.
Hasil dan Pembahasan
1. Pergeseran Hidup ke Ranah Digital: Antara Kebutuhan dan Ketergantungan
Ketika dunia menghadapi krisis COVID-19, pembatasan pergerakan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Rumah bertransformasi secara fundamental menjadi pusat segala aktivitas: kantor, sekolah, tempat rekreasi, bahkan ruang sosialisasi.
Pergeseran ini secara paksa mendorong mayoritas populasi untuk mengadopsi dan mengandalkan sepenuhnya ranah digital.
Rapat-rapat korporat beralih ke panggilan video, proses belajar-mengajar berlangsung secara daring, dan media sosial menjadi jendela utama bagi individu untuk memantau perkembangan dunia serta menjaga interaksi sosial.
Pada tahap awal, digitalisasi massal ini sering dipersepsikan sebagai solusi dan anugerah.
Teknologi memungkinkan konektivitas berkelanjutan, menjaga produktivitas, dan memastikan aliran informasi di tengah ketidakpastian.
Namun, seiring berjalannya waktu dan berlanjutnya pembatasan, ketergantungan terhadap perangkat digital mulai memperlihatkan sisi gelapnya.
Durasi layar yang meningkat drastis, paparan tak henti terhadap berita pandemi yang kerap mengkhawatirkan, serta tekanan tersirat untuk selalu “terhubung” dan aktif secara digital, secara kolektif menciptakan beban mental yang signifikan.
Individu sering kali merasa kewalahan oleh banjir informasi (infodemi) dan kesulitan membedakan antara kebutuhan informasi dengan konsumsi yang berlebihan.
Teknologi digital membawa banyak sekali dampak-dampak positif kepada penggunanya, karena dengan teknologi digital, pengguna dapat menggunakan waktu dengan lebih efisien, informasi dapat mudah diakses darimana saja, pengguna dapat bertemu pengguna lain di belahan dunia manapun secara online dengan biaya yang sangat minim yaitu berbekal perangkat serta internet saja (Heru, 2023).
2. Media Sosial: Pisau Bermata Dua di Masa Pandemi
Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai alat penghubung dan fasilitator interaksi, justru menjelma menjadi medan pertempuran psikologis bagi banyak individu selama pandemi.
Tren-tren viral, baik yang bertujuan menghibur maupun yang lebih problematis, muncul silih berganti dan mendominasi linimasa pengguna.
Konten-konten yang secara implisit atau eksplisit memicu Fear of Missing Out (FOMO), perbandingan sosial yang tidak realistis dengan kehidupan orang lain yang tampak “sempurna”, serta derasnya arus disinformasi dan berita palsu, semakin memperparah kondisi mental yang sudah rentan akibat isolasi dan ketidakpastian global.
Ketika dunia fisik terasa terhenti dan rutinitas normal terenggut, linimasa media sosial justru bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.
Pengguna dihadapkan pada gambaran kehidupan ideal orang lain, “challenge” atau tantangan viral yang menuntut partisipasi, atau bahkan tekanan untuk tetap terlihat produktif dan “positif” di tengah kondisi yang serba sulit.
Paparan berlebihan terhadap idealisme semu ini, ditambah dengan minimnya interaksi sosial yang otentik secara langsung, berpotensi memicu berbagai masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, masalah citra diri, dan perasaan tidak berharga.
Tidak dapat dipungkiri, semakin lama seseorang tenggelam dalam dunia media sosial, semakin besar potensi perubahan mental yang dapat terjadi, mulai dari penurunan kepercayaan diri, gangguan pola tidur, hingga kesulitan dalam membentuk dan mempertahankan hubungan interpersonal yang mendalam di dunia nyata.
3. Dampak Jangka Panjang pada Kesehatan Mental Pasca-Pandemi
Meskipun puncak pandemi COVID-19 telah berlalu, dampak pada kesehatan mental individu dan masyarakat masih terasa dan terus berkembang hingga kini.
Generasi muda yang harus menghabiskan masa-masa formatifnya dalam isolasi, individu yang mengalami kehilangan pekerjaan atau orang terkasih, serta mereka yang menghadapi tekanan finansial berkepanjangan, semuanya membawa beban mental yang tidak ringan.
Bekas luka emosional dari pandemi masih membutuhkan perhatian serius dan dukungan yang berkelanjutan.
Era digital yang semakin mengakar dalam kehidupan kita juga turut membentuk lanskap kesehatan mental pasca-pandemi.
Interaksi daring, meskipun esensial dan praktis dalam situasi tertentu, perlu diakui tidak dapat sepenuhnya menggantikan koneksi manusia yang otentik dan interaksi tatap muka yang bermakna.
Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan dunia fisik dan digital. Ini mencakup penetapan batasan yang sehat dalam penggunaan perangkat dan platform digital, serta secara proaktif memprioritaskan kesejahteraan mental di tengah hiruk pikuk tren dan banjir informasi.
Literasi digital dan kesadaran akan dampak psikologis teknologi menjadi kunci dalam membentuk ketahanan mental di masa mendatang.
Kesimpulan
Pandemi COVID-19 telah menjadi katalisator bagi akselerasi digitalisasi global, yang membawa implikasi kompleks bagi kesehatan mental individu.
Pergeseran masif kehidupan ke ranah digital, ditambah dengan sifat pisau bermata dua dari media sosial, telah menciptakan tantangan psikologis yang unik.
Meskipun konektivitas digital menawarkan manfaat penting selama isolasi, durasi layar yang berlebihan, paparan tren dan disinformasi yang intens, serta perbandingan sosial yang tidak sehat, telah berkontribusi pada peningkatan kasus kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Dampak ini bersifat jangka panjang dan masih terus terasa. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dan masyarakat secara umum untuk mengembangkan literasi digital yang kuat, menetapkan batasan yang sehat dalam penggunaan teknologi, dan secara sadar menyeimbangkan interaksi di dunia virtual dengan koneksi otentik di dunia nyata.
Prioritasi pada kesejahteraan mental di era pasca-pandemi, dengan pemanfaatan teknologi secara bijak, adalah kunci untuk membangun ketahanan psikologis di masa depan.
Penulis:
1. Lintang Dziban Abiyu Purwanto
2. Hidayatullah Permani
Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Daftar Pustaka
Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., & Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. The Lancet, 395(10227), 912-920.
Cao, W., Fang, Z., Hou, G., Han, M., Xu, X., Dong, J., & Zheng, J. (2020). The psychological impact of the COVID-19 epidemic on college students in China. Psychiatry Research, 287, 112934.
Prime, H., Wade, M., & Browne, D. T. (2020). Risk and resilience in family well-being during the COVID-19 pandemic. American Psychologist, 75(5), 631–643.
Berryman C, Ferguson CJ, Negy C. Social Media Use and Mental Health among Young Adults. Psychiatr Q. 2018 Jun;89(2):307-314. doi: 10.1007/s11126-017-9535-6. PMID: 29090428.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News