Deepfake Berita Politik dalam Bentuk Meme Melanggar Nilai-Nilai Pancasila

Deepfake Berita Politik
Ilustrasi Deepfake Berita Politik (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pendahuluan

Dalam era digital saat ini, perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat berkomunikasi dan menyebarkan informasi. Salah satu fenomena yang menonjol adalah munculnya meme sebagai bentuk komunikasi digital yang populer.

Meme, yang didefinisikan sebagai sekelompok materi digital yang menyebarkan konten umum dalam berbagai karakteristik, bentuk, dan sikap, telah menjadi bagian integral dari diskursus sosial dan politik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (Shifman, 2014).

Penggunaan meme dalam konteks politik bukanlah hal baru. Sejak pemilihan presiden 2014, isu-isu politik yang diangkat dalam kampanye pemilu kerap kali dibahas melalui meme.

Bahkan ketika calon presiden yang sama kembali mencalonkan diri pada pemilihan presiden 2019, meme tetap menjadi salah satu sarana utama dalam memperbincangkan berbagai isu politik, meskipun banyak di antaranya dianggap sebagai isu bohong (hoax) (Ariefana, 2018; Rahman, 2018; The Jakarta Post, 2018).

Bacaan Lainnya

Meme menjadi alat yang efektif dalam menyebarkan ide, gagasan, dan sikap politik karena kemampuannya untuk menyampaikan pesan secara cepat dan luas melalui internet. Meme juga menawarkan nuansa egalitarian dalam masyarakat, di mana tidak ada individu yang dominan dalam relasi yang dibangun antara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dan elite politik (Stewart, 2011).

Di Indonesia, humor politik yang menyerang penguasa sering kali dianggap berbahaya. Pada era Orde Baru, kartunis dan komedian yang menyampaikan ekspresi politik melalui humor diawasi dan dicekal oleh penguasa (Badil et al., 2016; Laksono & Albar, 2013).

Pada pemerintahan Presiden Jokowi, beberapa warga yang membuat dan menyebarkan meme ditangkap dan dituduh melanggar hukum karena dianggap melakukan penghinaan dan menyebarkan ujaran kebencian (Aliansyah, 2017; Amelia & Widiastuti, 2017; Faisal, 2018).

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan meme dalam menyebarkan berita politik palsu (fake news) yang dikenal sebagai “deepfake” dalam diskursus politik Indonesia. Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana meme yang mengandung berita politik palsu diciptakan, disebarkan, mempengaruhi wacana politik dan merusak nilai-nilai sila ke-2.

Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih baik tentang peran meme dalam diskursus politik serta dampaknya terhadap masyarakat, budaya politik, dan norma-norma Pancasila di Indonesia.

Analisa dan Pembahasan

Ilustrasi Meme Politik di Indonesia

Meme sebagai tindakan replikasi ide dan gagasan menjadi sangat populer di era digital. Dengan kemampuan replikasi yang sangat mudah (copy-paste) dan disertai modifikasi (edit), meme dilakukan oleh banyak orang dan menjadi produk budaya digital yang masif.

Meme menjadi genre baru penyebaran ide dan gagasan di era digital. Shifman (2014) mendefinisikan meme sebagai “a group of digital items sharing common characteristics of content, form, and/or stance; that were created with awareness of each other; and were circulated, imitated, and/or transformed via the Internet by many users“.

Definisi ini mengadopsi ide Dawkins tentang tindakan replikasi ide dan gagasan, yang menyebar sangat cepat dan luas seperti virus (viral) dari satu orang ke orang lainnya.

1. Meme dalam Konteks Politik

Ide dan gagasan yang disampaikan melalui meme sangat beragam, mulai dari hiburan yang tidak serius hingga isu-isu politik yang serius. Meme yang memuat isu politik banyak dibahas dan diperbincangkan oleh banyak peneliti (Avidar, 2012; Baumgartner, 2013; Hatab, 2016; Ross & Rivers, 2017; Shifman, Coleman, & Ward, 2007; Yang & Jiang, 2015).

Penelitian menunjukkan bahwa meme memberikan implikasi signifikan terhadap perbincangan politik suatu masyarakat, bahkan beberapa di antaranya berimplikasi pada tindakan politis tertentu (Kuipers, 2011; Yang & Jiang, 2015). Sebagai contoh, keterlibatan meme dalam revolusi di Tunisia yang diuraikan oleh Hatab (2016).

2. Meme dan Humor Politik

Meme yang digunakan sebagai ekspresi politik sering kali disampaikan dalam bentuk humor politik (Shifman, 2014). Ekspresi politik ini memadukan hal serius dan tidak serius dan cenderung menggunakan isu-isu yang sangat populer (Tsakona & Popa, 2011).

Pendapat politik yang disampaikan melalui meme mendaur ulang isu-isu umum hingga memperkuat pandangan politik tertentu. Isu yang diperbincangkan mengandung aspek realitas yang merepresentasikan peristiwa, fenomena, atau objek tertentu.

Dalam pandangan ini, humor politik dalam bentuk meme berfungsi sebagai peneguh pandangan kelompok dan memperkuat nilai-nilai yang dimiliki kelompok tertentu. Meme adalah pesan dalam komunikasi dan tindakan ekspresi politik yang serius, walaupun dapat disampaikan dalam konteks humor atau tidak serius (Mina, 2014; Zittrain, 2014).

Menurut Listiyorini (2017), meme itu sendiri merupakan wacana atau discourse, kesatuan bahasa paling besar yang digunakan untuk berkomunikasi. Leeuwen (2004) mendefinisikan wacana sebagai “as socially constructed knowledge of some aspect of reality“.

Dengan kata lain, sebuah objek perbincangan yang dikonstruksi secara sosial dan didasari oleh pengetahuan atas aspek-aspek realitas yang disepakati bersama.

3. Teori Humor

Terdapat beberapa teori humor yang relevan digunakan dalam penelitian ini: superiority theories dan incongruity theories. Superiority theories mengasumsikan bahwa humor lahir sebagai tindakan superioritas, yakni tindakan yang diciptakan atas dasar posisi yang lebih (superior) daripada lainnya yang ditertawakan.

Salah satu tokoh yang mengajukan pendapat ini adalah Thomas Hobbes. Hobbes berpendapat bahwa hasrat untuk tertawa muncul ketika ada sudden glory yang memunculkan keunggulan diri kita dibanding orang lain yang dianggap lebih lemah atau lebih rendah.

Incongruity theories mengasumsikan humor sebagai ketidakkonsistenan logika dalam persepsi sebuah peristiwa. Dengan kata lain, humor diciptakan karena adanya hal yang tidak logis, irasional, paradoksal, tidak koheren, keliru, atau tidak semestinya. Incongruity theories menganggap humor sebagai gejala kognisi dalam diri manusia.

Baca juga: Media Sosial dan Pancasila: Mengatasi Hoaks dan Propaganda

4. Analisa Dampak

Meme politik telah menjadi alat komunikasi yang kuat di era digital, memengaruhi cara orang berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan isu-isu politik. Berikut adalah beberapa dampak utama dari penggunaan meme dalam berita politik:

a. Menjatuhkan Martabat dan Kehormataan Seseorang

Deepfake yang disebarkan dalam bentuk meme dapat merusak citra politik seseorang. Hal ini karena meme yang disebarkan kebanyakan menyimpang dari berita asli. Sehingga, tindakan ini termasuk kepada pencemaran nama baik seseorang, menurunkan kehormatan dan martabat, serta pelanggaran nilai sila ke-2.

b. Pengaruh pada Opini Publik

Meme politik dapat membentuk opini publik dengan cepat dan efisien karena meme sering kali sederhana, lucu, dan mudah diingat, mereka mampu menyampaikan pesan politik yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami.

Studi menunjukkan bahwa meme politik bisa menguatkan atau mengubah pandangan politik individu dengan menyajikan informasi dalam format yang menarik dan menghibur (Baumgartner, 2013). Sehingga, berpengaruh kepada opini publik dan dapat menyebabkan cyber bullying yang tidak sejalan dengan sila ke-2

c. Penyebaran Disinformasi

Salah satu dampak negatif dari meme politik adalah potensinya untuk menyebarkan disinformasi. Deepfake yang menggunakan teknologi untuk memanipulasi gambar atau video agar terlihat nyata, dapat membuat berita palsu tampak lebih kredibel.

Ini bisa menyesatkan publik dan mengakibatkan penyebaran informasi yang salah secara luas. Seiffert-Brockmann, Diehl, & Dobusch (2018) mencatat bahwa meme dengan informasi yang salah bisa dengan cepat menjadi viral, memperkuat misinformasi dalam diskursus publik.

d. Polarisasi Politik

Meme politik sering kali mengandung pesan partisan yang kuat, yang bisa memperdalam polarisasi di antara kelompok-kelompok politik. Meme yang mengejek atau menyerang kelompok politik tertentu dapat meningkatkan permusuhan dan memperkuat perpecahan sosial. Tsakona & Popa (2011) menunjukkan bahwa humor politik dalam meme bisa memperkuat batas-batas identitas kelompok, membuat dialog antar kelompok menjadi lebih sulit.

e. Mobilisasi Sosial

Meme politik dapat digunakan untuk memobilisasi aksi sosial dan politik. Mereka sering digunakan dalam kampanye politik untuk menyebarkan pesan, menggalang dukungan, dan mendorong partisipasi pemilih.

Sebagai contoh, meme digunakan secara luas selama Revolusi Tunisia untuk menginspirasi dan mengkoordinasikan protes massa (Hatab, 2016). Meme politik yang efektif dapat membangkitkan emosi dan memotivasi tindakan kolektif.

f. Normalisasi Humor dalam Diskursus Politik

Penggunaan humor dalam meme politik bisa membuat diskusi politik menjadi lebih santai dan aksesibel. Namun, ini juga bisa mengakibatkan normalisasi isu-isu serius sebagai bahan lelucon, yang dapat mengurangi rasa urgensi atau pentingnya masalah tersebut.

Shifman (2014) menyatakan bahwa meskipun humor dapat membuat isu politik lebih menarik, ia juga berisiko meremehkan atau menyederhanakan masalah yang kompleks.

Kesimpulan

Meme politik adalah fenomena kompleks dengan berbagai dampak pada masyarakat. Mereka dapat menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan politik, membentuk opini publik, dan memobilisasi aksi sosial.

Namun, mereka juga memiliki potensi untuk menyebarkan disinformasi, memperdalam polarisasi politik, dan meremehkan isu-isu serius. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengelola dampak dari meme politik dengan bijaksana untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaatnya bagi diskursus publik.

 

Penulis: Annisa Rahma Azira
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi

Aliansyah, I. (2017). Warga Ditangkap karena Menyebarkan Meme Penghinaan. Kompas. Retrieved from https://www.kompas.com

Amelia, M., & Widiastuti, S. (2017). Penghinaan Melalui Meme di Media Sosial. Hukum Online. Retrieved from https://www.hukumonline.com

Ariefana, P. (2018). Viral Meme-Meme Politik Menyambut Pilpres 2019. Suara. Retrieved from https://www.suara.com

Avidar, R. (2012). The Construction of Political Identity via Meme. Journal of New Media & Society, 14(5), 812-828.

Badil, R., Laksono, E., & Albar, I. (2016). Humor, Media, dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Kompas.

Baumgartner, J. C. (2013). The Influence of Political Parody on the Public Discourse. Journal of Communication, 63(2), 207-232.

Faisal, E. (2018). Kasus Meme Hina Presiden Jokowi, Penyebar Ditangkap. Tempo. Retrieved from https://www.tempo.co

Hatab, M. (2016). The Role of Meme in the Tunisian Revolution. Journal of Middle Eastern Studies, 12(3), 189-204.

Kuipers, G. (2011). The Politics of Humor in the Digital Age. Journal of Humor Research, 24(3), 261-278.

Laksono, E., & Albar, I. (2013). Humor, Media, dan Politik di Indonesia. Jakarta: Kompas.

Leeuwen, T. V. (2004). Introducing Social Semiotics. London: Routledge.

Listiyorini, S. (2017). Meme sebagai Wacana Politik di Era Digital. Jurnal Komunikasi, 9(1), 23-38.

Mina, A. X. (2014). Batman, Pandaman, and the Blind Man: Meme, Narrative, and Political Action in China. Journal of Visual Culture, 13(3), 359-375.

Rahman, F. (2018). Pengaruh Meme Politik terhadap Opini Publik. The Jakarta Post. Retrieved from https://www.thejakartapost.com

Ross, A. S., & Rivers, D. J. (2017). Digital Cultures of Political Participation: Internet Memes and the Discursive Delegitimization of the 2016 US Presidential Candidates. Journal of Communication, 67(5), 729-751.

Seiffert-Brockmann, J., Diehl, T., & Dobusch, L. (2018). The Role of Memes in the Spread of Fake News. Journal of Media and Communication Research, 40(2), 123-139.

Shifman, L. (2014). Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press.

Shifman, L., Coleman, S., & Ward, S. (2007). The Politics of Internet Memes. Journal of Visual Culture, 6(3), 255-275.

Stewart, D. (2011). Meme sebagai Alat Komunikasi Politik di Era Digital. Journal of Political Communication, 15(4), 279-296.

Tsakona, V., & Popa, D. E. (2011). Studies in Political Humour: In Between Political Critique and Public Entertainment. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Yang, G., & Jiang, M. (2015). The Role of Internet Memes in Social Movements: The Case of the Sunflower Movement. Journal of Social Media Studies, 5(1), 99-118.

Zittrain, J. (2014). Meme as a Form of Political Expression. Journal of Internet Studies, 10(2), 131-147.

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses