Di era digital seperti sekarang, hampir semua orang hidup berdampingan dengan media sosial. Setiap hari kita disuguhkan potret kehidupan orang lain yang tampak sempurna: liburan mewah, karier cemerlang, bahkan hal-hal sederhana seperti ngopi di kafe kekinian.
Di balik semua itu, muncul fenomena yang diam-diam menggerogoti: fear of missing out atau lebih sering disebut FOMO. Tanpa sadar, banyak di antara kita merasa gelisah atau minder hanya karena melihat orang lain menikmati sesuatu yang tidak kita alami.
Fenomena ini sangat lekat dengan generasi muda yang tumbuh bersama teknologi. Alih-alih menikmati hidup secara utuh, sebagian besar justru sibuk membandingkan diri. Pertanyaannya, apakah kefomoan ini sepenuhnya buruk? Ataukah ada sisi baik yang bisa dimanfaatkan?
Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana kefomoan memengaruhi generasi sekarang, mulai dari dampak negatif, peluang positif, hingga cara menyikapinya secara lebih bijak.
Saat Media Sosial Jadi “Cermin Palsu”
Media sosial memang diciptakan untuk mendekatkan yang jauh, tapi juga punya sisi gelap: memperlihatkan kehidupan yang kadang tidak sepenuhnya nyata. Banyak orang hanya membagikan momen terbaik, menyembunyikan kesulitan atau kegagalan mereka.
Akibatnya, yang terlihat adalah gambaran hidup yang “sempurna” dan ini menjadi cermin palsu bagi para penontonnya.
Generasi sekarang yang sangat terhubung secara digital seringkali lupa bahwa apa yang ditampilkan bukanlah kenyataan utuh. Kefomoan muncul karena merasa hidup kita tidak semenarik atau sesukses orang lain. Padahal, kita tidak benar-benar tahu perjuangan atau masalah di balik layar unggahan tersebut.
Yang lebih berbahaya, kefomoan ini mendorong orang untuk ikut-ikutan demi terlihat “in”. Tak jarang, seseorang membeli barang atau mengikuti tren hanya agar tidak merasa ketinggalan, meski sebenarnya tidak butuh.
Lama-lama, kebiasaan ini bisa membuat kita kehilangan arah, karena sibuk mengejar sesuatu yang bukan berasal dari keinginan sendiri.
Dampaknya? Bukan hanya soal dompet yang menipis, tetapi juga mental yang lelah. Merasa selalu tertinggal atau “kurang” menciptakan beban psikologis yang terus-menerus. Ini yang membuat kefomoan perlu disikapi dengan hati-hati, karena jika dibiarkan, ia bisa mengikis rasa percaya diri secara perlahan.
Baca Juga:Â Mudahnya Belanja dengan Paylater: FOMO sebagai Pemicu Pemborosan
Dari FOMO Menjadi Pendorong Diri
Meski terdengar negatif, kefomoan sebenarnya tidak selalu membawa keburukan. Ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan jika kita pandai membaca peluang. Rasa takut tertinggal bisa memicu kita untuk lebih aktif belajar dan berkembang.
Contoh sederhana, ketika teman-teman mulai ikut kursus bahasa asing atau workshop keterampilan baru, kita jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Kefomoan juga membuat kita lebih sadar akan perubahan zaman. Generasi sekarang menjadi lebih adaptif karena terbiasa mengikuti perkembangan terbaru. Dunia yang cepat berubah memang menuntut kita untuk selalu update, dan di sinilah FOMO berperan sebagai alarm alami agar kita tidak terlena di zona nyaman.
Di bidang bisnis, FOMO bahkan dijadikan strategi pemasaran yang efektif. Produk-produk yang dilabeli “limited edition” atau “flash sale” sukses besar karena memanfaatkan rasa takut konsumen untuk ketinggalan. Ini bukti bahwa kefomoan bisa jadi kekuatan yang luar biasa jika digunakan pada tempatnya.
Yang penting adalah membedakan antara mengikuti sesuatu karena memang bermanfaat, dengan sekadar ikut-ikutan demi gengsi. Ketika kita sadar alasan di balik tindakan kita, kefomoan bisa diubah menjadi dorongan positif untuk terus berkembang, bukan sekadar pamer.
Bijak Menghadapi Kefomoan
Lalu, bagaimana agar kefomoan tidak menguasai hidup kita? Pertama, kita harus mulai menyadari bahwa hidup bukan kompetisi untuk selalu terlihat paling keren atau paling sukses.
Setiap orang punya jalannya sendiri, dan tidak semua hal yang viral harus kita ikuti. Penting untuk bertanya pada diri sendiri: apakah ini memang saya butuhkan, atau hanya karena takut ketinggalan?
Kedua, cobalah sesekali mengambil jarak dari dunia digital. Tidak perlu drastis, cukup dengan membatasi waktu bermain media sosial setiap hari. Luangkan lebih banyak waktu untuk hal-hal nyata seperti ngobrol langsung dengan teman atau mengembangkan hobi yang membuat bahagia tanpa perlu dipamerkan.
Ketiga, bangun rasa syukur dan puas dengan apa yang sudah dimiliki. Kadang kita terlalu fokus melihat ke atas, sampai lupa melihat ke sekitar. Padahal, banyak hal sederhana yang sebenarnya sudah cukup membuat kita bahagia jika benar-benar dinikmati.
Terakhir, jadikan kefomoan sebagai alat refleksi, bukan beban. Jika melihat kesuksesan orang lain membuat kita iri, jadikan itu pemicu untuk memperbaiki diri tanpa harus memaksakan diri menjadi seperti mereka. Kita bisa belajar, tapi tetap dengan cara yang sesuai dengan kapasitas dan tujuan pribadi.
Pada akhirnya, kefomoan adalah bagian dari dinamika hidup di zaman modern. Ia tidak akan hilang, tetapi kita selalu punya pilihan: apakah membiarkan diri dikuasai olehnya, atau justru menjadikannya bahan bakar untuk tumbuh lebih bijak.
Penulis: Devi Anggita
Mahasiswa Bahasa & Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News