Bermula seusai Perang Dunia II, wilayah Timur-Tengah secara keseluruhan mulai dikuasai oleh negara-negara pemenang PD II. Pemenang perang di antaranya yaitu Inggris dan Prancis berikutnya mendapatkan hak mandat atas wilayah-wilayah di Timur-Tengah termasuk Palestina.
Lebih tepatnya pada tahun 1880-han, wilayah Palestina mulai menjadi perbincangan hangat dalam kancah internasional. Pasalnya, wilayah tersebut ternyata merupakan satu-satunya wilayah yang secara kukuh dipertahankan oleh kekuasaan Turki Utsmani. Kendati demikian, Turki Utsmani harus menerima kekalahan telak atas perang melawan Rusia pada tahun 1572.
Kekalahan Ottoman dalam PD II menyebabkan berpindah tangannya kekuasaan Ottoman atas Palestina menjadi kekuasaan Inggris. Di bawah mandat Inggris, bangsa Yahudi Eropa berhasil melakukan migrasi ke Palestina yang sebelumnya sangat ditentang oleh Turki Utsmani. Situasi tersebut sebenarnya menimbulkan pertanyaan lanjutan yaitu apakah sebelumnya tidak terdapat penduduk ras Yahudi yang hidup di Palestina?
Baca Juga: Diplomasi Covid Tiongkok dan Percepatan Proyek BRI di Myanmar
Sejarah menjawab bahwa sebenarnya bangsa Yahudi merupakan salah satu ras tertua di dunia yang pada masa lampau menempati wilayah Timur-Tengah. Dalam kancah internasional, isu -isu yang berkaitan dengan Israel-Palaestina acapkali muncul bersamaan dengan wacana anti-semitik. Pada saat yang sama, sedikit sekali orang yang menyadari fakta sejarah bahwa bangsa Arab termasuk ras Semitik.
Secara geografis, pada dasarnya kedua ras Semitik tersebut sudah terbiasa tinggal berdampingan di wilayah Palestina maupun di wilayah lainnya dalam lingkup Timur-Tengah. Jika memang demikian, dimana hulu permasalahan Israel-Palestina? Lalu apa yang membedakan Zionis dan Yahudi? Barangkali dua pertanyaan kritis inilah yang akan menunjukkan perkara yang sebelumnya masih kesamar-samaran.
Hulu permasalahan antara Israel-Palestina berkaitan dengan konsep, visi dan misi hidup Zionis. Siapa mereka? Mereka sebenarnya adalah sekelompok orang ras Yahudi Eropa yang bermigrasi dan mengakuisisi Yerusalem. Dalam satu kajian, ditunjukkan perbedaan signifikan antara Zionisme dan Yahudi.
Keduanya dibedakan oleh ambisi atau tujuan dan keyakinannya; yaitu Zionis merupakan orang Yahudi yang memiliki ambisi untuk mendirikan negara di Palestina sebagai misi politik yang berkaitan dengan keyakinan mereka. Sedangkan Yahudi biasa adalah keturunan Yahudi non-Eropa dan sejak lama tinggal di wilayah Timur-Tengah.
Berdasarkan analisis sejarawan, nama Zionis mengakar pada nama yang tertera dalam Kitab Perjanjian Lama. Zion atau tsyon sendiri diyakini merupakan nama sebuah bukit di Al-Quds yang terletak di Yerussalem. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa gerakan ini tercipta dari keyakinan Yudaisme yang diyakini oleh bangsa Yahudi.
Pada dasarnya, gerakan ini merupakan aspirasi politik, sosial, ekonomi dan budaya sekelompok orang Yahudi. Mereka berkeyakinan bahwa bangsa Yahudi berhak atas tanah Palestina yang dianggap sebagai tanah leluhur.
Baca Juga: Hubungan Terkini Indonesia-Cina Meningkatkan Kerja Sama Antar Negara
Demi meraih ambisinya, Zionis mengampanyekan setidaknya dua wacana yang digunakan untuk merasionalisasikan aksi mereka. Kedua wacana ini cukup “laku keras” di tengah para penganut agama Kristen Evangelist maupun di tengah komunitas internasional.Wacana pertama ialah Israel sebagai “Bangsa Pilihan Tuhan” dan yang kedua ialah hak Israel atas “Tanah yang dijanjikan Tuhan”.
Zionis melakukan klaim bahwa konsep Yahudi sebagai ras terpilih tidak lain diambil dari kitab suci Taurat. Jika sedikit menilik konteks sejarah pada PD II, tindakan Yahudi memiliki pola yang sama dengan Nazi. Penganut Nazizme yang digagas oleh Adolf Hitler juga meyakini bahwa bangsanya merupakan bangsa terpilih.
Dengan segala rupa legitimasi yang dibuat-buat, Hitler menggunakan doktrin tersebut untuk melancarkan genosida terhadap bangsa Yahudi di Jerman. Peristiwa yang dikenal dengan nama Holocaust tersebut sangat mendunia dan sering diperingati oleh bangsa Yahudi.
Bangsa Yahudi Zionisme menyadari dengan pasti bahwa Holocaust merupakan peristiwa memilukan. Oleh karena itu, mereka memiliki ambisi untuk bangkit dari keterpurukan tersebut. Ironisnya, kendatipun Zionis membenci Holocaust, mereka menggunakan strategi dan doktrin yang sama dengan Nazi.
Gerakan Zionisme pada akhirnya berhasil mendirikan negara Israel di wilayah Palestina. Israel saat ini merupakan negara yang bahkan diakui PBB dan telah memiliki banyak hubungan diplomasi dengan negara-negara Eropa. Meskipun termasuk bagian dari ras Yahudi, terdapat golongan oposisi dari orang Yahudi sendiri yang melawan gerakan Zionisme.
Mereka meyakini bahwa cara yang ditempuh dalam perolehan wilayah di Yerussalem merupakan kesalahan fatal. Di sisi lain, dunia umumnya memandang bahwa hubungan Palestina dan Israel merupakan hanya seputar konflik agama dan wilayah.
Pada gilirannya, perspektif yang demikian itu menimbulkan kerancuan, bagaimana dunia membedakan definisi konflik dan penjajahan? Menjadi hal yang lumrah ketika terdapat sebagian orang yang meyakini bahwa sedari awal, Israel-Palestina bukan tentang konflik agama, melainkan legalisasi penjajahan di atas dunia dengan sejumlah pembenaran sepihak. Atas peristiwa yang tak berujung selama puluhan tahun itu, maka bagaimana respon negara-negara Arab?
Secara garis besar, orang-orang Arab menunjukkan sikap solidaritas sebagai sesama penduduk wilayah Timur Tengah. Mereka mengekspresikan penolakan atas penjajahan Israel dengan turut menggencarkan serangan balasan terhadap Israel.
Perang antara Arab-Israel pertama kali terjadi pada tahun 1948 yang persisnya terjadi di Palestina. Dalam satu contoh kasus ialah perang yang terjadi antara bantuan pasukan Mesir melawan bangsa Yahudi-Zionis di area perbatasan yaitu bukit Sinai.
Menang dan kalah perang yang dialami oleh bangsa Arab kemudian pada akhirnya turut menciptakan kekeruhan suasana politik di tengah bangsa Arab. Mereka terpecah menjadi setidaknya dua fraksi politik. Fraksi yang pertama ialah yang berhasrat untuk tetap melanjutkan perang.
Sedangkan fraksi kedua ialah segolongan orang Arab yang memilih untuk menempuh langkah diplomatis dalam menyelesaikan permasalahan Palestina-Israel. Sejauh ini, kedua pendekatan tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan bagi keadaan Palestina-Israel.
Selain karena situasi dan kondisi politik Timur Tengah yang tidak mendukung karena adanya kepentingan, campur tangan pihak eksternal juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan rekonsiliasi Palestina-Israel.
Daftar Pustaka
Bickerton, Ian J. (2009). The Arab-Israeli Conflict: A History. Reaktion Books: London.
Fraseer, T.G. (2015). The Arab Israel Conflict. Palgrave Mcmillan: United Kingdom.
Satrianingsih, Andi., Zaenal, Abidin. (2016). SEJARAH ZIONISME DAN BERDIRINYA NEGARA ISRAEL. Jurnal Adabiyah Vol. 16 Nomor 2/2016.
https://www.republika.co.id/berita/qnkb3w320/ketika-kesultanan-turki-utsmani-membakar-kota-moskow
https://www.republika.co.id/berita/qwzuue459/sejarah-hari-ini-adolf-hitler-pimpin-partai-nazi
Hanady Martha Laura
Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Arab
Universitas Al-Azhar Indonesia
Editor: Diana Pratiwi