Diplomasi Covid Tiongkok dan Percepatan Proyek BRI di Myanmar

china

Fauzi Wahyu Zamzami
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Pandemi COVID menjadi keistimewaan khusus bagi Tiongkok. Diplomasi COVID menjadi perhatian khusus oleh pemerintah Tiongkok setelah melewati masa-masa puncaknya pandemi COVID-19. Uniknya, sebuah istilah baru ini menggambarkan bagaimana pemerintah Tiongkok menunjukkan esksistensinya dalam mengirim pasokan serta tenaga medis ke seluruh dunia, termasuk Myanmar.

Citra yang dilakukan Tiongkok sangat luar biasa dengan dalih tujuannya untuk membangun niat baik dan menunjukkan kepada dunia tentang kekuatan Tiongkok dalam kepemimpinan global untuk memerangi pandemic ini. Para pengamat Asia Tenggara melihat bahwa ini merupakan sebuah praktek propaganda secara terbuka. Hal tersebut dilihat dari reaksi Tiongkok untuk melangkah lebih jauh dan memperingatkan beberapa kawasan untuk menerima soft power pemerintah Tiongkok.

Bacaan Lainnya

Belt and Road Initiative (BRI) selalu menjadi bahan diskusi menarik ketika membahas kebijakan luar negeri Tiongkok. Dalam hal ini, Tiongkok melalui mitra BRI mencoba menggunakan soft power-nya untuk mendorong negara-negara melalui proyek-proyek yang kemungkinan bahkan tidak ada dalam kepentingan negara yang diajak kerjasama.

Di Myanmar, adanya pertemuan antara Duta Besar Tiongkok, Chen Hai, dengan wakil Menteri Perencanaan, Keuangan dan Industri, U Set Agung, menunjukkan bahwa Tiongkok mulai bergerak secara masif. Kedua negara membahas tentang bagaimana implementasi proyek China Myanmar Economic Corridor (CMEC) yang tentunya berada di bawah BRI. Uniknya, diskusi berlangsung setelah Myanmar mengeluarkan COVID-19 Economic Relief Plan (CERP) yang telah diterbitkan pada tanggal 27 April. Secara garis besar, CERP menjelaskan tentang bagaimana rencana Myanmar untuk jangka pendek dan menengah dalam menangani dampak ekonomi akibat COVID-19 yang di dalamnya termasuk beberapa ketentuan untuk mempercepat permintaan proyek insfrastruktur secara strategis serta menyetujui beberapa perjanjian dengan perusahaan multinasional yang sempat tertunda.

Dalam kacamata politik internasional, saya melihat bahwa terdapat kekhawatiran yang dirasakan oleh Myanmar sendiri. Myanmar seakan-akan melihat bahwa sebenarnya pemerintah Tiongkok berusaha menggunakan skema pandemic ini untuk memberikan tekanan yang berlebihan melalui dorongan-dorongannya untuk proyek-proyek BRI. Adanya banyak kecurigaan seputar pertemuan Chen Hai sering kali dipertanyakan karena diskusi antara dua negara khusus mengenai proyek-proyek yang telah ditandatangani MOU selama kunjungan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, ke Myanmar pada bulan Januari Tahun ini. Kondisi yang paling mengejutkan ternyata ini merupakan kunjungan pertama yang dilakukan oleh presiden Tiongkok dalam 19 tahun. Disini, terlihat bahwa Tiongkok benar-benar memiliki motif khusus melalui Diplomasi COVID-19 ini.

Pada dasarnya, memang percepatan BRI di Myanmar sudah berjalan sebelum adanya wabah global COVID-19. Kedatangan Xi Jinping di Myanmar pada januari menyatakan pendalaman kerja sama BRI yang khusus untuk berorientasi pada hasil akhir dan juga memindahkan beberapa proyek yang telah dijalankan. Xi Jinping menekankan untuk adanya perubahan dari tahap konseptual menuju perencanaan serta implementasi yang konkret dalam membangun CMEC. 

Kunjungan Xi Jinping ke Myanmar membawa 3 ikon utama yaitu Kyaukphu dan pelabuhan laut dalam, zona ekonomi perbatasan antara Myanmar dan Tiongkok, serta perkembangan Kota New Yangon yang dijadikan olehnya sebagai 3 pilar CMEC. Tiongkok memang selalu memiliki banyak akal dalam melakukan soft powernya bahkan tiga proyek ini pun dilaporkan dibahas di pertemuan Mi Chen Hai pada tanggal 6 Mei.

Motif tersebut dibuat khusus oleh Tiongkok supaya mempermudah implementasi proyek BRI serta meningkatkan citranya.

Tekanan pun terjadi ketika sebenarnya proyek tersebut dipercepat untuk mengurangi angka penurunan ekonomi di Myanmar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sampai saat ini belum ada perubahan besar dari implementasi proyek BRI dikarenakan pandemic COVID-19. Sesuatu yang perlu dikritisi adalah ketika skala proyek BRI dan pentingnya ekonomi Myanmar maka akan sangat aneh jika pertemuan semacam itu tidak terjadi segera setelah CERP dirilis.

Selain beberapa hal diatas, soft power pemerintah Tiongkok ke Myanmar perlu ditinjau dari berbagai konteks. Pada dasarnya, Myanmar telah jelas menunjukkan tingkat otonomi dalam hubungannya dengan Tiongkok untuk aspek ekonomi. Secara umum, perlu dipahami bahwa soft power selalu didefinisikan  sebagai suatu pencapaian suatu negara untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya melalui berbagai daya tarik hingga tekanan serta paksaan. Dalam konteks Tiongkok, mereka berusaha melakukannya melalui Diplomasi COVID-19. Singkatnya, soft power yang berhasil tidak dilihat dari apa tawaran yang dibuat oleh suatu negara melainkan tergantung bagaimana suatu negara yang menjadi penerima menanggapi tawaran diplomatik tersebut.

Myanmar merupakan negara dengan pengakuan pengamat yang aktif dan juga berhasil mengamankan persyaratan serta skemanya dengan baik untuk proyek-proyek BRI ini. Misalnya, pada tahun 2017, konsorsium CITIC; pada tahun 2015, berhasil memenangkan tender untuk mengembangkan pelabuhan laut dalam Kyaukphyu; serta persetujuannya untuk menerunkan kepemilikan dalam proyeknya dari 85 persen menjadi 70 persen. Beberapa hal tersebut terjadi setelah komite yang dipimpin oleh pemerintah Myanmar mendorong persyaratannya lebih baik dari sebelumnya. Kemudian, pada tahun 2018, pemerintah Myanmar berhasil mengurangi proyek dari $7,3 miliar menjadi $ 1,3 miliar dan mengakui bahwa Myanmar terlalu menanam banyak utang melalui proyek-proyek tersebut.

Bagi pemerintah Tiongkok, kasus terkait pembatalan bendungan Myitsone yang didukung oleh Tiongkok pada tahun 2011 di Negara Bagian Kachin pasca protes yang sangat popular mengenai dampak lingkungan serta dugaan eksploitasi akan segera segar kembali. Tiongkok menyadari bahwa ketika proyek-proyeknya dibatalkan maka akan mengundang kemarahan publik hingga diarahkan pada bendungan Myitsone.

Pemerintah Tiongkok memang terlihat siap untuk melaksanakan kecepatan proyek-proyek BRI di Myanmar. Namun, disisi lain Tiongkok juga mengakui bahwa menjelang pemilu Myanmar pada bulan November akan sedikit membatasi kemampuan Myanmar untuk terus menerus maju dengan proyek-proyek yang tentunya diwaspadai oleh publik secara khusus.

Masalah lain dilihat dari hambatan ekonomi yang kian semakin mengkhawatirkan. Sementara akan ada tujuan yang lebih besar untuk mendapatkan hasil proyek BRI yang sedang berjalan. Namun, hal ini bukan berarti proyek-proyek BRI terlalu tergesa-gesa sehingga menyebabkan ketidakseimbangan.

Oleh karena itu, saya berargumen secara global bahwa setiap pelaksanaan Diplomasi COVID-19 perlu dicermati langkah-langkahnya terlebih dahulu sebaik mungkin. Hal yang terpenting adalah bagaimana suatu negara melihat proyek BRI yang dijalankan di konteks lokal mereka dan tidak terpengaruh oleh kecurigaan antar negara yang memang tidak semestinya.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI