Kesamaan antara Corona dan Jodoh

corona dan jodoh

Musim kawin di Indonesia tertunda. Hajatan dan resepsi yang biasa jadi tempat pamer cincin dan kebahagiaan harus diundur, membuat calon pasangan muda menggantungkan tiket bulan madunya. Bagai tanda koma, Covid-19 datang dari negeri China. Tanda yang memundurkan waktu, menahan aktivitas keseharian.

Jeda panjang ini telah berlalu kurang lebih dua bulan, namun tiap orang menghadapi tanda koma ini dengan caranya masing-masing. Ketika berbagai kubu kian menyerang dengan segala pendapatnya, satu kubu yang sulit ditahan oleh ilmuwan, dokter, professor, hingga aparat pemerintah sekalipun; kubu orang yang merasa paling benar.

Kala masjid ditutup dan kumandang azan yang menyuruh untuk melaksanakan sholat di rumah, semua menuai perbedaan pendapat. Namun, seperti vaksin corona yang sampai sekarang belum ditemukan, berharap perdebatan itu lantas selesai bukanlah hal realistis.

Bacaan Lainnya

Beberapa pemakan teori konspirasi menuduh social distancing ini sebagai cara menghancurkan agama. Merunduk syiar dan menghalangi kepada kebaikan. Pihak tersebut merasa pendapatnya paling benar. Padahal, jumlah penularan yang masif cukup mejadi bukti bagi individu untuk sementara ini menghindari perkumpulan dan dunia luar.

Namun, bagi sebagian orang semua bisa diputar dengan satu keyakinan: “corona ini takdir Allah”.

Takdir, takdir.. Bicara tentang takdir saya tersenyum-senyum sendiri. Agaknya cuma orang Indonesia, yang buta terhadap makna takdir.

Yang hafal rukun iman pasti tahu takdir itu dibagi dua. Ada yang namanya qadha, ada yang qadr. Mengapa dibedakan? Karena fungsi keduanya juga berbeda.

Qadr adalah takdir yang tidak akan terjadi tanpa campur tangan manusia, sedangkan qadha merupakan kuasa Tuhan sepenuhnya. Qadha di sini ialah takdir bahwa api itu panas, es itu dingin, bumi itu bulat dan manusia tidak bisa bernafas dalam air. Itulah qadha, bawaan alam yang memang hanya Tuhan yang berkuasa menetapkannya.

Sedangkan, qadr ialah sesuatu yang dapat dikaitkan dengan tawakkal. Tawakkal adalah konsep yang sangat indah terkait dengan trial and error. Menghadapi pandemi, trial and error merupakan keniscayaan yang pasti. Kita tidak tahu apa akan terkena corona atau tidak, entah dengan hanya berdiam diri di rumah maupun tetap harus keluar.

Namun, sudah jelas tawakkal terbaik adalah dengan memutuskan untuk berdiam di rumah. Tidak ada yang menjanjikan tubuh dapat kebal dari corona 100% ketika berada di luar rumah. Di sinilah tawakkal itu diuji untuk melihat apakah kita akan melakukan yang terbaik untuk menjaga kesehatan.

Kalimat “umat tidak boleh takut kepada corona, takut hanyalah kepada Tuhan” merupakan hinaan terhadap kesempatan untuk sehat yang telah diberikan Tuhan. Menantang hal tersebut sama saja dengan merenggang nyawa. Bukankah agama telah memberi banyak keringanan?

Ketika MUI mengeluarkan fatwanya, hal terbaik yang dapat kita lakukan sebagai umat ialah mematuhi. Kedzaliman terhadap orang lain harus dihindari. Salah kaprah banyak orang ialah jika terkena corona, maka hanya diri sendiri yang merasakan pedihnya. Padahal, kita berpotensi menularkan penyakit kepada orang yang sehat. Corona ini picik, mainnya diam-diam. Terkadang gejala tidak terlihat hingga hari ke-14. Kalau sudah masuk rumah sakit, selain merepotkan tenaga medis, entah sudah berapa belas orang di sekitar kita yang terpapar virus selama 14 hari tersebut?

Tidak bisa bernapas dapat mengakibatkan kematian, itulah qadha. Namun, corona dapat menjadi penyebab qadha tersebut. Terjangkit corona atau tidak, itu qadr kita yang masih bisa diubah. Lalu apa jawaban kita kepada Tuhan nantinya, kalau ditanya kenapa tidak menggunakan qadr dengan sebaik-baiknya?

Sama seperti kepercayaan akan jodoh, masyarakat +62 ini menganggap jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Tidak perlu dijemput, nanti akan datang sendiri. Padahal, jodoh ini bukan qadha alias sesuatu yang sudah pasti. Jodoh, sama seperti kematian, merupakan rangkaian qadr yang hanya dapat dijemput dengan tawakkal.

Kepercayaan tentang jodoh ini juga agak kontradiktif, karena sebagian besar orang menganggap orang yang sudah menikah itu berarti berjodoh. Kala pasangan itu bercerai, disebutlah bahwa ternyata mereka bukan jodoh. Atau ada yang menjomblo, tidak bertemu jodoh hingga umur menutup. Bukankah hal tersebut agak kontradiktif? Bukannya setiap dari kita sudah ditentukan siapa jodohnya, kok ada orang yang meninggal sendiri?

Itulah yang terjadi apabila kepercayaan kepada campur tangan Tuhan tidak dilebur dengan pemahaman mengenai takdir yang jelas. Ketika tawakkal dianggap kecil, Tuhan dapat berujar: “Bukankah Aku sudah bersabda bahwa Aku tidak akan mengubah suatu kaum hingga kaum itu mengubah dirinya sendiri?”

Agaknya, covid-19 juga mengalami justifikasi yang sama. Orang yang seenaknya keluar rumah dengan keyakinan ‘tebal’ tidak bisa membela dirinya bila suatu hari nanti terkena penyakit, selain dengan membela bahwa penyakitnya merupakan takdir. Memang, memang itu takdir Tuhan. Tapi kenapa harus memilih takdir Tuhan yang merugikan?

Tanda koma ini tidak akan berakhir kalau tidak ada ulur tangan dari semua pihak. Beberapa orang harus lebih kuat lagi mengaspal, agar dapurnya tetap mengepul. Permasalahan inilah yang semestinya menjadi fokus agar tidak ada tindakan zalim kepada keluarga maupun sekitar. Tetap di rumah merupakan hal yang krusial.

Selain agar tenaga medis tidak kesulitan, pikirkan lagi sampai kapan kehidupan kita harus diberi jeda seperti ini. Perjuangan selama 2 bulan lebih mendekam di rumah, kesulitan dalam pekerjaan maupun belajar, jangan sampai harus diperpanjang lagi. Contoh lah Wuhan tentang perjuangan dari dalam rumah. Jangan sampai koma ini berakhir menjadi titik.

Aiman Nabilah R
Mahasiswi Jurusan Akuntansi STEI SEBI

Editor: Ningga Yudha Prajna

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI