Pendahuluan
Pemberian penyuluhan dan edukasi kesehatan memiliki peranan yang krusial dalam upaya mencegah serta menangani berbagai penyakit terutama di lingkungan tempat tinggal (Catharina Sagita Moniaga dkk., 2023).
Melalui edukasi ini, dapat memperoleh pengetahuan yang tepat mengenai pola hidup sehat, deteksi dini penyakit, dan cara penanggulangan yang efektif.
Edukasi yang terus-menerus juga membentuk kesadaran kolektif untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga kesehatan bersama.
Edukasi kepada masyarakat berperan penting sebagai sarana untuk menyampaikan informasi sekaligus menanamkan keyakinan yang mendalam mengenai pentingnya kesehatan.
Hal ini bertujuan tidak hanya menjadikan masyarakat menjadi sadar, mengetahui, dan memahami informasi yang diberikan, tetapi juga agar masyarakat dapat aplikasikan pengetahuan yang dimiliki tersebut di dalam sehari-hari.
Edukasi kesehatan ini tidak sekadar menerima informasi, melainkan terdorong untuk bertindak sesuai dengan anjuran atau panduan yang diberikan guna menjaga, meningkatkan, dan mempertahankan kondisi kesehatan remaja.
Selain itu, pendekatan ini juga membantu mencegah munculnya berbagai penyakit melalui perubahan perilaku yang lebih sehat terhadap lingkungan maupun diri sendiri (Catharina Sagita Moniaga dkk., 2023).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) didefinisikan sebagai pendekatan yang menggambarkan orientasi hidup sehat yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari diri sendiri dan masyarakat.
PHBS bukan sekadar serangkaian tindakan fisik untuk menjaga kebersihan, tetapi juga mencakup nilai-nilai yang mendukung kesehatan secara holistik, termasuk aspek mental, spiritual, dan sosial.
PHBS memiliki tujuan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui perubahan perilaku yang positif dan berkelanjutan.
PHBS mendorong setiap orang untuk secara sadar menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menerapkan pola makan sehat, aktif secara fisik, serta menjauhi kebiasaan yang membahayakan kesehatan (Ari Angga Rianto, 2023).
Edukasi masyarakat memiliki peran yang penting dalam penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), karena melalui proses edukatif inilah masyarakat dapat memahami, menyadari, dan termotivasi untuk mengubah perilaku remaja ke arah yang lebih sehat.
Tanpa pemahaman yang baik, upaya penerapan PHBS sering kali hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh perubahan perilaku yang mendasar.
Melalui edukasi, individu dan kelompok masyarakat diberikan informasi mengenai manfaat dan cara praktis menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu penyakit yang memiliki pencegahan dengan edukasi kesehatan untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu demam tifoid.
Hal ini karena penyakit ini menyebar dari makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri penyebab demam (Verliani dkk., 2022).
Disebabkan oleh bakteri, maka dalam penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk melakukan pencegahan penularan penyakit ini. Edukasi kesehatan terutama bagi para remaja mengenai PHBS.
Pada usia remaja, individu cenderung lebih aktif secara sosial dan mobilitasnya tinggi, baik di sekolah, lingkungan pergaulan, maupun kegiatan luar ruangan lainnya.
Aktivitas-aktivitas ini meningkatkan potensi terpaparnya remaja terhadap berbagai sumber penularan penyakit, termasuk tifoid.
Kesadaran kolektif dalam menerapkan PHBS tidak hanya dapat melindungi individu dari risiko terinfeksi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mencegah terjadinya wabah.
Oleh karena itu, intervensi edukatif yang terus-menerus dan berbasis komunitas sangat dibutuhkan untuk membangun pola hidup bersih dan sehat sebagai fondasi pencegahan penyakit menular, seperti demam tifoid.
Deskripsi Masalah
Dari penjelasan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan deskripsi masalah yang kami ambil yakni:
- Bagaimana edukasi kesehatan melalui penerapan PHBS dalam mencegah demam tifoid pada remaja?
Pembahasan
Demam tifoid didefinisikan sebagai masalah infeksi sistemik karena bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. Typhi) yang termasuk dalam kelompok bakteri gram negatif.
Penyakit ini ditularkan melalui rute fekal-oral jika seseorang memakan makanan atau minum minuman yang terkontaminasi oleh kotoran manusia dengan kandungan dari bakteri tersebut.
Demam tifoid ditandai dengan gejala demam tinggi yang berlangsung lebih dari seminggu, sakit kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan seperti diare atau sembelit, serta penurunan nafsu makan.
Pada beberapa kasus, gejalanya dapat memburuk menjadi komplikasi serius seperti perdarahan saluran cerna atau perforasi usus jika tidak ditangani dengan tepat.
Di dalam tubuh manusia, S. Typhi mampu berkembang biak serta menyebar melalui aliran darah ke berbagai organ, menyebabkan peradangan sistemik.
Endotoksin yang dimilikinya turut berperan dalam menimbulkan gejala-gejala sistemik yang khas (Verliani dkk, 2022).
Demam tifoid memiliki kaitan erat dengan personal hygiene atau kebersihan pribadi yang dimiliki oleh setiap individu, termasuk kalangan remaja.
Personal hygiene mencakup berbagai kebiasaan sehari-hari seperti cuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan kuku, memilih makanan dan minuman yang bersih, serta menggunakan fasilitas sanitasi yang layak.
Masalah dari demam tifoid menyebar dari konsumsi makanan atau minuman terkontaminasi bakteri Salmonella Typhi, maka penting dalam menjaga kebersihan atau kebiasaan yang buruk sangat meningkatkan risiko tertular penyakit ini (Hartanto, 2021).
Remaja sebagai kelompok usia yang mulai mandiri dalam memilih makanan dan melakukan aktivitas sosial di luar rumah, memiliki peran penting dalam menjaga kebersihan pribadinya agar tidak menjadi pintu masuk infeksi.
Remaja lebih mudah terkena demam tifoid karena pada usia ini remaja sedang berada dalam fase transisi menuju kemandirian, di mana pola hidup dan kebiasaan sehari-hari mulai dibentuk, namun belum sepenuhnya disiplin dalam menjaga kebersihan pribadi.
Gaya hidup remaja yang aktif di luar rumah, sering jajan sembarangan tanpa memperhatikan kebersihan makanan atau minuman, serta masih rendahnya kesadaran akan pentingnya mencuci tangan dengan sabun, menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko terpapar bakteri Salmonella Typhi.
Selain itu, sistem kekebalan tubuh remaja yang belum sekuat orang dewasa, ditambah kurangnya edukasi tentang penyakit menular, membuat remaja menjadi kelompok yang rentan terhadap infeksi tifoid (Zuhdi dkk., 2024).
Edukasi kesehatan melalui penerapan PHBS menjadi bentuk dari strategi preventif yang sangat efektif dalam mencegah demam tifoid terutama bagi pada kelompok remaja yang berada dalam masa transisi menuju kemandirian dan memiliki mobilitas tinggi dalam aktivitas sehari-hari.
Remaja sering kali menjadi kelompok yang rentan karena gaya hidup remaja yang cenderung dinamis, cenderung mengonsumsi jajanan di luar rumah, dan masih kurang konsisten dalam menjalankan kebiasaan higienis, seperti mencuci tangan atau memastikan kebersihan makanan (Isfahani & Susilowati, 2024).
Adapun penerapan dari PHBS secara konsisten, risiko penularan demam tifoid dapat ditekan secara signifikan, menciptakan lingkungan yang sehat dan melindungi individu dari penyakit infeksi yang bisa berakibat fatal apabila tidak baik ditangani.
Edukasi ini tidak hanya perlu memberikan informasi mengenai bahaya demam tifoid dan cara penularannya, tetapi juga harus membekali remaja dengan keterampilan praktis dalam menjaga kebersihan diri, serta menanamkan sikap kritis dalam memilih makanan dan minuman yang aman dikonsumsi.
Kampanye kesehatan di sekolah, pelatihan kader kesehatan remaja, integrasi materi PHBS dalam kurikulum, serta pemanfaatan media digital seperti video edukatif dan media sosial merupakan sarana yang dapat digunakan secara efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan ini.
Melalui pendekatan PHBS, remaja diajarkan pentingnya menjaga kebersihan pribadi dan dibimbing untuk mengenali risiko dari makanan dan minuman yang tidak higienis, dan diajak aktif menjaga kebersihan lingkungan.
Edukasi ini dapat disampaikan secara menarik melalui media yang sesuai dengan karakteristik remaja, seperti media sosial, video edukatif, atau kegiatan sekolah berbasis partisipatif.
Peningkatan dari pemahaman dan penerapan pola PHBS, remaja tidak hanya melindungi diri dari demam tifoid, tetapi juga berperan sebagai agen perubahan dalam menciptakan budaya hidup sehat di lingkungan sekitar remaja.
Kesimpulan
Edukasi kesehatan melalui penerapan PHBS memiliki peran yang sangat krusial dalam mencegah demam tifoid pada remaja.
Edukasi ini tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang penyakit tifoid dan cara penularannya, tetapi juga mendorong terbentuknya kesadaran serta perubahan perilaku yang lebih sehat dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Penting untuk membekali remaja keterampilan praktis dalam menjaga kebersihan pribadi seperti mencuci tangan, memilih makanan yang higienis, serta menggunakan fasilitas sanitasi yang layak maka remaja dapat melindungi diri dari risiko infeksi.
Melalui pendekatan yang partisipatif, berkelanjutan, dan sesuai dengan karakteristik usia remaja, edukasi PHBS juga menciptakan agen-agen perubahan yang mampu menyebarkan pola hidup sehat di lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Oleh karena itu, edukasi kesehatan berbasis PHBS tidak hanya menjadi strategi pencegahan yang efektif, tetapi juga investasi jangka panjang dalam membentuk generasi yang lebih sehat, sadar, dan tangguh terhadap ancaman penyakit menular seperti demam tifoid.
Saran
Adapun saran untuk edukasi kesehatan dengan PHBS dapat terus ditingkatkan dan dilaksanakan secara konsisten, khususnya di kalangan remaja melalui pendekatan yang menarik, interaktif, dan relevan dengan gaya hidup mereka.
Sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat harus berperan aktif dalam menyediakan informasi yang tepat dan membimbing remaja untuk menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari.
Program penyuluhan kesehatan, pelatihan kader kesehatan remaja, serta integrasi materi PHBS ke dalam kurikulum pendidikan perlu diperkuat sebagai upaya promotif dan preventif terhadap penyakit menular seperti demam tifoid.
Selain itu, pemanfaatan media sosial dan teknologi informasi sebagai sarana edukasi juga penting dilakukan agar pesan-pesan kesehatan dapat tersampaikan secara luas dan efektif.
Melalui dukungan yang menyeluruh dari berbagai pihak, remaja akan lebih siap dan mampu menjaga kesehatannya serta berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan bebas dari penyakit seperti demam tifoid.
Penulis:
1. Puja Anisa Balqis
2. Mariani
Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Daftar Pustaka
Ari Angga Rianto. (2023). Penerapan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Anestesi, 1(4), 356–362.
Catharina Sagita Moniaga, Jasmine Syabania Noviantri, Giovanno Sebastian Yogie, Yohanes Firmansyah, & Hendsun Hendsun. (2023). Kegiatan Pengabdian Masyarakat dalam Edukasi Penyakit Dislipidemia serta Komplikasinya terhadap Penyakit Kardiovaskular. Jurnal Kabar Masyarakat, 1(2), 20–30. https://doi.org/10.54066/jkb-itb.v1i2.310
Hartanto, D. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran, 48(1), 5. https://doi.org/10.55175/cdk.v48i1.1255
Isfahani, R., & Susilowati, Y. (2024). Eksplorasi Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan Demam Tifoid : Studi Korelasi pada Remaja Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Tangerang. 4(4), 2133–2140.
Verliani, H., Hilmi, I. L., & Salman, S. (2022). Faktor Risiko Kejadian Demam Tifoid di Indonesia 2018–2022: Literature Review. JUKEJ : Jurnal Kesehatan Jompa, 1(2), 144–154. https://doi.org/10.57218/jkj.vol1.iss2.408
Zuhdi, A. T., Kamissy, S., Setyawati, T., & Amri, I. (2024). Demam tifoid pada remaja laki-laki usia 18 tahun. MedPro, 6(2), 143–151.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News