Bayangkan kamu duduk di sebuah café dengan interior cantik lampu neon estetik bertuliskan kata-kata manis, kursi anyaman rotan, bunga-bunga kering bergelantungan, dan dinding berwarna pastel.
Foto yang kamu ambil memang cocok untuk diunggah ke Instagram. Tapi, setelah 20 menit duduk, punggungmu mulai pegal, AC-nya tidak terasa, dan meja mungil itu bahkan tak cukup untuk laptop dan secangkir kopi.
Café ini terasa seperti panggung: memukau dari luar, tapi rapuh di balik layar.
Fenomena café yang “Instagrammable” tapi tidak nyaman ini semakin menjamur di kota-kota besar.
Terutama di kalangan anak muda dan mahasiswa, kehadiran café bukan hanya soal kopi, tapi juga suasana. Sayangnya, banyak pemilik café lebih memprioritaskan tampilan visual untuk media sosial daripada kenyamanan fungsional pengunjung.
Baca juga: Ingin Membuka Coffee Shop? Yuk Berkenalan Dulu dengan Business Model Canvas
Dari Ruang Sosial ke Ruang Visual
Awalnya, café berkembang sebagai ruang ketiga, tempat di luar rumah dan kampus/kantor yang mendukung pertemuan, obrolan, atau kerja santai.
Namun kini, banyak café didesain layaknya galeri foto. Setiap sudutnya disusun untuk difoto, bukan untuk didiami.
Kursi-kursi lucu tapi keras, pencahayaan yang bagus untuk selfie tapi tidak ideal untuk membaca, meja kecil yang indah tapi tidak ergonomis, semua demi “feed” yang menarik.
Tentu, visual yang menarik adalah nilai tambah. Tapi ketika estetika mengalahkan ergonomi dan kenyamanan, yang terjadi adalah ruang palsu.
Café berubah menjadi tempat numpang foto, bukan tempat bertahan lama. Hal ini menciptakan pengalaman ruang yang semu, kita ada di sana, tapi tidak betah berlama-lama.
Baca juga: Suasana Sore di Kafe Terbuka Palagan Yogyakarta: Cocok untuk Mengerjakan Tugas dan Work From Cafe
“Cantik di Feed, Melelahkan di Nyata”
Menariknya, banyak dari kita, termasuk mahasiswa, justru ikut terjebak. Kita datang, memesan minuman overpriced, duduk sebentar, ambil foto, lalu pergi. Kita menjadi bagian dari siklus konsumsi estetika yang mengutamakan tampilan, bukan kenyamanan atau bahkan rasa kopinya.
Desain café seperti ini juga seringkali eksklusif. Misalnya, tidak ramah untuk penyandang disabilitas, tidak punya colokan listrik, atau terlalu sempit untuk diskusi kelompok.
Artinya, desain yang terlalu mementingkan gaya visual juga bisa menciptakan batasan sosial.
Bisa Cantik, Bisa Nyaman
Bukan berarti desain café tidak boleh cantik. Justru desain yang baik seharusnya menyatukan estetika dan fungsi. Café bisa tampil menarik tanpa mengorbankan kenyamanan.
Kursi empuk, pencahayaan alami, sirkulasi udara baik, dan meja yang cukup luas, semua itu bisa diintegrasikan dalam desain yang tetap estetik dan Instagrammable.
Baca juga: Mahasiswa, Pentingnya Self-Reward untuk Hindari Stres!
Mahasiswa sebagai konsumen cerdas seharusnya bisa lebih kritis: Tidak terjebak pada visual semata, tetapi mempertanyakan kenyamanan, keramahan ruang, dan nilai sesungguhnya dari tempat yang kita kunjungi.
Penulis: Cynthia Ernestine
Mahasiswa Jurusan Interior Design & Styling, Petra Christian University
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News