Fenomena Childfree di Kalangan Milenial dan Gen Z: Antara Hak Reproduksi dan Tekanan Sosial

Fenomena Childfree
Ilustrasi Childfree (Sumber: Media Sosial)

Childfree atau keputusan sadar untuk tidak memiliki anak bukan lagi isu pinggiran. Fenomena ini makin banyak dibahas, terutama di kalangan milenial dan Gen Z. Di satu sisi, ini mencerminkan meningkatnya kesadaran individu atas hak dan tanggung jawab terhadap kehidupan pribadi.

Di sisi lain, muncul resistensi dari masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan norma sosial tradisional. Hak reproduksi ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Ini mencakup hak setiap individu baik laki-laki maupun perempuan untuk menentukan apakah ingin memiliki anak atau tidak, tanpa paksaan, tekanan, atau diskriminasi.

Namun kenyataannya, Di Indonesia, konsep childfree masih menghadapi tantangan. keputusan childfree, terutama oleh perempuan, masih kerap dipertanyakan. Tidak jarang muncul stigma seperti “melawan kodrat,” “egois,” atau “tidak berguna.” Tekanan datang dari keluarga, lingkungan, hingga lembaga sosial yang memaksakan pandangan bahwa perempuan ideal adalah yang menikah dan memiliki anak.

Kajian dari WHO, UNICEF, dan BKKBN menyebutkan bahwa pemenuhan hak reproduksi harus berbasis pada kebebasan memilih, tanggung jawab pribadi, dan akses layanan kesehatan yang adil dan inklusif. Ini termasuk memberikan ruang aman bagi mereka yang memutuskan untuk tidak punya anak.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Mendalami Fenomena Childfree: Gaya Hidup atau Pemberontakan terhadap Tradisi di Indonesia?

Dalam konteks ini, pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting. Pemahaman tentang hak atas tubuh, kesehatan mental, dan peran keluarga yang beragam perlu ditanamkan sejak remaja. Dengan begitu, generasi muda bisa membuat keputusan reproduksi secara sadar, bertanggung jawab, dan bermartabat.

Fenomena childfree bukanlah tanda kemerosotan moral. Ini adalah ekspresi dari kesadaran dan otonomi individu atas tubuh dan masa depannya. Masyarakat perlu mulai menggeser cara pandang dari menghakimi pilihan hidup menjadi menghargai keberagaman keputusan.

Sudah saatnya kita membangun ruang publik yang lebih inklusif, di mana setiap orang baik yang memilih memiliki anak maupun tidak bisa hidup tanpa stigma dan tekanan. Karena menghargai hak reproduksi adalah menghargai martabat manusia itu sendiri.

Pada akhirnya, keputusan menjadi childfree bukanlah soal tren gaya hidup semata, melainkan hasil dari perenungan panjang akan masa depan, relasi, dan tanggung jawab. Generasi muda kini tidak sekadar ingin menjalani hidup, tetapi juga memaknainya dengan kesadaran penuh.

Dalam dunia yang kian kompleks dengan tantangan ekonomi, krisis iklim, dan beban mental keputusan untuk tidak memiliki anak justru bisa lahir dari empati, bukan egoisme.

Sudah waktunya kita berhenti bertanya, “Kenapa kamu tidak mau punya anak?” dan mulai bertanya, “Apa yang bisa kita perbaiki agar setiap pilihan hidup dapat dijalani dengan tenang dan tanpa penghakiman?” Karena pada akhirnya, keberagaman cara membangun kehidupan baik dengan atau tanpa anak adalah bagian dari dinamika masyarakat yang sehat, dewasa, dan manusiawi.

 

Penulis: Muthia Rahmadhani
Mahasiswa Magister Sains Agribisnis, Institut Pertanian Bogor

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses