Midnight sale atau diskon besar-besaran yang digelar saat tengah malam bukan lagi hal asing di era digital. Promo yang dimulai tepat pukul 00.00 ini sering kali memicu perilaku belanja impulsif, terutama di kalangan Gen Z.
Tanpa sadar, banyak dari kita yang “terpancing” untuk segera checkout barang, padahal sebelumnya tidak merencanakan untuk membeli. Fenomena ini menarik untuk dikaji, terutama dari sisi psikologi dan sosial.
Menurut survei Populix (2023), masyarakat Indonesia cenderung mengakses aplikasi belanja di malam hari, dan midnight sale menjadi momen favorit. Berbagai e-commerce seperti Shopee dan TikTok Shop berlomba-lomba menarik perhatian konsumen dengan tampilan visual menarik, promo besar, gratis ongkir, hingga notifikasi yang terus muncul. Dalam situasi ini, dorongan belanja impulsif sangat mudah muncul.
Hasil Survei: Gen Z Rentan Terjebak Impulsive Buying
Dalam survei yang peneliti lakukan terhadap 80 responden Gen Z berusia 13 hingga 28 tahun, sebanyak 78% responden pernah melakukan impulsive buying saat midnight sale. Alasan utamanya adalah diskon besar-besaran yang terasa “sayang untuk dilewatkan”. Platform yang paling sering digunakan adalah Shopee dan TikTok Shop.
Menariknya, 64% responden mengaku menyesal setelah melakukan pembelian impulsif. Penyesalan ini muncul karena barang yang dibeli ternyata tidak terlalu dibutuhkan, atau saldo e-wallet yang menipis setelah belanja.
Kenapa Gen Z Mudah Tergoda Midnight Sale?
Ada beberapa faktor psikologis yang menyebabkan Gen Z rentan terhadap impulsive buying saat midnight sale:
1. FOMO (Fear of Missing Out)
Promo midnight sale biasanya berlangsung dalam waktu terbatas. Kata-kata seperti “diskon hanya sampai jam 02.00″ menciptakan tekanan psikologis FOMO. Menurut Przybylski et al. (2013), FOMO memicu kecemasan jika tidak mengikuti apa yang dilakukan orang lain, termasuk dalam hal belanja.
2. Pengaruh Media Sosial & Influencer
Media sosial penuh dengan konten unboxing, review, dan live shopping yang mendorong impulsive buying. Penelitian Liu et al. (2020) menunjukkan bahwa media sosial memicu belanja impulsif, terutama karena visual yang menarik dan kemudahan belanja langsung lewat aplikasi.
Baca juga: TikTok Shop: Surga Diskon atau Pemicu Belanja Impulsif?
3. Regulasi Diri yang Lemah di Malam Hari
Menurut penelitian Verplanken & Herabadi (2001), impulsive buying sering terjadi saat seseorang gagal mengendalikan emosi untuk kepuasan sesaat. Midnight sale biasanya menyasar waktu malam, saat regulasi diri melemah karena kelelahan atau stres setelah aktivitas seharian.
4. Aktualisasi Diri dan Identitas Sosial
Bagi sebagian Gen Z, belanja bukan hanya untuk kebutuhan, tapi juga demi eksistensi diri. Maslow (1943) menyatakan, aktualisasi diri menjadi salah satu motivasi dalam berperilaku konsumtif, apalagi untuk barang-barang tren.
5. Kemudahan Transaksi Digital
Fasilitas seperti e-wallet, paylater, dan cicilan tanpa kartu kredit mendorong Gen Z untuk belanja tanpa pertimbangan matang. Verma & Singh (2020) mencatat bahwa kemudahan ini memperbesar peluang belanja impulsif, khususnya di kalangan digital native.
Dampak Impulsive Buying bagi Gen Z
Meski memberikan kepuasan sesaat, perilaku belanja impulsif bisa berdampak negatif:
1. Masalah Keuangan
Penggunaan paylater dan e-wallet tanpa perencanaan dapat memicu utang atau masalah keuangan jangka panjang.
2. Stres dan Penyesalan
Seperti terlihat dalam survei, sebagian besar responden mengalami penyesalan setelah belanja impulsif. Darrat et al. (2016) menunjukkan bahwa penyesalan ini dapat memicu stres, kecemasan, bahkan penurunan kepuasan hidup.
3. Kecanduan Belanja
Kesenangan saat berbelanja bisa menjadi candu. Jika tak terkendali, ini berisiko berkembang menjadi shopping addiction yang sulit diatasi.
Refleksi Psikologis: Saatnya Lebih Sadar saat Belanja
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk mencegah impulsive buying:
- Buat daftar belanja sebelum midnight sale.
- Batasi saldo e-wallet sesuai kebutuhan.
- Beri jeda waktu sebelum checkout, misalnya tunggu 24 jam.
- Evaluasi apakah barang yang ingin dibeli benar-benar dibutuhkan atau sekadar ikut-ikutan.
Midnight sale seharusnya menjadi ajang belanja yang bijak, bukan jebakan konsumsi impulsif. Gen Z perlu belajar mengenali motif belanja mereka: apakah karena kebutuhan, atau hanya dorongan sesaat?
Penutup
Fenomena midnight sale di era digital memang menggoda, tetapi penting bagi Gen Z untuk menyadari dampak perilaku impulsive buying. Kontrol diri adalah kunci utama agar tidak menyesal di kemudian hari. Dengan meningkatkan literasi finansial dan kesadaran psikologis, Gen Z bisa menjadi generasi yang tak hanya cakap teknologi, tapi juga cerdas, bijak, dan sadar dalam mengambil keputusan belanja.
Penulis:
- Fatimah Awliya Salsabila
- Nayla Savira Azahra Setiawan
- Padhliyah Farihatunnisa
Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Referensi:
- Przybylski, A. K., et al. (2013). “Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out.” Computers in Human Behavior.
- Maslow, A. H. (1943). “A theory of human motivation.” Psychological Review.
- Verma, S., & Singh, R. (2020). “Does online shopping promote impulsive buying? Empirical evidence from India.” International Journal of Consumer Studies.
- Darrat, A. A., et al. (2016). “The role of regret in consumer impulsive buying behavior.” Journal of Retailing and Consumer Services.
- (2023). Tren Belanja Online Masyarakat Indonesia: Gen Z Masih Jadi Penguasa E-Commerce.
- Verplanken, B., & Herabadi, A. (2001). Individual differences in impulse buying tendency: Feeling and no thinking. European Journal of Personality.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News