Melakukan aktivitas fisik dengan membiarkan tubuh bergerak secara aktif dapat memberikan dampak positif bagi diri sendiri seperti tubuh yang sehat serta dapat menghindari berbagai macam penyakit kronis. Akan tetapi tidak selamanya aktivitas fisik mampu memberikan dampak yang positif bagi kesehatan.
Dengan adanya kemajuan teknologi pada era globalisasi saat ini sangat berkembang pesat dan membawa dampak besar terhadap gaya hidup manusia. Salah satunya adalah semakin banyaknya penggunaan komputer atau laptop di kalangan anak sekolah, mahasiswa, maupun pekerja.
Kebanyakan pengguna komputer tidak memperhatikan ergonomi yang baik saat menggunakan komputer, jika itu berlangsung lama dan terus menerus akan terjadi ketegangan pada otot disekitar leher dan bahu sehingga akan menimbulkan nyeri.
Penggunaan otot berulang-ulang, membuat otot menerima beban terus menerus yang menyebabkan kontraksi berkelanjutan sehingga terjadi stres mekanik pada jaringan miofasial.
Baca juga: Penanganan Nyeri Leher dalam Fisioterapi
Stres mekanik mengakibatkan kerusakan jaringan miofasial sehingga tubuh mengeluarkan bradikinin, serotonin, histamin, dan prostaglandin sebagai respon adanya kerusakan yang dikirim ke lokasi cedera selama peradangan, dan keadaan ini akan merangsang ujung-ujung saraf tepi nosiseptor yang menimbulkan rasa nyeri.
Kontraksi otot yang terus menerus juga mengakibatkan jaringan mengalami iskemia, akibatnya jaringan akan kekurangan nutrisi dan oksigen sehingga sampah metabolik dari kontraksi otot yang berkepanjangan tidak dapat diserap kembali.
Sampah metabolik yang tidak terserap setelah kerusakan akan membentuk trigger point dan menyebabkan ketegangan serta kekakuan otot . Trigger point merupakan gumpalan keras yang berukuran kecil di bawah kulit, teraba ketika dipalpasi dan menyebabkan nyeri lokal atau menjalar jika ditekan (Atmadja, 2016).
Penyakit ini bisa disebut juga dengan Myofascial Trigger Point atau Myofascial Pain Syndrome.
Faktor Resiko yang dapat menyebabkan Myofascial Trigger Point :
- Usia.
Prevalensi usia yang dapat mengalami resiko terjadinya myofascial pain syndrome adalah antara 27-50 tahun (Zain, 2017).
- Jenis kelamin.
- IMT (Indeks Masa Tubuh).
- Postur tubuh yang buruk.
- Kurangnya olahraga.
- Membawa ransel dengan kapasitas yang berat.
- Melakukan aktifitas yang berat.
- Kebiasaan Merokok.
- Trauma.
Trauma yang bersifat makro (luka memar, keseleo, penegangan) dapat menyebabkan timbulnya nyeri miofasial secara akut, sedangkan trauma yang bersifat mikro seperti penggunaan otot secara berlebih.
- Paparan getaran.
- Tekanan yang berlebih.
- Paparan suhu yang terlalu dingin atau panas dapat mengganggu perederan darah sehingga dapat menimbulkan nyeri.
Baca juga: Latihan yang Baik untuk Pengidap Penyakit Tortikolis pada Bayi
Komplikasi Myofascial Trigger Point
Jika tidak ditangani dengan benar, myofascial trigger point bisa menyebabkan komplikasi berupa:
- Tidak bisa melakukan aktivitas fisik secara leluasa
- Tidak bisa terlalu lama duduk atau pun berdiri
- Depresi
- Sulit tidur karena nyeri
- Fibromyalgia
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penangangan secara manual, peningkatan gerak, perlatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi (Indonesia. PERMENKES NO.80 2013). Untuk mengembalikan fungsi gerak pada otot leher dan bahu, serta menghilangkan sakit kepala dapat ditangani oleh fisioterapi.
Beberapa penatalaksanaan Fisioterapi dalam Manajemen nyeri pada kasus Myofascial Trigger Point :
1. Terapi menggunakan alat modalitas
– Extracorporeal ShockWave Therapy (ESWT), menggunakan gelombang kejut bertujuan mengurangi nyeri dengan mengubah konsentrasi substansi nyeri, mengurangi kekakuan otot, dan meningkatkan sirkulasi pembuluh darah di area nyeri.
– TENS yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dengan menggunakan energi listrik yang sudah dimodifikasi untuk merangsang sistem saraf.
– US ( Ultrasound ) bertujuan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan sirkulasi darah.
2. Terapi mobilisasi / manupilativ dengan Massage atau pijatan.
3. Dry Needling
Teknik yang menggunakan jarum filiform tipis untuk menembus kulit dan merangsang titik-titik yang mendasari myofascial trigger, otot, dan jaringan ikat untuk pengelolaan nyeri dan gangguan gerakan neuromusculoskeletal.
Baca juga: Efektifitas Abdominal Stretching Exercise Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Dismenore
Dry needling (DN) adalah teknik yang digunakan untuk mengobati disfungsi dalam otot rangka, fasia, dan jaringan ikat, dan mengurangi rangsangan nociceptive, dan mengurangi atau mengembalikan gangguan struktur tubuh dan fungsi yang menyebabkan peningkatan aktivitas dan partisipasi.
– Terapi Latihan atau Exercise
– Kinesiotapping
Cara mencegah myofascial Trigger Point yang bisa dilakukan meliputi:
- Kurangi stres.
- Rajin olahraga.
- Lakukan teknik relaksasi atau exercise yang sudah diberikan oleh therapist.
- Konsumsi makanan sehat.
- Pilih bangku yang nyaman dan baik untuk postur tubuh.
- Sesuaikan posisi ketinggian computer dari pandangan anda.
- Pilih tempat tidur dan bantal yang nyaman & baik untuk postur tubuh.
- Hindari cedera otot, misalnya dengan tidak membawa tas yang terlalu berat karena bisa menekan otot-otot di bahu.
- Dikompres dengan air dingin saat teraba hangat dan area titik nyeri dirasa panas. Sedangkan kompres hangat saat terasa pegal- pegal.
- Mandi air hangat setelah melakukan aktifitas.
Penulis: Syifa Afiqa Abdullah
Mahasiswa Program Studi Fisioterapi Universitas Binawan