Hukum Menikahi Wanita yang Hamil di Luar Nikah

Hukum Menikahi Wanita yang Hamil

Perilaku seks bebas dan perzinahan telah menjadi hal lumrah bagi masyarakat pada zaman sekarang. Akibat dari hal tersebut adalah melonjaknya angka pernikahan dini yang disebabkan oleh kejadian hamil di luar nikah.

Hamil di luar nikah merupakan perbuatan tercela, hubungan seks yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa muhrim atau ikatan pernikahan disebut zina, dan zina hukumnya haram di dalam agama islam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.s. al-Isra: 32).

Bacaan Lainnya

Fenomena tersebut melahirkan trend baru yaitu, Married by Accident (MBA) atau pernikahan yang dilakukan ketika seorang wanita sudah berada didalam masa kehamilan.

Tentu hal ini menjadi perbedabatan diantara kalangan ulama’. Kasus hamil di luar nikah terjadi disebabkan banyak faktor, baik internal atau eksternal.

Faktor internal berkaitan dengan kondisi psikis pelaku dan hubungannya dengan masalah keimanan yang bersangkutan. Sedangkan faktor eksternal, baik menyangkut ilmu pengetahuan teknologi dan era keterbukaan informasi serta akses internet yang sudah tidak bisa dibendung lagi.

Masyarakat banyak yang mengira bahwa pernikahan merupakan solusi dari kasus hamil diluar nikah dan cara paling tepat untuk menutupi aib kedua belah keluarga yang terlibat tanpa memikirkan konsekuensi yang ada dari pernikahan yang dilakukan.

Di Indonesia ada beberapa perbedaan pendapat yang perlu kita ketahui. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 menyatakan bahwa “Wanita hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.”

Ulama’ Hanafiyyah juga menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan dalam keadaan sang mempelai wanitanya hamil adalah SAH apabila yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi.

Sedangkan Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa pernikahannya SAH baik dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun orang lain, Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi.

Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.

Sedangkan Ulama’ Malikiyyah, Hanabillah, dan mayoritas ulama’ lainnya berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi 2 syarat berikut: Pertama, telah habis masa iddahnya.

Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina.

Lalu dengan perbedaan pendapat yang demkian muncul pertanyaan, APAKAH AKAD NKAHNYA SAH ATAU TIDAK? Pendapat terkuat perihal menikahi seorang Wanita yang sedang hamil adalah tidak sah.

Allah berfirman dalam At-Thalaq ayat 4 yang artinya: “ Dan wanita-wanita yang hamil, masa ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Sedangkan menikahi wanita yang sedang dalam masa ‘iddah adalah haram hukumnya.

Selain itu menikahi wanita hamul juga akan menyebabkan ketidakjelasan nasab anak yang dikandung oleh wanita tersebut. Agar akadnya sah,selain bertaubat, ia harus membuktikan kosongnya rahim dengan menunggu datangnya haid 1 kali. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak akan sah.

Menyikapi banyaknya perbedaan-perbedaan dikalangan ulama’ mengenai hukum kawin hamil, terdapat beberapa solusi mengenai kaidah-kaidah dalam islam yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, diantaranya:

دفع المفاسد مقدم عل جلب المصالح

Artinya: Menghindar dari dampak negatif lebih diutamakan dari mengambil dampak positif.

Melihat dampak negatifnya yang begitu besar daripada manfaatnya, maka dalam hal ini memperhatikan dampak negatif harus didaulukan dari pada dampak positifnya. Artinya menikahkan memberikan dampak negatif yang banyak, karenanya jangan dinikahkan.

الخروج من الخلاف مستحب

Artinya: Keluar dari perbedaan pendapat adalah dianjurkan.

Menengok banyaknya perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ maka dari  itu keluar dari permasalahan yang diperdebatkan ke permasalahan yang tidak diperselisihkan adalah dianjurkan.

Yaitu meninggalkan perkara yang dipedebatkat (menikahi saat hami) kepada perkarayang sepakat (menikahi setelah melahirkan) adalah lebih baik.

Lalu bagaimana jika sudah terlanjur menikah sebelum mengetahui hukumnya? Maka yang harus dilakukan adalah memperbaharui akad nikah sebab apa yang telah dilakukan termasuk masalah yang diperdebatkan oleh para ulama’. Wallahu ‘alam bisshawab.

Penulis:

1. Riqza Nur Aini
Mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Referensi:

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munkahat, (Jakarta: Perdana Media Group, Kencana, 2008) Halaman 124

Memed Hamaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) Halaman 37

Nenan Julir, “MBA (Married by Accident) DALAM TINJAUAN USHUL FIQH”, jurnal Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses