Iman dalam Era Artificial Intelligence Menurut Perspektif Ulama Peradaban: Apakah Sains Masih Butuh Tuhan?

Iman dalam Era Artificial Intelligence Menurut Perspektif Ulama Peradaban: Apakah Sains Masih Butuh Tuhan?
Sumber: freepik.com

Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah membawa umat manusia pada babak baru dalam peradaban.

Kini, hal-hal yang dulu hanya ada dalam imajinasi manusia telah menjadi kenyataan seperti mesin yang dapat berpikir, berbicara, bahkan mengambil keputusan secara mandiri.

Di tengah perkembangan sains yang semakin maju, muncul pertanyaan mendasar: Apakah peran Tuhan dan agama masih relevan dalam dunia yang didominasi oleh logika, algoritma, dan data?

Hal ini memunculkan pandangan bahwa iman dan sains bukanlah dua kubu yang saling bertengkar, melainkan dua kekuatan yang dapat saling menguatkan dalam membentuk arah hidup manusia modern.

Bacaan Lainnya

Antara Sains dan AI

Kecerdasan buatan sebagaimana yang sering kita saksikan saat ini mampu mengungguli manusia dalam berbagai bidang seperti dari kedokteran, industri, hingga seni.

Namun, di balik kehebatannya, AI tetaplah sebuah sistem yang dibangun oleh manusia dan terbatas pada logika dan pemrosesan data saja.

Ia tidak mengenal makna cinta, harapan, atau nilai moral kecuali sejauh mana manusia memasukkannya ke dalam sistem.

Baca Juga: Sains Tanpa Agama seperti Kapal Tanpa Nahkoda?

Dalam konteks ini, AI menunjukkan betapa sains mampu menjawab “bagaimana”, tetapi tetap belum mampu menjawab secara utuh “mengapa”.

Ada ruang yang tidak bisa dijangkau oleh teknologi yaitu dimensi makna.

Ketika manusia bertanya tentang tujuan hidup, keadilan, atau makna penderitaan, jawaban sains akan terhalang oleh keterbatasannya.

Di sinilah agama dan keimanan hadir, bukan sebagai lawan dari sains tetapi sebagai penuntun moral dan etika dalam mengarahkan penggunaan ilmu.

Menurut Imam Al-Ghazali, akal memiliki keterbatasan dan tidak boleh dilepaskan dari bimbingan wahyu karena tanpa itu akal dapat menyesatkan.

Pandangan ini menegaskan bahwa dalam dunia yang didominasi oleh kecanggihan masih dibutuhkan cahaya ilahiah sebagai pemandu arah.

Baca Juga: Perkembangan Teknologi Kecerdasan Buatan di Tahun 2025

Iman Sebagai Etika dalam Dunia Teknologi

Tanpa keimanan dan nilai spiritual, teknologi dapat menjelma menjadi senjata yang menakutkan.

Sejarah telah mencatat bagaimana ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi akhlak melahirkan malapetaka, seperti bom atom, eksperimen manusia, dan eksploitasi alam.

Dalam konteks AI, ancaman serupa bisa muncul, seperti manipulasi data, penghilangan privasi, bahkan hilangnya rasa kemanusiaan dalam pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, iman menjadi fondasi penting yang menjaga agar sains tidak liar tanpa arah.

Misalnya Islam, ia tidak menolak ilmu. Bahkan, Al-Qur’an berkali-kali menyerukan pentingnya berpikir, membaca, dan menjelajah alam semesta.

Namun, semua itu diarahkan untuk mengenal dan mendekat kepada Allah.

Artinya, ilmu dalam Islam bukanlah alat untuk melawan Tuhan, tetapi sebagai jembatan untuk semakin memahami kebesaran-Nya.

Baca Juga: Gen Z, Islam, dan Perkembangan Teknologi

Dalam era AI, pemahaman seperti itu bisa menjadi sangat penting, harus ditanamkan mindset bahwa kita bukan hanya butuh teknologi yang canggih, tetapi juga manusia yang bijak dalam menggunakannya.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan bahwa krisis utama zaman modern bukanlah pada kekurangan teknologi, tetapi pada hilangnya adab.

Ini berarti kemajuan teknologi tanpa nilai akan menciptakan kehampaan.

Sedangkan menurut Syekh Yusuf al-Qaradawi, ilmu pengetahuan hanyalah alat yang harus disertai kesadaran moral agar tidak menjadi bumerang bagi manusia sendiri.

Apakah Sains Masih Butuh Tuhan?

Kemudian dengan segala kehebatan dan kemajuannya, apakah sains masih butuh tuhan? Ya, sains masih butuh Tuhan.

Bukan karena Tuhan tidak bisa digantikan, tetapi karena sains sendiri tidak pernah berniat menggantikan peran Tuhan.

Sains adalah alat sedangkan Tuhan adalah tujuan.

AI dapat menganalisis perasaan manusia, tetapi hanya iman yang mampu membimbing manusia dalam menentukan mana yang benar dan salah, adil atau zalim, mulia atau nista.

Baca Juga: Membangun Harmoni antara Sains dan Agama di Era Modern

Tuhan dibutuhkan bukan untuk mengisi celah-celah yang belum bisa dijelaskan oleh sains, tetapi sebagai sumber yang menjaga agar sains tidak kehilangan arah.

Iman bukan pelarian dari ketidaktahuan, melainkan pengakuan bahwa pengetahuan kita terbatas, dan bahwa di atas segala ilmu ada hikmah ilahiah yang tidak terjangkau akal semata.

Ibnu Sina, seorang filsuf Muslim menyatakan bahwa “ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.”

Kutipan ini menggambarkan pentingnya keseimbangan antara spiritualitas dan pengetahuan.

Era Artificial Intelligence bukanlah akhir dari agama atau iman, melainkan tantangan baru untuk menegaskan kembali peran spiritualitas dalam kehidupan manusia.

Sains memberi kita alat untuk membangun dunia, tetapi hanya iman yang bisa memberi kita alasan untuk menjaga dan memanusiakannya.

Baca Juga: Ramadan dan Ekspresi Beragama Muslim Indonesia

Di tengah dunia yang kian cerdas secara teknologi, semoga kita tidak kehilangan kedalaman hati dan arah ruhani.

Karena pada akhirnya, secanggih apapun mesin, hanya manusia yang bisa berdoa.

 

Penulis: Nadia Risqi Sabita
Mahasiswa Prodi Tadris Matematika, Universitas Islam Negeri K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses