Islam dan Negara: Kegamangan Pemerintahan Era Jokowi dalam Menjaga Dinamisasi Kehidupan Politik di Indonesia

Berbagai persoalan dan problematika yang muncul pada bangsa hari ini bagaikan bola salju kecil yang mengggelinding dan menjadi sebuah bola salju yang lebih besar, kemudian siap menghantam apapun yang berada di bawahnya. Problematika yang terjadi seakan akan mengalami pasang surut dalam sejumlah penyikapan-penyikapan yang tidak dapat diselesaikan secara baik dalam realitas kondisi sosial yang terjadi.

Kegamangan dan ketidaktegasan pemerintah dalam penanganannya secara cekatan menimbulkan suatu gesekan-gesekan bola panas dan tindakan subversif dan agitatif dari kelompok-kelompok anti pemerintah.

Eksistensi rezim pemerintah yang kekuasaannya lebih condong kepada sikap otoritarian dinilai tak mampu memberikan kesan yang positif dalam keberlangsungan hidup masyarakat bangsa Indonesia. Yang kemudian framing pemerintah menganggap bentuk kritikan yang dilontarkan oleh sejumlah kelompok masyarakat politik dinilai tak pantas dan seakan-akan mengkultuskan sebagai kelompok anti pemerintah.

Seperti halnya yang terjadi hari ini antara umat Islam dengan pemerintah yang sama-sama saling memandang curiga dalam kehidupan aktivitas politik, bahwa sedari dulu hubungan politik antara Islam dan negara diwarnai oleh sejumlah ketegangan-ketegangan yang tajam dan berefek pada permusuhan. Itu semua karena posisi Islam di Indonesia yang lebih menonjol karena kedudukannya sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Dan kenyataan inilah yang membuat bahwa umat Islam seringkali menjadi sasaran tembak ketidakpercayaan pemerintah, karena dicurigai menentang ideologi negara Pancasila. Bahwa pemerintah tengah  melakukan manuver untuk merontokkan  signifikansi politik Islam dan pada saat  yang sama pula mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang  sekuler. Hubungan politik antara Islam dan pemerintah di Indonesia pada babakan sejarahnya adalah layaknya kisah antagonisme dan kecurigaan satu sama lain yang disebabkan disebabkan oleh ketidakmampuan elit politik nasional  dalam menegosiasikan dan mendamaikan perbedaan-perbedaan pandangan,  seakan-akan Islam dan nasionalisme  merupakan entitas-entitas yang saling  menegasikan satu sama lain.

Dengan demikian tidak keliru jika dikatakan bahwa akomodasi parsial  tampaknya merupakan pilihan yang tepat untuk diambil agar hubungan antara umat Islam dan pemerintah dapat menjadi lebih baik. Bahwa  sesungguhnya negara Indonesia bukanlah negara teokratis maupun negara sekuler yang hanya memperlihatkan pentingnya kewajiban negara untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Muslim. Alm. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengutarakan bahwa “Nilai-nilai keindonesiaan kita adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau”. Nilai yang menampilkan kosmopolitanisme atau menjadi bagian dari warga dunia untuk bisa hidup damai dan rukun yang berimplikasi pada solidaritas sosial dan kesediaan untuk mencoba gagasan-gagasan pengaturan masyarakat yang berlingkup luas.

Ini harus menjadi sebuah diskursus pemikiran bersama bahwa semua unsur-unsur elit politik pemerintahan di era Presiden Joko Widodo seharusnya mampu mengatasi dan menangani secara komprehensif dengan sikap dan pendekatan yang mengakomodatif kepada seluruh aktivitas kehidupan masyarakat termasuk umat Islam demi terjaganya dinamisasi kehidupan politik di Indonesia. Bahwa arah pengembangan sebuah kehidupan politik yang dinamis haruslah diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan yang dianggap jauh lebih sempurna dan baik, baik dari segi ekonomi, politik, dan agama sekalipun, tentunya bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

MUHAMMAD SUHUD FADIL, S.Pd.

Wakil Sekretaris Umum Pembinaan Anggota Badko HMI Jawa Barat

 

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.