Korupsi merupakan salah satu penyakit akut di setiap negara, terutama di negara berkembang. Indonesia menjadi salah satu negara yang berkembang yang memiliki permasalahan korupsi cukup tinggi. Menurut laporan CNN Indonesia dari Transparency International Indonesia (TII), peringkat korupsi Indonesia tahun 2020 berada di angka 102 dari 180 negara.
Transparency International Indonesia (TII) merupakan alah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, skor indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Dengan hal ini dapat artikan bahwa Indonesia berada pada masalah Korupsi yang cukup parah.
Baca Juga: Meningkatkan Independensi KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Sejarah Korupsi
Sejarah terjadinya korupsi di Indonesia terjadi bahkan sejak zaman kerajaan, zaman Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan rezim Orde Baru dan Orde Reformasi. Beberapa ahli menyatakan korupsi mulai terjadi pada masa kerajaan dimana pada saat itu masih banyak rakyat yang buta huruf dan tidak berpendidikan. Hal ini dapat dimanfaatkan penguasa setempat untuk membodohi rakyatnya demi kepuasan duniawinya dengan meninggikan pajaknya.
Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda tepatnya saat berdirinya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang merupakan serikat dagang yang dibentuk oleh Belanda untuk memonopoli perdagangan di Asia. Alasan VOC tidak berjalan lagi setelah 200 tahun berjalan dari tahun 1602 – 1798 M dikarenakan banyak penguasa melakukan penggelapan dana dan akhirnya bangkrut.
Pemerintahan rezim Orde Baru yang tidak demokratis dan militerisme menumbuhsuburkan korupsi di semua aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara Negara sudah terjangkit “virus korupsi” yang sangat ganas.
Baca Juga: Ada Korupsi di Tengah Pandemi, Sangat Mengiris Hati!
Masyarakat yang telah kebal dengan pemberitaan tentang korupsi di Indonesia menjadikannya sebagai hal yang lumrah. Mereka seakan akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkan meskipun mengeluarkan uang yang sangat banyak. Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela serta menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berjalan dengan baik.
Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerja sama dan persaudaraan yang tulus. Bahkan para pakar sosial menunjukkan bahwa korupsi sangat berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.
Contoh-Contoh Korupsi
Banyak hal yang mungkin orang lain menyepelekan tetapi itu merupakan bibit tindakan korupsi. Pada masa sekolah banyak anak yang secara terang-terangan menyontek pekerjaan orang lain ataupun malah berani membuka catatannya saat ujian. Tidak jarang mereka malah menyusun strategi menyontek agar tidak diketahui oleh pengawas. Hal seperti ini jika dilakukan terus menerus akan menghilangkan sifat jujur dan percaya diri terhadap anak. Selain itu, hal ini dapat membangun main set anak untuk tidak berusaha dengan sungguh – sungguh untuk memperoleh sesuatu. Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.
Contoh lain yang beredar dimasyarakat adalah pungli atau pungutan liar atau bisa disebut calo. Tidak jarang untuk mengurus berbagai administrasi seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), ataupun Kartu Keluarga masyarakat mengandalkan calo. Alasannya untuk mempersingkat waktu dan menghindari antre yang cukup panjang. Biaya operasionalnya juga terbilang mahal untuk satu kartu saja.
Untuk biaya pembuatan SIM yang sesuai prosedur dari pemerintah hanya berkisar antara seratus hingga dua ratusan ribu saja, sedangkan dengan bantuan calo dapat mengeluarkan berlipat dari harga normal. Lebih mirisnya lagi pemberi jasa calo adalah salah satu pegawai pemerintahan tersebut. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan visi dan misi sebagai pegawai pemerintahan.
Baca Juga: Kondisi Indonesia saat ini, Demokrasi atau “Money-Krasi”?
Solusi untuk Korupsi
Melihat korupsi yang ‘masif’ dan daya rusaknya, maka sudah selayaknya seluruh komponen bangsa untuk memerangi korupsi dan mencegahnya supaya tidak membudaya di Indonesia. Artinya korupsi tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Perilaku korupsi bisa saja dianggap perbuatan yang wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak membangun sikap anti korupsi. Oleh sebab itu pencegahan dan pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.
Peran masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Yang pertama strategi preventif, dimana masyarakat berperan aktif dalam pencegahan terjadinya perilaku koruptif, misalnya dengan tegas menolak permintaan pungutan liar atau memakai jasa calo dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan aturan. Yang kedua strategi detektif, masyarakat diharapkan aktif melakukan pengawasan sehingga dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini mungkin. Selanjutnya yang terakhir adalah strategi advokasi, yaitu masyarakat aktif melaporkan tindakan korupsi kepada intrusi penegak hukum dan mengawasi proses penanganan perkara korupsi.
Arni Farida Zahro
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Diana Pratiwi