Di tengah maraknya industri halal yang membanjiri pasar global, pernahkah kita bertanya, apakah industri halal benar-benar menjadi cerminan nilai-nilai Islam, atau justru telah terjebak dalam logika kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan?
Pengertian dari industri halal sendiri dipahami sebagai suatu aktivitas memproduksi barang dan jasa dengan menggunakan peralatan yang sah menurut hukum Islam.
Fungsi dan tujuan industri halal tertuang dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 mengenai jaminan produk halal.
Seluruh tujuan yang hendak dicapai dalam memajukan industri halal harus selalu berpijak pada nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran, hadits, maupun sumber hukum Islam lainnya (Jauhari, 2024).
Industri halal sudah merajalela di berbagai belahan dunia, khususnya di negara dengan penduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia.
Di Indonesia sendiri industri halal mengalami perkembangan yang pesat selama beberapa tahun terakhir dan telah menjadi salah satu sektor strategis perekonomian nasional.
Baca Juga: Mengenal Pangan Aman, Sehat, dan Halal untuk Meninjau Keamanan Produk Pelaku UMKM
Tak heran, kesuksesan pertumbuhan industri halal didorong oleh beberapa faktor, antara lain yaitu jumlah faktor jumlah populasi muslim yang besar dan meningkatnya kesadaran menjadikan Islam sebagai way of life (Minarni, 2024).
Dari perspektif sejarah perkembangan ekonomi Islam, industri halal tercipta dari kebutuhan umat muslim untuk menjalani kehidupan ekonomi sesuai syariah Islam di tengah sistem kapitalistik global yang sekuler.
Namun, dibalik pertumbuhan ekonomi yang melesat pada industri ini, ironi muncul saat perusahaan yang mengusung label syariah ternyata masih terdapat eksploitasi tenaga kerja dalam rantai produksinya.
Eksploitasi tenaga kerja yang dimaksud dapat berupa praktik kerja paksa, jam kerja yang berlebihan, serta upah yang tidak layak.
Dalam Islam, prinsip keadilan (adl) dan kasih sayang (rahmah) merupakan fondasi penting dalam menjalani hubungan sosial dan ekonomi (muamalah), termasuk dalam perlakuan terhadap pekerja (Tirtayasa, 2025).
Dengan demikian, penting untuk mengintegrasikan antara nilai-nilai etika islam dan praktik bisnis yang adil dan bertanggung jawab.
Berbicara mengenai etika bisnis Islam, terdapat enam tahapan untuk menerapkan etika bisnis Islam, yaitu niat ikhlas mengharapkan ridha Allah SWT., expert, jujur dan dapat dipercaya, mengutamakan etika, menjunjung tinggi syariah Islam, dan persaudaraan Islam.
Etika bisnis Islam menjadi pedoman bagi individu maupun kelompok dalam melakukan kegiatan usaha tertentu dengan tujuan mencari keuntungan berlandaskan hukum Islam.
Kondisi yang menimpa buruh di industri halal juga tidak dapat dilepaskan dari lemahnya pengawasan terhadap penerapan etika bisnis Islam secara komprehensif.
Situasi dalam industri halal ini juga mencerminkan adanya kesenjangan pemahaman terhadap konsep menyeluruh dari halal dan thayyib.
Banyak orang yang hanya berfokus pada aspek kebersihan serta kehalalan barang saja, padahal seharusnya dapat mencakup tanggung jawab sosial, keadilan ekonomi, serta kepedulian terhadap lingkungan.
Di dalam Al-Quran, istilah thayyib digunakan beriringan dengan halal, yang berarti bahwa kualitas moral dan etika sosial harus menjadi bagian dari keseluruhan nilai produk maupun proses bisnis.
Baca Juga: Tren Sertifikasi Halal UMKM, Momentum Wujudkan Indonesia sebagai Sentra Halal Dunia
Islam tidak hanya menekankan kewajiban dalam hal beribadah, tetapi juga menuntut kejujuran dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial dan ekonomi, terutama dalam memperlakukan orang lain dengan adil.
Eksploitasi terhadap tenaga kerja telah lama menjadi fokus perhatian dalam disiplin ilmu, termasuk sosiologi ketenagakerjaan, ekonomi politik, serta etika keagamaan.
Pengertian eksploitasi sendiri dimaknai dengan pengambilan nilai lebih yang dilakukan secara tidak adil dari pekerja buruh demi keuntungan pemilik modal, yang menyebabkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan pekerja.
Eksploitasi buruh ini juga merupakan bagian dari ketimpangan sistemik akibat sistem kapitalisme global.
Dalam konteks ini, eksploitasi bukan sekadar isu ekonomi, melainkan permasalahan keadilan sosial dan kemanusiaan.
Eksploitasi buruh secara prinsipil bertentangan dengan nilai-nilai dasar syariah Islam, yang menempatkan kerja sebagai ibadah dan buruh sebagai mitra sejajar dalam aktivitas ekonomi.
Dalam Islam, keadilan (‘adl), amanah (kepercayaan), dan penghormatan terhadap martabat manusia merupakan landasan utama dalam hubungan industrial.
Perlakuan adil terhadap pekerja, termasuk pemberian upah tepat waktu dan perlindungan hak-hak buruh adalah tuntutan syariah yang tidak bisa ditawar.
Apabila dikaitkan dengan kritik Islam terhadap sistem ekonomi kapitalis, jelas terlihat perbedaan mendasar didalamnya.
Sistem kapitalis cenderung menempatkan buruh sebagai faktor produksi yang semata-mata digunakan untuk memaksimalkan keuntungan pemilik modal (Hidayat, 2023).
Dalam praktiknya, kapitalisme sering melahirkan eksploitasi seperti penundaan upah, pemotongan hak, jam kerja berlebih, hingga pemutusan hubungan kerja sepihak demi efisiensi biaya dan akumulasi keuntungan.
Adapun beberapa alasan lainnya yang menerangkan bahwa Islam mengkritik sistem ekonomi kapitalis karena mengabaikan aspek etika dan keadilan sosial, mengutamakan profit di atas maslahat sosial, serta tidak menjamin distribusi kekayaan yang adil.
Baca Juga: Berkembangnya Nail Art Halal pada Sektor Kosmetik di Indonesia
Eksploitasi buruh bertentangan dengan maqashid syariah, khususnya dalam aspek perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), harta (hifzh al-mal), dan kehormatan (hifzh al-‘irdh).
Jika pekerja hidup dalam tekanan, tidak aman secara ekonomi, dan tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, maka hak-hak dasar mereka sebagai manusia tidak terpenuhi.
Islam mengajarkan bahwa keberkahan penghasilan tergantung pada kehalalan dan keadilan dalam cara mendapatkannya, bukan hanya sekadar formalitas transaksi.
Dalam hukum Islam, perlakuan seperti ini disebut gharar (ketidakjelasan atau ketidakpastian) dan zhulm (ketidakadilan), yang jelas dilarang oleh Al-Quran dan sunnah.
Oleh karena itu, sistem kerja yang mengeksploitasi pekerjanya tidak bisa diterima dalam prinsip ekonomi Islam yang selalu mengutamakan kebaikan bersama dan keadilan.
Banyak pekerja di industri halal, terutama di pabrik dan pengolahan makanan untuk ekspor, menghadapi masalah upah yang rendah dan jam kerja yang panjang.
Baca Juga: Pengembangan Industri Lokal melalui Upaya Sinergitas Konsumen, Produsen, dan Pemerintah
Walaupun industri halal dikenal sebagai simbol nilai-nilai Islam yang baik, kenyataannya banyak pekerja mengalami perlakuan yang tidak adil dan dieksploitasi.
Beberapa temuan menunjukkan bahwa pekerja di pabrik yang bersertifikat halal sering mendapat upah di bawah standar serta harus bekerja lebih dari delapan jam tanpa bayaran lembur yang layak (Tirtayasa, 2025).
Situasi ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi dasar ekonomi Islam.
Perbedaan antara citra religius industri halal dan kenyataan perlakuan terhadap pekerja menunjukkan adanya masalah etika yang merusak kepercayaan terhadap nilai syariah dalam praktiknya.
Oleh karena itu, penting untuk memahami akar masalah ini dan mencari solusi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sudah saatnya kita bertanya, apakah industri halal yang selama ini kita banggakan benar-benar telah mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan Islam?
Praktik upah rendah dan jam kerja berlebih di pabrik halal menjadi cerminan bahwa label religius saja tidak cukup.
Kita perlu merenungkan kembali, apakah industri ini hanya sekadar simbol atau benar-benar menjadi solusi bagi kesejahteraan bersama?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar kita tidak terjebak pada formalitas, melainkan benar-benar mendorong perubahan nyata dalam dunia kerja yang lebih adil dan beradab.
Pada faktanya, hal ini menunjukkan adanya krisis etik yang serius dalam industri yang seharusnya menjadi representasi nilai-nilai Islami.
Kondisi ini menandakan perlunya perubahan besar, mulai dari perbaikan aturan sertifikasi, perlindungan hukum yang lebih kuat untuk buruh, hingga perubahan cara pandang para pengusaha Muslim dalam mengelola pekerja.
Jika hubungan kerja tidak segera dibenahi, industri halal hanya akan menjadi label agama tanpa makna sejati dalam praktik bisnisnya.
Dengan demikian, semua pihak, seperti akademisi, ulama, pemerintah, hingga konsumen perlu berkolaborasi membangun industri halal yang tidak hanya menekankan ritual formal, tetapi juga benar-benar mengutamakan keadilan sosial sebagai inti dari ekonomi Islam.
Demikian sedikit tulisan yang dapat saya sampaikan, tulisan ini ditujukan untuk tugas akhir mata kuliah Ekonomi dan Bisnis Syariah dengan dosen Pengampu Ibu Dr. Hilda Monoarfa, S.E., M.Si. Terima kasih.
Penulis: Alamanda Khairunisa
Mahasiswa Prodi Bisnis Digital, Universitas Pendidikan Indonesia
Daftar Pustaka
Hidayat, M. S. (2023). Philosophical perspective of Islamic economics: A critical approach to capitalism and materialism in the context of modernity. Research of Islamic Economics, 1(1), 48–57. https://doi.org/10.58777/rie.v1i1.63:contentReference[oaicite:0]{index=0}
Jauhari, M. S. (2024). Analisis proyeksi peningkatan konsumsi produk halal di berbagai sektor ekonomi Indonesia hingga tahun 2025. Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 8(1), 105–122. https://doi.org/10.30868/ad.v8i01.6495:contentReference[oaicite:2]{index=2}
Minarni, M., Yuliana, I., Wahyuni, N., & Sawitri, D. (2024). Strategi pengembangan industri halal di Indonesia berbasis Maqashid Syariah dan Etika Bisnis Islami. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 10(3), 3075–3086. https://doi.org/10.29040/jiei.v10i3.15036:contentReference[oaicite:0]{index=0}
Tirtayasa. (2025, 1 Mei). Eksploitasi buruh dalam industri halal: Kajian etika dan praktik bisnis berbasis syariah. Kepri Pos. https://kepripos.id/eksploitasi-buruh-dalam-industri-halal-kajian-etika-dan-praktik-bisnis-berbasis-syariah/
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News