Ketika Idealisme Tinggal di FYP dan Realita Tinggal di Pending Draft

Idealisme
Sumber: Penulis

Idealisme mahasiswa itu seperti playlist lo-fi di Spotify: awalnya bikin semangat belajar, tapi lama-lama cuma jadi latar belakang yang nggak didengerin.

Di setiap kampus, ada saja mahasiswa yang sok idealis, ngegas ngomongin perubahan sistem, tapi begitu ketemu realita, malah jadi orang pertama yang peluk sistem itu erat-erat.

Apa yang salah? Mungkin idealisme mereka cuma sekadar fashion statement, kayak hoodie hitam yang dipakai supaya kelihatan serius tapi tetap cool.

Lihat aja mahasiswa yang suka teriak-teriak soal “melawan penindasan.” Pas di podium, retorikanya berapi-api, kayak ceramah motivator yang denger-denger dapat bayaran puluhan juta. Tapi, coba ajak dia diskusi serius soal bagaimana caranya mengubah sistem yang dia benci.

Bacaan Lainnya

Jawabannya? Pasti muter-muter kayak penjual MLM. Kadang malah ngomongnya lebih klise daripada quote di baju distro: “Perubahan besar dimulai dari langkah kecil.” Oke, langkah kecil itu apa? Ternyata cuma bikin thread Twitter yang isinya lebih banyak typo daripada substansi.

Saking idealisnya, mereka suka banget kritik pemerintah, kampus, atau bahkan seniornya sendiri. Tapi coba lihat sisi lainnya: skripsi masih molor setahun, tugas nggak selesai-selesai, dan organisasinya ditinggalin karena katanya “udah nggak relevan sama visi gue.”

Baca Juga: Fenomena Sosial (Living Together) di Kalangan Mahasiswa

Kayaknya mereka lupa kalau kritik tanpa solusi itu nggak beda jauh sama mantan yang cuma bisa nyalahin tapi nggak pernah ngasih jalan keluar.

Realita paling lucu dari mahasiswa sok idealis ini adalah ketika mereka masuk ke dalam sistem yang mereka kritik habis-habisan. Contohnya? Saat jadi magang di kementerian atau perusahaan besar yang mereka sebut biang kapitalisme.

Di awal, mereka bilang, “Gue mau belajar dari dalam biar nanti bisa mengubah.” Tapi, kenyataannya? Malah jadi bagian dari mesin itu sendiri.

Lebih parah lagi, mereka yang dulu bilang “rakyat kecil butuh kita,” sekarang malah sibuk cari promosi supaya jadi bos, sambil ngeremehin junior yang “nggak ngerti perjuangan.” Mereka jadi bagian dari rantai birokrasi yang dulunya mereka sebut sebagaipenjara peradaban.

Dan jangan lupa, idealisme mereka sering banget jadi alat untuk tampil keren di sosial media. Update foto di tengah demo, caption-nya: “Perjuangan belum selesai.

Tapi, pas demo bubar, malah nongkrong di kafe mahal sambil pesan kopi yang harganya lebih mahal daripada buku-buku yang katanya “wajib dibaca setiap intelektual.”

Mereka suka bilang, “Buku adalah senjata,” tapi sejauh ini buku-buku itu cuma jadi properti buat Instagram Story. Isi bukunya? Mungkin bahkan belum sempat mereka baca sampai halaman ketiga.

Baca Juga: Merajut Jembatan Pengetahuan: Kelas Konsorsium sebagai Ruang Kolaboratif bagi Mahasiswa

Buat mahasiswa idealis kayak gini, retorika itu segalanya. Mereka fasih ngomong soal “perubahan sistem,” tapi implementasinya nol besar. Kalau disuruh cari solusi konkrit, mereka malah ngeluh, “Gue cuma mahasiswa, nggak punya kekuatan.”

Lah, terus kalau nggak punya kekuatan, ngapain teriak-teriak kayak punya kemampuan buat gulingin rezim? Mereka lupa, idealisme tanpa tindakan itu cuma jadi angan-angan kosong yang nggak lebih berguna daripada notes motivasi di kamar mandi umum.

Ironisnya, mereka juga punya kemampuan luar biasa buat nge-justify kemunafikan mereka. Contohnya? Pas mereka akhirnya jadi bagian dari sistem, mereka bilang, “Ya, ini langkah pertama gue buat mengubah dari dalam.”

Tapi, kenyataannya, nggak ada perubahan yang mereka bawa selain tanda tangan kontrak kerja yang memastikan mereka jadi karyawan tetap.

Mereka lupa sama semua thread panjang di Twitter soal “melawan ketidakadilan.” Sekarang, mereka malah sibuk nyari diskon tiket liburan akhir tahun.

Dan kita belum ngomongin soal “aktivis karbitan” yang cuma muncul pas ada kamera. Demo besar? Hadir, tapi cuma buat masuk frame media. Pas giliran diajak diskusi serius soal strategi perjuangan, malah ngeles kayak pemain bola profesional.

Baca Juga: Peran Media Sosial dalam Penyebaran Ujaran Kebencian di Platform Tiktok: Bagaimana Pandangan Mahasiswa Universitas Andalas?

Mereka bilang, “Gue cuma pengen jadi suara rakyat,” tapi rakyat yang mana? Yang bener-bener butuh bantuan atau cuma pengikut di sosial media?

Ada juga tipe mahasiswa idealis yang suka banget bikin teori-teori njelimet soal perubahan. Mereka ngomong soal “dialektika sejarah” dan “hegemoni kapital,” tapi kalau disuruh bikin acara kampus sederhana aja, ujung-ujungnya kacau.

Realita itu nggak serumit teori yang mereka omongin. Kalau nggak bisa bikin acara yang rapi, gimana mau bikin revolusi?

Mahasiswa sok idealis ini sepertinya lupa satu hal: dunia nggak berubah cuma karena retorika dan kutipan filsuf. Dunia berubah karena aksi nyata.

Jadi, kalau cuma bisa ngomong, “Sistem ini bobrok,” tanpa ngasih solusi, ya lo sama aja kayak juru bicara toko elektronik yang cuma bisa bilang, “Barang ini rusak,” tanpa tahu gimana cara betulin.

Kalau memang idealisme itu penting buat mereka, kenapa nggak dimulai dari hal kecil yang nyata? Misalnya, bantu temen yang kesulitan bayar kuliah, ajak diskusi orang yang berbeda pandangan tanpa meremehkan, atau bahkan sekadar nggak jadi munafik ketika udah masuk sistem yang dulu mereka hina-hina.

Karena kalau nggak, idealisme mereka nggak lebih dari iklan murah yang cuma kelihatan bagus di layar tapi nggak punya substansi di dunia nyata.

Baca Juga: Apatisme Mahasiswa dan Hilangnya Semangat Perjuangan

Pada akhirnya, mahasiswa sok idealis ini akan tetap ada, mengisi ruang-ruang diskusi dengan kata-kata kosong yang lebih nyaring daripada isi.

Mereka akan terus bikin janji revolusi yang nggak pernah terwujud, sambil menikmati kenyamanan hidup di bawah sistem yang mereka kritik.

Jadi, kalau lo ngerasa jadi bagian dari mereka, coba tanya diri sendiri: lo bener-bener idealis, atau cuma aktor yang kebetulan suka ngomong di panggung seminar?

Idealisme mahasiswa itu kayak kembang api: nyala terang, meledak bentar, terus hilang ditiup angin.

 

Penulis: Ade Mudhoffar

Calon Budak Korporat

Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Hasyim Asy’ari

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

1 Komentar