Ketika Jagung Menguning: Refleksi Kritis Program Tanam Jagung Polri di Papua

Program Tanam Jagung
Ilustrasi Program Tanam Jagung (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

…. Padamu Negeri, Kami Berjanji ….

Ketika berbicara tentang kedaulatan pangan, yang terbayang semestinya adalah kerja sama sinergis antara petani, ahli agrikultur, dan lembaga pertanian yang memang memiliki kapasitas. Namun, apa jadinya jika peran krusial ini justru diambil alih oleh institusi yang tidak memiliki kompetensi teknis di bidang tersebut?

Inilah yang terjadi dalam proyek penanaman jagung oleh Kepolisian Republik Indonesia di Kampung Aib, Papua. Sebuah kebijakan ambisius di permukaan, namun menyimpan banyak persoalan di baliknya.

Padamu negeri, kami berjanji.” Lirik lagu kebangsaan itu sering kita nyanyikan sejak kecil, sebuah janji suci antara rakyat dan tanah airnya. Namun, janji tidak cukup jika hanya dilantunkan dalam upacara.

Ia harus hidup dalam tindakan nyata, terutama saat menyangkut kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi landasan setiap program pembangunan bangsa.

Bacaan Lainnya

Dengan target ambisius membuka lahan 1,7 juta hektare di seluruh Indonesia, proyek ini sejak awal menimbulkan tanda tanya. Bukan hanya karena Polri keluar dari tugas utamanya sebagai penegak hukum, tetapi juga karena program ini dijalankan tanpa persiapan yang matang.

Alih-alih melibatkan petani lokal dan para ahli yang paham kondisi wilayah, kebijakan justru dibuat tergesa-gesa tanpa memahami kebutuhan masyarakat setempat. Akibatnya, tanaman gagal tumbuh, petani bingung, dan harapan akan kesejahteraan pun pupus.

Baca juga: Krisis Identitas Profesi dan Lemahnya Perlindungan Negara: Mengapa Anak Muda Nganjuk Ogah Jadi Petani di Negeri Sendiri?

Padahal, sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” menekankan pentingnya musyawarah dalam setiap keputusan. Jika suara masyarakat tidak didengar sejak awal, maka kebijakan sebesar apa pun tak akan memberi hasil nyata. Kedaulatan pangan tak bisa dibangun tanpa melibatkan mereka yang paling dekat dengan tanahnya.

Proyek tanam jagung yang digelar oleh Polri dengan target lahan seluas 1,7 hektare di seluruh Indonesia banyak menuai pro dan kontra. Proyek yang berlandaskan dari gagasan Presiden Prabowo untuk mendukung swasembada pangan ini diklaim oleh kepolisian dapat meningkatkan hasil produksi jagung sehingga tidak perlu lagi melakukan impor pada tahun 2025.

Akan tetapi, perlu dikritisi adalah keterlibatan polisi dalam proyek pertanian yang di luar koridor tugas mereka menurut undang-undang. Proyek jagung di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura menjadi sorotan utama.

Berdasarkan liputan media massa dan sosial, proyek strategis nasional ini jauh dari sukses. Video dokumenter BBC menunjukkan bahwa menurut warga setempat, tanaman jagung banyak diserang hama dan daunnya menguning meski masih kecil. Kondisi ini hampir mustahil mencapai masa panen, dan kalaupun dipanen, hasilnya dipastikan buruk.

Kepolisian sebagai penanggung jawab proyek gagal memfasilitasi peralatan pertanian di Kampung Aib. Menurut Mariana, warga setempat, polisi hanya menyediakan bibit jagung dan sembako, tanpa alat untuk perawatan tanaman.

Mengejutkan bahwa mereka lebih memprioritaskan sembako daripada fasilitas pertanian, menimbulkan pertanyaan tentang pesimisme terhadap keberlanjutan program. Apa gunanya program yang justru merugikan masyarakat? Sangat memprihatinkan masyarakat dibiarkan mengelola lahan jagung tanpa fasilitas memadai.

Selain itu, tidak adanya riset yang dilakukan terlebih dahulu juga menjadi faktor penyebab tidak berhasilnya program ini. Daniel selaku Dosen Biologi Universitas Cendrawasih menuturkan bahwa sebelum melakukan penanaman harus mengobservasi kondisi tanah seperti pH dan electricity konduktivitas agar tahu perlakuan atau treatment yang cocok untuk pengolahan tanah.

Padahal menurut hasil riset dan riwayat penanaman masyarakat, tanaman kakao menjadi komoditas pertanian paling cocok untuk ditanam di sekitar distrik kemtuk. Dari sini, semestinya institusi kepolisian daerah menggandeng para akademisi atau para ahli di bidang pertanian untuk ikut bersama dalam menyukseskan proyek tanam jagung ini, bukan justru berjalan sendiri seperti menabur benih di ladang yang belum dikenali keseburannya.

 

Tinjaun Etika Profesi dan Moral Institusional

Proyek tanam jagung di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura bukan satu-satunya Proyek Strategis Nasional (PSN) terkhususnya di bidang pertanian yang mengalami kegagalan. Banyak proyek strategis lainnya yang tidak mencapai tujuan akhir. Faktor penyebab kegagalan proyek strategis tersebut salah satunya yaitu pengelolaan yang dilaksanakan oleh pihak yang tidak berkompeten atau berlatar belakang bukan dari pertanian.

Melihat kasus di Distrik Kemtuk, polisi seharusnya tidak terlibat dalam teknis pertanian jagung. Menurut Fadhli, direktur LBH Jakarta, tugas utama Polri hanya mencakup keamanan, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat.

Namun, polisi justru terjun ke bidang pertanian, padahal pasal 14 tentang 12 tugas Polri tidak menyebutkan satu pun tugas terkait pertanian. Keterlibatan ini menyimpang dari etika profesional, melanggar prinsip keadilan, dan mengabaikan tanggung jawab sosial

Selain itu, jika ditinjau dari nilai-nilai Pancasila, eksekusi program tanam jagung di Distrik Kemtuk sangat bertolak belakang. jika dikaitkan dengan sila ke 5 tentang nilai keadilan, maka kasus pada program ini sangat tidak mencerminkan nilai keadilan.

Memberikan kewenangan kepada pihak yang tidak sesuai dengan bidangnya, sehingga tidak ada rasa keadilan bagi pihak yang memang betul ahli di bidang pertanian, serta tidak adil bagi masyarakat yang terdampak akibat kegagalan proyek tanam jagung ini.

Kemudian dalam kasus ini juga tidak mencerminkan sila ke 4 nilai kemusyawaratan, dikarenakan dalam eksekusinya tanpa melibatkan teknokrat dan masyarakat luas untuk berkoordinasi untuk pengambilan Keputusan yang benar.

 

Kritik Konstruktif

Dampak dari kegagalan proyek tanam jagung ini sangat luas. Misalnya kerugian dari segi anggaran yang terbuang sia-sia karena proyek yang tidak mencapai target, kerugian bagi petani dan masyarakat sekitar, muncul ketimpangan sosial, siklus kegagalan yang selalu berulang, dan mengancam ketahanan pangan nasional.

Dari permasalahan tersebut wajar saja jika masyarakat mengkritik keras jika polisi mengerjakan tugas lain di luar tugas pokoknya, disaat kinerja polisi yang dinilai masyarakat buruk dalam menjalankan tugas pokoknya.

Ataukah sebenarnya kepolisian dalam program ini terdapat kepentingan untuk memperbaiki citra kepolisian agar terlihat lebih humanis dan peduli dengan masyarakat. Sehingga terjadi tumpang tindah wewenang di bidang pertanian.

Pada akhirnya, Proyek jagung Polri di Kampung Aib menunjukkan bahwa kebijakan tanpa kompetensi dan pemahaman kontekstual akan gagal, sebaik apapun niatnya. Kedaulatan pangan membutuhkan program yang melibatkan ahli di bidangnya, bukan pendekatan terburu-buru.

Diperlukan evaluasi pembangunan yang selaras dengan Pancasila: kolaboratif, menghargai kearifan lokal, dan menghormati fungsi setiap institusi. Dengan begitu, janji “Padamu negeri, kami berjanji” dapat terwujud dalam kebijakan yang sungguh bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Penulis: Rayhan Fajar Variandra Rahmat
Mahasiswa Agroekoteknologi, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses