Korban Kekerasan Anak Perlu Pendampingan Psikososial

Kekerasan Anak
Ilustrasi Kekerasan Anak (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Dalam memahami kekerasan terhadap anak, kita juga harus memahami adanya kontrol sosial yang menjadi sebab akibat kekerasan tersebut. Kekerasan dimulai dari relasi yang memaksa dan ancaman, adanya pihak yang diposisikan lebih berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih lemah.

Anak adalah harapan bangsa di masa depan. Anak adalah generasi muda penerus bangsa yang mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan suatu bangsa dan negara pada masa yang akan datang.

Oleh karena itu, anak harus dilindungi agar dapat tumbuh secara optimal baik secara fisik maupun psikologisnya agar mampu menjadi generasi emas untuk membangun Negara menjadi lebih maju.

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun demikian, di sekeliling kita, kekerasan pada anak kerap kali terjadi. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kekerasan pada anak disebut juga dengan Child Abuse, yaitu semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di keluarga yang miskin atau lingkungan yang buruk. Fenomena ini dapat terjadi pada semua kelompok ras, ekonomi, dan budaya. Bahkan pada keluarga yang terlihat harmonis pun bisa saja terjadi KDRT pada anak.

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan, sebagian besar pelaku kekerasan pada anak merupakan anggota keluarga atau orang lain yang dekat dengan keluarga.

Bentuk Kekerasan pada Anak dapat diklasifikasikan 4 Macam, Yaitu:

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak seperti penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta martabat korban; kekerasan psikis meliputi penghardikan, penghinaan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, perundungan (bullying).

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual merupakan segala jenis aktivitas seksual dengan anak. Kekerasan  seksual yang dibagi menjadi:

(1) Kekerasan seksual nonkontak seperti melihat kekerasan/kegiatan seksual, dipaksa terlibat dalam kegiatan seksual dan mengirimkan gambar foto/video/teks kegiatan seksual, dan
(2) Seksual kontak seperti sentuhan, diajak berhubungan seks, dipaksa berhubungan seks, dan berhubungan seks di bawah tekanan.

4. Kekerasan Sosial

Mencakup Penelantaran Anak dan Eksploitasi Anak. Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi, dan perawatan medis saat sakit.

Kelalaian ini akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, antara lain yaitu terjadi kegagalan dalam tumbuh kembang, malnutrisi, yang menyebabkan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun, sehingga dapat mengakibatkan stunting.

Dampak Kekerasan pada Anak

Dalam kebanyakan kasus, anak-anak yang mendapat kekerasan lebih menderita secara mental. Kekerasan pada anak tentu akan memberi efek pada diri mereka yang dapat berdampak buruk. Beberapa dampak kekerasan pada anak, yaitu:

1. Gangguan Emosi

Anak menjadi lebih sering sedih atau marah, sulit tidur, bermimpi buruk, memiliki rasa percaya diri yang rendah, ingin melukai diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri

2. Kurang Memiliki Kepercayaan dan Sulit Menjalin Hubungan

Anak yang pernah menjadi korban kekerasan akan lebih sulit percaya pada orang, termasuk pada orangtuanya sendiri.

3. Memiliki Perasaan Tidak Berharga

Anak yang mendapat kekerasan juga akan memiliki perasaan bahwa dirinya tidak berharga. Hal ini dapat membuat anak mengabaikan pendidikannya dan hidupnya menjadi rusak dengan rasa depresi, terutama pada korban kekerasan seksual.

4. Sulit Mengatur Emosi

Kekerasan pada anak juga dapat membuat mereka kesulitan mengatur emosinya. Anak akan kesulitan mengekspresikan emosi dengan baik hingga membuat emosinya tertahan dan keluar secara tak terduga. Bahkan saat dewasa, dapat mengalihkan depresi, kecemasan, atau kemarahannya dengan mabuk-mabukan atau mengonsumsi narkoba.

5. Melakukan Tindakan Negatif

Anak yang mendapat kekerasan lebih mungkin melakukan tindakan negatif, seperti tingkat agresi yang tinggi, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, putus sekolah, dan terlibat hubungan seksual berisiko tinggi.

6. Memiliki Risiko Gangguan Kesehatan yang Lebih Tinggi di Masa Depan

Efek kekerasan pada anak juga dapat memengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Korban kekerasan anak berisiko mengalami gangguan kesehatan yang lebih tinggi, baik secara psikis maupun fisik, pada saat mereka tumbuh dewasa.

Hal lain yang perlu dicermati adalah secara umum masyarakat kita diajarkan untuk mempunyai harapan bahwa semuanya akan kembali menjadi baik. Demikian pula yang terjadi pada anak korban kekerasan, bahwa apa yang terjadi padanya hanya kekhilafan sesaat.

Pada kenyataannya, keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja merupakan bagian dari siklus kekerasan. Konflik akan semakin kuat dan kontrol juga akan semakin diperketat yang kemudian berwujud sebagai kekerasan.

Penyesalan setelah terjadinya kekerasan akan muncul pada pelaku dan hal ini menjadikan korban semakin yakin bahwa pelaku hanya khilaf.

Mengapa Diperlukan Pendampingan bagi Anak Korban Kekerasan?

Anak korban kekerasan pada umumnya merasa dirinya adalah satu-satunya yang mengalami kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh korban, juga mengakibatkan mereka menarik diri dari lingkungan sosialnya dan cenderung bertahan dalam relasi yang penuh dengan kekerasan.

Biasanya korban merasa tidak mampu untuk bisa melihat persoalan yang mendasari kekerasan yang menimpanya apalagi untuk melihat jalan keluar.

Seringkali korban merasa bingung, dikarenakan saat meminta bantuan orang lain dia akan diminta bersabar atau diminta untuk mencari kesalahan yang dia lakukan sehingga menerima kekerasan tersebut.

Dalam kondisi ini, korban menjadi tidak berdaya dan putus asa. Korban merasa bahwa kekerasan yang menimpanya dikarenakan kesalahannya dan tidak ada orang yang bisa membantunya.

Padahal sesungguhnya korban membutuhkan orang yang bisa menjadi teman berbagi atas apa yang dialaminya. Disinilah pendampingan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bagi para korban kekerasan.

Pendampingan Psikososial terhadap Korban Kekerasan

Dengan melihat kasus kekerasan terhadap anak, maka dalam melakukan pendampingan kita harus memahami konteks kekerasan tersebut.

Perilaku  individu, baik korban maupun pelaku sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, ekonomi dan politik dimana nilai, norma, dan hukum yang berlaku di masyarakat dan Negara berpengaruh dalam melihat persoalan kekerasan terhadap anak.

Tidak hanya memerlukan penanganan medis untuk mengobati luka fisik atau penanganan hukum untuk mencari keadilan, namun korban kekerasan juga memerlukan pendampingan psikososial yang lebih mendalam untuk membangun kemandirian korban.

Pendampingan Psikososial merupakan paduan antara penanganan psikologis dan penanganan sosial. Paduan ini menyatukan penanganan psikologis yang bertumpu pada pemahaman interpersonal korban dengan persoalan sosial budaya yang melingkupi kehidupan korban.

Pendampingan Psikososial yang efektif diharapkan dapat mewujudkan kemandirian dan pemberdayaan pada anak  korban kekerasan. Artinya, korban dianggap mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, dan mampu membangun potensinya. Korban yang sudah “selesai” ini disebut dengan survivor.

Survivor dalam hal ini merupakan pihak yang sangat efektif dalam melakukan upaya preventif atau pencegahan kekerasan terhadap anak.

Melalui survivor ini diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dan penyadaran komunitas di sekitarnya, sekaligus melakukan fungsi perlindungan sosial bagi anak korban kekerasan.

Jika dikaitkan dengan tindakan kuratif yaitu pendampingan pada korban, maka pendampingan pada korban akan sangat relevan dengan upaya-upaya preventif dalam rangka mencegah dan menghapuskan kekerasan terhadap anak, dan kita semua bisa melakukannya

Setiap anak memiliki hak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut harus meminta. Hak-hak anak tersebut adalah hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak berpartisipasi serta hak untuk dilindungi.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Konvensi. Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan, termasuk perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pihak keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk melindungi anak dan terhindar dari tindakan kekerasan.

 

Penulis: Sabrina Dea Raharjo
Mahasiswa Psikologi, Universitas Muria Kudus

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

2 Komentar

  1. Artikelnya isinya bagus sekali dan berbobot, sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan para orangtua dan calon orang tua

Komentar ditutup.