Liberalisasi Pendidikan: Ancaman atau Kenyataan?

Pendidikan
Ilustrasi: istockphoto

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan dalam suatu perekonomian. Meningkatnya suatu perekonomian ditentukan oleh luasnya pertumbuhan yang ditunjukkan oleh perubahan output nasional.

Terdapat tiga fokus dalam pertumbuhan ekonomi, yakni proses, output per kapita, dan jangka panjang yang berkembang atau berubah dari masa ke masa.

Maka dari itu, untuk meninjau kembali pertumbuhan, pembangunan, dan perkembangan ekonomi dalam suatu negara dibutuhkan tindakan aktif dan partisipasi dari seluruh stakeholder (masyarakat, pemerintah, organisasi internasional) yang ada.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Pentingnya Peranan Guru dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusi di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan perdagangan bebas demi meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sederhananya, perdagangan bebas merupakan kegiatan untuk mengurangi dan meniadakan hambatan perdagangan baik bersifat tarif (ekspor dan impor) maupun non tarif.

Tarif impor tersebut diposisikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap barang yang diimpor akan menaikkan harga di pasar domestik, sehingga produsen domestik dapat menikmati surplus yang lebih besar, sedangkan konsumen menghadapi tingginya harga.

Liberalisasi perdagangan ini memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk melakukan pendistribusian kerja dan spesialisasi dalam produksi barang dan jasa di mana mereka dapat memproduksikan barang tersebut relatif murah.

Liberalisasi ekonomi ini harus dukung oleh keuangan internasional dan investasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dengan WTO (World Trade Organization) sejak tahun 1994. Terbukti dengan dipublikasikannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, pada 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establishing the World Trade Organization”.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini, maka Indonesia diwajibkan dan diharuskan untuk mematuhi segala aturan yang diberlakukan pada seluruh anggota WTO.

Dampak yang dirasakan Indonesia pada penandatanganan ratifikasi tersebut adalah diturunkannya tarif bea cukai masuk, ditiadakannya hambatan non-tarif bagi perdagangan, pembatasan ekspor diganti menjadi pajak yang nilai diturunkan hingga maksimum 10%, dan ditiadakannya subsidi petani.

Selain itu, dalam bidang jasa (GATS, General Agreement on Trade and Services) Indonesia dipaksa kembali untuk memperbolehkan masuknya perusahaan atau lembaga-lembaga asing yang bergerak di sektor kesehatan, keuangan, energi, dan pendidikan.

Dalam perjanjian ini, pendidikan merupakan salah satu sektor yang terdampak liberalisasi dan akan diliberalisasikan. Pendidikan dapat dilihat sebagai proses memerdekakan manusia dari penindasan. Melalui pendidikan, orang-orang yang tertindas dapat melihat bagaimana dunia tersebut tertindas dan bertekad untuk melakukan transformasi.

Baca Juga: Peningkatan Infrastuktur Pendidikan sebagai Upaya Implementasi SDGS Keempat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

Founding Fathers Indonesia sadar bahwa negara ini pada dasarnya negara yang plural. Pluralistas tersebut hanya bisa dituntaskan dengan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang fundamental untuk dimiliki oleh semua orang dan merupakan landasan utama dalam terjadinya suatu perubahan yang baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat.

Serta, untuk kemajuan bangsa dan negara. Tanggung jawab negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai bagian yang diliberalisasi, maka hal ini jelas menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945.

Ichsanudin Noorsy yang merupakan seorang pengamat politik dan ekonomi mengungkapkan bahwa, “Jika pemerintah melihat pendidikan sebagai barang komersial, maka pemerintah jelas telah menyimpang dari konstitusi, karena tugas penyelenggara negara adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat.”

Melihat Indonesia sebagai negara dengan banyaknya penduduk dengan tingkat partisipasi bidang pendidikan yang tinggi, Indonesia dijadikan negara incaran oleh negara eksportir jasa pendidikan. Hal ini mengundang banyaknya penyedia jasa pendidikan yang ingin masuk ke Indonesia.

Adanya sistem perdagangan atau jual beli jasa pendidikan ini berdampak pada sistem pendidikan di Indonesia. Jika hal ini hanya dilandasi untuk keuntungan semata, maka hal ini sangat tidak sejalan dengan tujuan pendidikan sebenarnya.

Kesempatan-kesempatan ini yang juga akhirnya dimanfaatkan oleh berbagai negara maju maupun negara berkembang untuk menjalin hubungan saling menguntungkan di berbagai sektor untuk berinvestasi.

Dapat dikatakan, dalam hal pemberlakuan sistem neoliberalisasi terhadap dunia pendidikan, artinya terdapat pemberlakuan sistem yang di mana tujuan utamanya adalah meningkatkan hanya perekonomian itu sendiri dengan berbagai macam dalih, sementara peranan negara dikurangi dalam hal pendanaan pendidikan di sekolah-sekolah dan melakukan penambahan peranan perusahaan dari pihak lain (budaya bisnis), sehingga institusi pendidikan dalam cangkang neoliberalisme dapat diibaratkan sebagai pabrik yang memproduksi kebutuhan pasar (Darmaningtyas, Subkhan and Panimbang 2014).  

Baca Juga: Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Dunia Pendidikan

Adapun 4 model penyedia jasa pendidikan yang diidentifikasi oleh WTO, yaitu Model Cross Border Supply, Model Consumption Abroad, Model Commercial Presence, Model Movement of Natural Persons.

Model Cross Border Supply adalah model pertama di mana institusi di bidang pendidikan luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui jaringan internet dan online degree program. Hal ini pun merupakan salah satu tantangan pemerintah karena sulit dikontrol di mana hal ini terjadi di dunia maya.

Sistem dari program ini juga mudah di mana peserta didiknya tidak memerlukan pengakuan secara formal dari pemerintah atau data-data administrasi pendukung seperti adanya verifikasi ijazah setelah lulus dan tamat dari tingkat pendidikannya.

Model Consumption Abroad. Model ini merupakan model dengan bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi, di mana sampai dengan saat ini paling dominan karena banyak ditemui di mana mahasiswa belajar di pendidikan tinggi luar negeri.

Model ini pun tidak terlalu menjadi tantangan dalam jangka pendek karena dalam menempuh pendidikan di luar negeri pun biaya yang dikeluarkan masih relatif mahal. Hal ini membuktikan bahwa adanya keterbatasan karena hanya kalangan terbatas saja yang masih bisa untuk menempuh pendidikan di sana.

Model Commercial Presence. Model ini merupakan kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk kerja sama atau partnership, subsidiary, atau twinning arrangement dengan perguruan tinggi yang ada dalam negeri.

Model ini perlu dikhawatirkan karena mulai menimbulkan kerawanan di mana perguruan tinggi luar negeri masuk ke dalam negeri.

Perguruan tinggi dalam negeri pun juga ikut khawatir dan merasakan kecemasan menyangkut eksistensinya, karena dirasa belum siap bersaing dengan adanya mekanisme pasar bebas yang dikehendaki oleh WTO/ GATS.

Tidak hanya itu, hal lainnya yang dicemaskan adalah nilai-nilai baru asing yang mungkin bertentangan dengan nilai luhur bangsa Indonesia yang telah dibentuk dan diterapkan sejak lama.

Model Movement of Natural Persons. Model ini di mana dosen, guru atau pengajar asing mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dalam negeri atau lokal.

Model ini pun perlu diawasi karena mungkin akan menimbulkan kerawanan karena dengan adanya tenaga kerja pendidikan yang berasal dari negara lain akan menjadi tantangan dan saingan yang berat bagi tenaga pengajar pendidikan lokal.

Baca Juga: Pendidikan Membentuk Siapa Dirimu

Mengacu pada model Liberalisasi Pendidikan lainnya yang terjadi di Indonesia adalah peningkatan jumlah anggaran pendidikan mungkin merupakan suatu strategi yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan (ada harga ada kualitas), akan tetapi ini juga menjadi sebuah perhatian bagi kita untuk mengatur bagaimana pemerintah terlibat banyak dalam pengelolaan yang ada dan harus menghapuskan UU BHP.

UU BHP merupakan bentuk implementasi dari adanya GATS yang merupakan undang-undang yang dirancang agar setiap sekolah atau pun perguruan tinggi dapat memiliki otonominya sendiri, sehingga peran negara minim dalam pengelolaannya.

Selain karena otonominya yang diatur sendiri dan melemparkan beban pada masyarakat, hal ini adalah salah satu hal yang pada akhirnya ikut mengundang investasi atau bisnis asing untuk berinvestasi di sekolah-sekolah tersebut dan meningkatkan biaya pendidikan pokok yang ada.

Menurut Cyprianus Aoer, bahkan negara-negara maju di Eropa tidak menggabungkan bentuk UU BHP tersebut dalam undang-undang, dan negara masih terlibat memberikan pendanaan di sektor pendidikan.

Meski pajak yang dibebankan pada masyarakat lebih besar, tetapi masyarakat tidak keberatan karena hasil pengumpulan pajak tersebut kembali dalam bentuk pelayanan pendidikan yang baik. Kuncinya ada dalam pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk tidak terbutakan dengan uang dan mengalokasikannya murni untuk kepentingan pendidikan.

Perjalanan panjang dalam aksi menolak UU BHP ini berhasil dilakukan pada tahun 2009 lalu, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP karena dianggap melenceng dari UUD 1945. Kemudian, mengapa masih banyak gap yang tercipta antara negeri dan swasta? Mengapa masih banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah karena terlilit biaya?

Apa secara tidak langsung penerapan UU BHP dan implementasi dagang dalam pendidikan ini sudah menjadi budaya dan norma yang melekat dan tidak bisa lepas antara satu dengan yang lain? Nyatanya setelah UU BHP dibatalkan beberapa perguruan tinggi luntang-lantung dengan statusnya, beberapa di antaranya universitas yang dulunya merupakan bagian dari BHP.

Baca Juga: Mempersiapkan Pendidikan Menuju Era Society 5.0

Universitas-universitas ini berinisiatif untuk kembali ke status sebelumnya sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP Nomor 152 Tahun 2000 yang dijelaskan bahwa sumber pendanaan universitas terdiri dari: 1. Pemerintah; 2. Masyarakat; 3. Pihak luar negeri; 4. Usaha dan tabungan universitas.

Nyatanya masih ada pihak universitas yang menjadikan dana hanya bersumber pada masyarakat sebagai sumber utama universitas dan turut menggenjot pendanaan yang bersumber dari masyarakat.

Liberalisasi sesungguhnya diperlukan untuk memberikan keleluasaan atau kebebasan kepada stakeholders dalam menyelenggarakan pendidikan, seperti pemberian kesempatan untuk ikut dalam menyelenggarakan dan menaikkan mutu pendidikan, pemberlakuan otonomi pendidikan tinggi, hingga manajemen berbasis sekolah.

Namun demikian, perundangan yang mengatur liberalisasi ini harus mampu terlebih dahulu untuk dapat mengakomodasi keberlangsungan nilai-nilai luhur bangsa, yang dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangan dan pola budaya masyarakat, hingga diperlukannya pemberian batasan yang tegas dengan maksud agar para pemilik modal atau penyelenggara pendidikan tidak mematikan para penyelenggara pendidikan.

Kenyataan ini memunculkan pertanyaan besar: sesungguhnya pendidikan di negara ini untuk siapa? Maka dari itu, perlu adanya penegakan perundangan dalam mengatur liberalisasi pendidikan ini agar tidak hanya sebagai wacana dan kontroversi belaka, juga terkait pada tanggung jawab penuh negara dalam pelaksanaan pendidikan yang bermutu dan berkualitas bagi masyarakat.

Penulis: 
1. Jesslyn Samantha Rumiris Lumbantobing
2. Michelle Defani Arendina Kurniati
3. Samantha Christy Mawar Siregar
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI