Dulu, ikut organisasi kampus adalah bagian dari “paket lengkap” menjadi mahasiswa. Kuliah, rapat organisasi, kegiatan sosial, bahkan “bakar-bakar proposal” untuk cari dana, semua itu biasa. Organisasi dianggap tempat belajar yang sebenarnya, tentang kepemimpinan, teamwork, hingga mengelola konflik. Tetapi sekarang situasinya mulai berubah.
Banyak kampus besar bahkan mengeluhkan minimnya minat mahasiswa baru untuk terlibat di organisasi. Alih-alih bersemangat ikut berbagai kegiatan, banyak mahasiswa memilih langsung pulang usai kelas, atau sibuk dengan urusan pribadi.
Kenapa bisa begitu? Tentu saja adanya beberapa faktor yang memengaruhi,
1. Tekanan Akademik yang Semakin Berat
Menurut laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, tingkat stres akademik pada mahasiswa Indonesia naik sebesar 23% dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Sistem belajar yang makin kompetitif, standar IPK yang tinggi, serta beasiswa yang mensyaratkan nilai sempurna, membuat mahasiswa lebih fokus mengejar akademik daripada mengembangkan soft skill di luar kelas.
Buat sebagian mahasiswa, ikut organisasi dianggap “mengganggu IPK”. Padahal, banyak penelitian justru menunjukkan, pengalaman organisasi bisa meningkatkan kemampuan problem solving dan kreativitas — dua skill yang paling dibutuhkan dunia kerja hari ini.
2. Budaya Digital: Dunia Virtual Lebih Menggoda
Data dari We Are Social Indonesia (2024) mencatat, rata-rata waktu harian mahasiswa mengakses internet adalah 8 jam 36 menit, sebagian besar untuk media sosial dan hiburan online.
Dengan gadget di tangan, teman-teman, komunitas, bahkan hiburan, semua bisa diakses dari kamar kos. Akibatnya, interaksi fisik, diskusi panjang, bahkan “ribut-ribut kreatif” di organisasi, terasa melelahkan dan kurang instan dibandingkan scrolling TikTok atau main game online.
Dengan gadget di tangan, teman-teman, komunitas, bahkan hiburan, semua bisa diakses dari kamar kos. Akibatnya, interaksi fisik, diskusi panjang, bahkan “ribut-ribut kreatif” di organisasi, terasa melelahkan dan kurang instan dibandingkan scrolling TikTok atau main game online.
3. Ketakutan Gagal dan Budaya Sempurna
Banyak mahasiswa sekarang tumbuh dalam lingkungan yang mengharuskan mereka “sempurna”. Salah sedikit, viral. Gagal sedikit, dihakimi.
Akibatnya, ikut organisasi — yang penuh risiko gagal, salah bicara, salah mengelola acara — dianggap terlalu berisiko untuk citra diri.
Mereka memilih “bermain aman”: cukup kuliah, cukup lulus, tanpa banyak mengambil risiko sosial.
Semua itu mengandung satu risiko yang sama: kemungkinan gagal. Dan hari ini, kegagalan terasa terlalu mahal — bukan karena dampaknya nyata, tapi karena takut dihakimi dunia yang hanya tahu menilai dari permukaan.
Budaya “harus sempurna” ini perlahan merampas hak kita untuk tumbuh. Kita jadi terlalu takut mencoba hal baru. Terlalu takut mengutarakan pendapat. Terlalu takut menjadi diri sendiri yang belum sempurna. Akhirnya, banyak potensi terkubur dalam diam, bukan karena tak punya bakat, tapi karena takut salah langkah.
4. Organisasi yang Kurang Adaptif
Namun, kita juga harus jujur:
Sebagian organisasi kampus masih menggunakan cara-cara lama. Kegiatan terlalu kaku, kurang inovatif, orientasi hanya pada senioritas.
Padahal, generasi mahasiswa sekarang (Gen Z) lebih suka organisasi yang fleksibel, menghargai ide baru, dan cepat melihat hasil. Kalau organisasi tidak cepat beradaptasi, jangan heran kalau minat bergabung makin menurun.
Lebih buruk lagi, masih ada oknum pimpinan organisasi yang menyalahgunakan posisi. Kekuasaan kecil di ruang sempit dijadikan senjata untuk bertindak semaunya.
Bukan membimbing anggota baru, tetapi mengintimidasi. Bukan membangun rasa percaya diri, tetapi menguji loyalitas lewat cara-cara usang dan tidak etis. Kekritisan dianggap durhaka. Keberanian bersuara dianggap ancaman. Bentuk keberdayaan malah diperlakukan sebagai pembangkangan.
Apa Solusinya?
Bukan berarti semua suram. Banyak organisasi kampus hari ini mulai bertransformasi: membuat program yang lebih relevan (seperti digital marketing, public speaking, startup incubator), membuka kolaborasi lintas kampus, dan menggunakan media sosial untuk promosi kegiatan mereka.
Kampus juga bisa membantu, dengan memberikan penghargaan akademik untuk aktivitas organisasi, atau menyisipkan kegiatan leadership development dalam kurikulum.
Yang Paling Penting:
- Mahasiswa perlu diajak melihat bahwa dunia kerja ke depan membutuhkan lebih dari sekadar nilai IPK tinggi.
- Kemampuan berkomunikasi, membangun jaringan, bekerja dalam tim — semua itu lahir dari pengalaman nyata, bukan dari lembaran nilai.
- Menutup diri itu pilihan, tapi berkembang itu kesempatan.
- Organisasi kampus mungkin tidak sempurna, tapi justru dari situ karakter dan ketangguhan terasah
- Kalau masa kuliah hanya dihabiskan di ruang kelas dan di depan layar, mungkin kelulusan akan terasa cepat — tapi pengalaman, jaringan, dan kekuatan karakter? Bisa saja lewat begitu saja.
Jika organisasi tidak berbenah, maka hilangnya minat mahasiswa untuk bergabung bukanlah ancaman—tetapi konsekuensi logis. Sebab hari ini, mahasiswa tak hanya ingin ikut serta. Mereka ingin relevan. Mereka ingin berkontribusi, bukan dikekang. Mereka ingin bertumbuh, bukan disuruh tunduk.
Penulis: Nisa Saleh
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News