Aspek Problematik Sistem Senioritas dalam Masyarakat Jepang

Senioritas dalam Masyarakat Jepang

Abstrak:

Interaksi antarindividu dalam masyarakat Jepang didominasi oleh hubungan vertikal. Salah satu bentuk dari hubungan vertikal tersebut adalah hubungan senior dan junior, atau dalam bahasa Jepang disebut dengan hubungan senpai-kouhai. Sistem senioritas senpai-kouhai dapat dilihat di berbagai aspek, yaitu linguistik (bahasa), di lingkungan sekolah/kampus, dan lingkungan perusahaan. Di balik nilai positif dari sistem senioritas di Jepang, terdapat juga fenomena yang menyingkapkan aspek problematik dan negatif dari sistem yang sudah menjadi bagian dari tatanan masyarakat Jepang ini.

Kata kunci: sistem senioritas, problematik, senpai-kouhai, fenomena

Bacaan Lainnya
DONASI

1. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat majemuk karena keberagaman budaya, suku, ras, dan agama. Banyaknya keberagaman yang berbaur dalam satu masyarakat Indonesia ini membuat interaksi dalam masyarakat menjadi cukup terbuka dan penuh toleransi. Berkebalikan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk, homogenitas dalam masyarakat Jepang cukup tinggi, sehingga jika ada yang sedikit berbeda akan terlihat mencolok. Ini dapat dibuktikan dengan peribahasa yang mencerminkan pola pikir masyarakat Jepang, yakni “deru kui wa utareru” yang berarti paku yang mencuat keluar akan dipukul. Dengan begitu, individu yang turun ke dalam masyarakat Jepang perlu dengan ketat beradaptasi bahkan cenderung menjadi “seragam” dengan masyarakat.

Perlu diketahui bahwa masyarakat Jepang memberlakukan sistem senioritas sebagai bentuk dari hubungan vertikal yang lazim dimulai sejak waktu yang silam. Menurut Nakane (dalam Davies dan Osamu, 2002:187), hubungan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam hierarki vertikal dan horizontal. Vertikal mencakup hubungan antara orang tua dan anaknya, juga hubungan atasan dengan bawahan. Sedangkan horizontal melibatkan hubungan saudara kandung, juga hubungan dengan teman sekelas atau kolega. Namun, hubungan horizontal bukanlah norma dalam masyarakat Jepang, melainkan hierarki vertikal yang lebih mendominasi.

Baca Juga: Danjo Kankei, Sebuah Fenomena Sosial Hubungan Pria dan Wanita di Jepang

Sistem senioritas di Indonesia dapat dilihat secara mencolok dalam hal jabatan dan ketika masa orientasi siswa atau mahasiswa, tetapi tetap tidak sekental di Jepang. Nilai-nilai moral dan norma kesopanan di Indonesia dalam hal sikap menghormati orang yang lebih tua atau lebih tinggi statusnya adalah hal yang wajib, sama dengan yang berlaku di masyarakat Jepang. Akan tetapi, baik dalam filosofi maupun dalam praktik, masyarakat Jepang lebih ketat dalam hubungan vertikal antarindividu. Ini menyebabkan terciptanya hal-hal khas yang hanya ada dan dilakukan di Jepang, tetapi tidak ada di negara lain termasuk Indonesia.

Filosofi dan praktik hubungan vertikal masyarakat Jepang ini menjadi sebuah sistem kemasyarakatan yang dikenal dengan sistem senioritas, juga istilah populer senpai-kouhai. Senpai selaku meue no hito atau orang yang pada posisi lebih tinggi dalam hubungan vertikal, dan kouhai selaku meshita no hito atau orang yang pada posisi lebih rendah dalam hubungan vertikal. Filosofi yang kemudian dinyatakan dalam bentuk praktis dan kebiasaan, menjadi salah satu atribut kebudayaan khas masyarakat Jepang. Walaupun begitu, kebudayaan apa pun yang sudah lama mendarah daging dan eksis sampai saat ini, tidak dapat disangkal pasti tetap memiliki beberapa celah yang seiring waktu semakin terlihat jelas.

Di zaman dahulu, sistem senioritasadalah hal yang sangat dijunjung tinggi, dan masyarakat yang homogen semakin memperkuat pondasi senioritasdari zaman ke zaman. Namun, zaman berubah dengan masuknya filosofi dan situasi baru yang ternyata bisa membuka cara pandang masyarakat lebih luas dan bisa melihat celah kelemahan dari budaya mereka. Contohnya adalah status, posisi, dan gaji yang bergantung pada senioritas bukan kemampuan dan kontribusi yang diberikan karyawan, tentu ini sedikit berbeda dengan paham liberalis yang menjadi ideologi sebagian besar negara-negara di Barat. Ada juga faktor dari masyarakat itu sendiri yang ternyata tidak sesuai dengan budaya tersebut sehingga muncul masalah baru, seperti sosok senpai yang seharusnya menjadi teladan dan mengayomi kouhai ternyata tidak bisa melaksanakan perannya dengan baik. Akan tetapi, menghilangkan kebudayaan itu pun bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Satu-satunya cara adalah menemukan celah dan menutupi celah itu dengan hal lain. 

Melalui kajian ini, saya berharap pembaca dapat melihat kelebihan dan kekurangan sistem senioritas masyarakat Jepang dan bisa menjadikannya penambah wawasan dan menjadi pelajaran positif bagi kehidupan bersosialisasi dalam masyarakat. Kelebihan dan kekurangan dapat dilihat dari fenomena-fenomena problematik yang terjadi dalam masyarakat Jepang, dan tentu saja tidak jauh-jauh dari perubahan zaman dan perubahan masyarakatnya.

II. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data dan referensi, metode yang digunakan adalah metode kepustakaan. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk bisa mengkaji dengan mendalam setiap fenomena yang ada. Kemudian dengan metode deskriptif analisis fenomena sosial budaya dijabarkan. Melalui studi literatur dalam penelitian ini, penulis akan merangkum semua data dan informasi terkait objek penelitian sehingga bisa memperoleh berbagai sudut pandang.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Pengantar Sistem Senioritas Masyarakat Jepang

Hubungan antarindividu dalam masyarakat terdiri dari hubungan horizontal dan vertikal. Hubungan horizontal di Jepang dapat disebut juga dengan istilah douryou dan doukyuusei. Douryou biasa digunakan oleh karyawan atau pebisnis dan mengacu kepada rekan kerja atau kolega yang berada di posisi yang sama dalam lingkungan kerja atau dalam perusahaan. Istilah yang kedua, doukyuusei, digunakan oleh siswa dan mengacu kepada teman sekelas atau mereka yang sebaya, terutama dalam lingkungan sekolah. Menurut Davies dan Osamu, hubungan horizontal seperti yang telah dijelaskan bukanlah norma dalam masyarakat Jepang, tetapi hubungan hierarki vertikal yang lebih mendominasi dalam kehidupan masyarakat Jepang (2002:187).

Menurut Reny, ada tiga istilah yang terdapat dalam bahasa Jepang yang erat kaitannya dengan sistem senioritas di Jepang, yaitu jougekankei, nenkoujoretsu, dan senpai-kouhai. Yang pertama, jougekankei (上下関係), adalah istilah yojijukugo (kata majemuk empat karakter kanji) yang terdiri dari kanji atas-bawah (上下) dan hubungan (関係), sehingga istilah ini berarti hubungan hierarki atau hubungan vertikal dan dikatakan juga sebagai istilah yang paling sesuai untuk penggunaan dalam lingkungan pekerjaan atau perusahaan di Jepang, yakni hubungan antara atasan dan bawahan.

Istilah selanjutnya adalah nenkoujoretsu (年功序列), yang juga merupakan yojijukugo dengan dua kata dasar yang menyusunnya. Kata yang pertama adalah nenkou (年功)yang berarti pelayanan atau pengabdian yang panjang dan yang kedua, joretsu (序列), yang berarti peringkat atau hierarki sehingga istilah nenkoujoretsu dapat juga diartikan sebagai senioritas yang berdasarkan panjangnya waktu pengabdian atau masa kerja di perusahaan.

Baca Juga: Yuk, Kepoin Tahun Baru di Jepang!

Yang terakhir adalah istilah senpai-kouhai (先輩後輩) yang merupakan istilah hubungan vertikal yang paling sering digunakan. Senior disebut “senpai” dalam bahasa Jepang, istilah yang memiliki sejarah panjang, pertama kali muncul dalam teks-teks Tiongkok kuno, yang merujuk pada orang-orang yang lebih tua atau lebih unggul dalam suatu kemampuan. Senpai terdiri dari sen(先)yang berarti “sebelumnya” atau “lebih awal” dan hai (輩) berarti “rekan” atau “pasangan.” Dalam bahasa Jepang kontemporer, senpai juga digunakan untuk merujuk pada mereka yang lulus lebih awal dari sekolah yang sama. Kouhai adalah kebalikan dari senpai, kou(後)berarti “nanti” atau “setelah itu,” Jadi, seorang junior atau yang baru masuk sekolah atau perusahaan yang sama setelah dirinya disebut kouhai dan dianggap lebih rendah dari senpai karena kurangnya pengalaman. Ungkapan ini juga dapat ditemukan dalam teks-teks kuno dan digunakan dengan cara yang sama sampai saat ini.

Menurut Nakane (1984:27-28), orang Jepang membedakan orang-orang dalam kehidupannya menjadi tiga kategori, yaitu senpai, kouhai, dan douryou. Kategori ini ditunjukkan ke dalam tiga metode dalam menyebut atau memanggil orang kedua atau orang ketiga, contohnya adalah Tanaka-san, Tanaka-kun, dan Tanaka (dengan tanpa akhiran tambahan). San dipakai untuk menyebut senpai, kun untuk menyebut kouhai, dan menyebut nama tanpa akhiran tambahan adalah untuk douryou. Akan tetapi, antara douryou pun, san masih digunakan untuk ditujukan kepada orang yang belum terlalu akrab dan familier, lalu jika sudah lebih akrab bisa menggunakan kun, dan ketika sudah cukup akrab bisa hanya dengan menyebut nama keluarga.

Walaupun begitu yang di pihak senpai, bisa memanggil dengan akhiran tambahan mana pun bahkan mungkin panggilan paling akrab sekalipun, tetapi kouhai akan tetap memanggil senpai dengan san. Adapun, memanggil senpai dengan menambahkan akhiran –senpai di belakang nama (contoh Tanaka-senpai) juga sering ditemukan terutama dalam lingkungan sekolah atau perkuliahan. Jika berada dalam lingkup profesionalitas, selain menggunakan san untuk senpai, sering juga menggunakan panggilan kehormatan yang lebih tinggi, yaitu sensei (先生). Kata ini terdiri dari sen yang sama dengan yang ada pada kata senpai, juga sei (生) yang berarti “kehidupan” atau “lahir.”  Panggilan ini sering digunakan pelajar untuk menyebut atau memanggil guru mereka, dan juga digunakan oleh para profesional dalam khalayak umum.

Meskipun senpai dan kouhai dapat dianggap sebagai hubungan yang saling bergantung (amae), kedua istilah tersebut tidak digunakan dengan cara yang sama. Untuk mengungkapkan bahwa seseorang adalah senpai dengan perbedaan usia atau pengalaman yang cukup besar, kouhai dapat memanggil orang itu dai-senpai ‘senpai besar’, membuat gabungan dari dai ‘besar’ dan senpai. Namun, melakukan hal yang sama dengan kouhai tidak memungkinkan. (Enyo, 2013:10)

Hal yang unik dan penting adalah bahwa penggunaan istilah sapaan ini, dengan dipengaruhi ketiga kategori di atas, yang pernah ditentukan oleh hubungan pada tahap awal kehidupan atau karier seseorang, tetap tidak berubah selama sisa hidupnya. Contohnya adalah ketika seorang murid yang berada di bawah bimbingan seorang guru akan tetap memanggil gurunya tersebut dengan sapaan sensei, walaupun jika di masa depan murid tersebut bekerja dengan gurunya saat masa sekolah sebagai sesama guru. Orang tersebut tidak akan memanggil gurunya dengan sapaan yang lazim digunakan kepada douryou. Sekali didirikan, peringkat vertikal berfungsi sebagai piagam tatanan sosial, sehingga apa pun perubahan status individu, popularitas atau ketenaran, ada keengganan yang tertanam kuat untuk mengabaikan atau mengubah tatanan yang sudah mapan (Nakane, 1984:28-29).

B. Fenomena-fenomena Sosial Budaya Sistem Senioritas

Berdasarkan paparan sebelumnya yang mengantarkan ke dalam pemahaman lebih dalam mengenai sistem senioritas dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat Jepang, dapat dilihat bahwa sistem senioritas tidak hanya sekadar filosofi ataupun sebuah konsep pola pikir, tetapi juga menjadi praktik dan menjadi dasar utama untuk turun ke dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat Jepang harus memiliki kesadaran akan posisi sebagai dasar pengetahuan utama dalam interaksi sosial dengan orang lain dan aktivitas individu di semua keadaan. Semua kebudayaan memiliki sisi positif dan negatif. Semuanya bergantung pada faktor-faktor seperti pelaku kebudayaan, waktu, dan lingkungan sekitar, begitu juga dengan sistem senioritas yang menjadi salah satu dari sistem kemasyarakatan di Jepang. Sisi positif dan sisi negatif itu dapat dilihat dari fenomena yang ada, dan cenderung problematik bahkan bagi masyarakat Jepang itu sendiri.

1. Fenomena Linguistik

Sistem senioritas tercermin dari segi linguistik, yaitu dalam bentuk tata bahasa tertentu dalam bahasa Jepang. Tata bahasa yang dimaksud adalah keigo atau bahasa honorifik, yang mencakup tiga jenis bahasa: sonkeigo (bahasa yang meninggikan orang lain), kenjougo (bahasa yang merendahkan diri sendiri), dan teineigo (bahasa sopan secara umum). Sonkeigo dan kenjougo melibatkan rangkaian ekspresi tertentu, sedangkan teineigo digunakan dalam pengertian yang lebih umum.

Baca Juga: Victim Blaming Bukanlah Suatu Budaya

Sonkeigo digunakan saat pembicara mengungkapkan rasa hormat terhadap suatu penerima atau seseorang yang sedang dibicarakan. Dalam ucapan semacam ini, posisi penerima dinaikkan oleh pembicara melalui penggunaan ekspresi kehormatan tertentu. Dalam sonkeigo, ada banyak kata kerja khusus. Salah satu contohnya adalah kata irasshaimasu yang merupakan kata khusus sonkeigo sebagai padanan kata dari kata imasu sebagai kata kerja yang polos dan netral. Adapun kedua kata itu memiliki arti “ada” untuk menunjukkan keberadaan seseorang. Dalam kalimat, bisa diterapkan sebagai berikut.

田中先生は事務室にいらっしゃいますか。

Tanaka-sensei wa jimushitsu ni irasshaimasu ka?
“Apakah Tanaka-sensei ada di kantor?”

Dengan melihat contoh kalimat di atas, dapat diketahui bahwa sonkeigo menggunakan kata-kata khusus kehormatan dengan ditujukan kepada Tanaka-sensei untuk meninggikan Tanaka-sensei, dan ini menunjukkan rasa hormat dari pembicara kepada Tanaka-sensei.

Kenjougo adalah jenis ucapan yang menurunkan status pembicara, yang mampu berkomunikasi dengan kerendahan hati. Berbicara dengan cara yang sederhana ini bertujuan untuk menunjukkan rasa hormat kepada penerima, karena merendahkan diri di hadapan atasan atau senior secara tidak langsung menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada mereka. Dalam tuturan semacam ini, ada juga istilah khusus seperti ungkapan mairimasu, bentuk kenjougo dari kata kerja ikimasu dan kimasu. Kata ikimasu berarti “pergi” dan kata kimasu berarti “datang”. Kata mairimasu ini mencakup kedua kata ini. Dalam kalimat, kata tersebut bisa diterapkan sebagai berikut.

私は明日10時に先生のお宅へ参ります。

Watashi wa ashita 10 ji ni sensei no otaku e mairimasu.”
“Besok jam 10 saya pergi ke rumah sensei.”

Jika melihat contoh kalimat di atas, pembicara merendahkan dirinya dengan menggunakan kata khusus kenjougo untuk dirinya sendiri. Ini menunjukkan rasa hormatnya kepada sensei yang dimaksud dengan cara merendahkan diri sendiri.

Selain penggunaan kata khusus dalam tata bahasa sonkeigo dan kenjougo, ada pola tata bahasa lain yang menunjukkan rasa hormat untuk meninggikan orang lain atau merendahkan diri sendiri. Contohnya adalah perubahan kata kerja dalam sonkeigo dengan menambahkan o di awal dan ni narimasu di akhir kepala kata kerja bentuk –masu. Contohnya adalah kata kerja kakimasu yang berarti “menulis.” Jika hanya mengambil kepala kata kerja masu-kei sehingga menjadi kaki lalu ditambah awalan dan akhiran tersebut, maka menjadi o kaki ni narimasu.

Selain sonkeigo dan kenjougo, teineigo adalah tingkat kesopanan dalam berbicara, menggunakan awalan o- atau go- dengan kata benda (misalnya, cha adalah netral bentuk kata benda “teh,” sedangkan o-cha lebih sopan untuk diucapkan), atau kata kerja bentuk -desu dan -masu (misalnya, iu adalah bentuk biasa atau kamus dari kata kerja “mengatakan,” dan dikonjugasikan sebagai iimasu dalam bentuk sopannya). Teineigo agak berbeda dari dua jenis keigo lainnya karena digunakan tidak hanya dengan manula tetapi juga dengan orang di sekitar diri sendiri sebagai cara untuk mengekspresikan kesopanan yang penuh hormat dalam arti umum. Oleh karena itu, Teineigo umumnya digunakan dalam hubungan dengan seluruh macam orang.

2. Fenomena dalam Lingkungan Pendidikan

Dalam lingkungan sekolah (SMP dan SMA) dan kampus, istilah sistem senioritas yang digunakan adalah senpai-kouhai. Menurut Okazaki (dalam Davies dan Osamu, 2002:190-191) hubungan antara senpai dan kouhai sangat stabil di antara siswa karena setiap orang cepat atau lambat akan menjadi senpai, kouhai, atau keduanya. Menghabiskan lebih banyak waktu dan memiliki lebih banyak pengalaman di sekolah juga memberi siswa status senpai. Terutama dalam kegiatan klub, hubungan senpai-kouhai adalah sangat penting. Di klub olahraga, kouhai biasa membersihkan ruangan, mengumpulkan bola, dan mengatur peralatan untuk senpai. Mereka juga harus membungkuk kecil atau menyapa senpai dengan hormat, juga menggunakan keigo.

Secara umum, siswa lebih menekankan pada usia daripada kemampuan di sekolah Jepang, dan aturan senioritas juga memengaruhi hubungan antara guru dan siswa. Meskipun sekolah berubah dengan cepat saat ini, di sebagian besar kelas siswa tidak akan pernah mengkritik atau membalas komentar guru. Mereka berpendapat bahwa guru harus dihormati karena usia, pengalaman, dan kemampuannya, dan apa yang dikatakan guru selalu dianggap benar. Oleh karena itu, hanya ada sedikit kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi secara nyata dengan guru di sekolah Jepang. (Davies dan Osamu, 2002:191)

Sistem senioritas di sekolah adalah sangat positif dan wajar untuk diterapkan, tetapi tetap ada poin di mana kurang relevan dengan keadaan saat ini. Senior yang memiliki peran penting dalam memberikan teladan, mengayomi, dan memberi ilmu kepada junior adalah seharusnya selaras dengan sikap hormat yang diberikan junior kepada senior. Bagian problematik yang biasanya terjadi adalah ketika senpai tidak bisa memenuhi tugas dan perannya sebagai senpai dan hanya menuntut rasa hormat dari kouhai dengan tanpa memberi kontribusi yang sesuai.

Selain itu juga masalah yang terjadi seiring perubahan zaman, seperti yang diungkapkan Davies dan Osamu (2002:192), yakni kouhai tidak mengungkapkan rasa hormat yang tinggi kepada senior seperti di masa lalu. Ditambah lagi, di masa sekarang ini ada lebih banyak variasi siswa dalam sekolah Jepang karena faktor adanya siswa yang mengulang kembali, siswa non-Jepang, dan sebagainya, sehingga menyebabkan orang cenderung menganggap usia kurang penting dan berdampak pada rasa hormat kepada senior yang dangkal. Faktor-faktor tambahan yang bertambah membuat sistem senioritas mulai goyah.

Di aspek lain, kesempatan yang sedikit bagi siswa untuk berdiskusi secara nyata dengan guru bisa juga menutup peluang siswa untuk mengeksplorasi lebih jauh, terlebih lagi jika ada kesalahan di pihak guru. Pihak guru yang selalu dianggap benar, jika ada suatu saat ketika didikan yang diberikan kurang tepat dan siswa hanya menutup mata dan menerima apa pun yang diberikan guru, hal itu akan berdampak buruk. Memperlakukan guru dengan penuh hormat dan keseganan sebagai tanda moralitas memanglah hal yang wajib dilakukan, tetapi menyamaratakan persepsi bahwa semua guru selalu benar juga kurang tepat

3. Fenomena dalam Lingkungan Perusahaan dan Karir

Bukan hanya di lingkungan sekolah, sistem senioritas juga berlaku di perusahaan Jepang. Dasar kehidupan di perusahaan Jepang adalah sistem senioritas juga sistem ketenagakerjaan seumur hidup.

Status, posisi, dan gaji masih sangat bergantung pada senioritas, dan karyawan yang lebih tua umumnya berada di posisi yang lebih tinggi dan dibayar lebih tinggi daripada bawahan mereka yang lebih muda. Selain itu, hingga saat ini, begitu orang dipekerjakan, mereka tidak akan perlu khawatir tentang jabatannya karena jabatannya terjamin seumur hidup. (Davies dan Osamu, 2002: 191-192)

Adapun sistem senioritas dalam perusahaan Jepang yang menggunakan sistem ketenagakerjaan seumur hidup cenderung dikenal dengan istilah nenkoujoretsu. Sistem ini memberikan banyak pengaruh terhadap sistem manajemen bagi perusahaan Jepang, tidak terkecuali bagi perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia. Sistem manajemen yang dipengaruhi juga mencakup sistem promosi terkait dengan pengembangan karir karyawan di perusahaan tersebut.  Menurut penelitian yang dilakukan Marion dkk. pada tahun 2012 mengenai pengaruh sistem senioritas nenkoujoretsu di salah satu perusahaan Jepang di Indonesia, ditemukan fenomena bahwa jika ada karyawan pada posisi staf tidak mengalami perubahan sejak bekerja di perusahaan tersebut, maka dapat dikaitkan dengan sistem nenkoujoretsu.

Sistem nenkoujoretsu dalam perusahaan Jepang secara umum melibatkan berbagai macam faktor untuk memberlakukan sistem promosi yang berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat. Perusahaan di Amerika Serikat mengutamakan prestasi individual seperti performa kerja, skill, kompetensi, dan keahlian sebagai faktor pemberikan promosi posisi pekerjaan. Sedangkan perusahaan Jepang mempertimbangkan faktor-faktor seperti senioritas, usia, jenis kelamin, dan status perkawinan.

Meskipun demikian, menurut Davies dan Osamu (2002:192), dalam perkembangan perusahaan di Jepang, pecahnya bubble economy membuat perekonomian tidak stabil sehingga ada peningkatan angka pengangguran, bahkan para eksekutif senior pun kehilangan pekerjaan. Ini mendorong perusahaan berevolusi menjadi perusahaan dengan prinsip “mengutamakan kemampuan individu” seperti di Amerika. Dengan begitu, terhadap sistem penggajian, orang yang berbakat dan produktiflah yang dapat menghasilkan lebih banyak uang tanpa mempertimbangkan usia. 

Selain sistem penggajian dan promosi, menurut Davies dan Osamu (2002:192), dalam dunia bisnis sistem senioritas memiliki pengaruh sangat kuat dan dapat tercermin lewat pertemuan di mana seorang karyawan junior akan duduk di dekat pintu (posisi shimoza), sedangkan yang paling senior (seringkali kepala atau bos) akan duduk di sebelah tamu penting (posisi kamiza).

Sumber gambar: 2017 Bunka Blog

Hal problematik di sini adalah berkaitan dengan budaya chinmoku (silence) yang mendorong mayoritas karyawan tidak akan menyuarakan pendapatnya, dan hanya mendengar atasan atau seniornya. Di satu sisi, hal ini adalah hal yang sopan dan merupakan bentuk rasa hormat terhadap senior. Tetapi, di sisi lain, hal ini menutup kesempatan junior untuk berekspresi apa adanya demi menjaga citra atasan atau senior. Junior akan hanya mendengarkan atasan atau senior, menyanjung mereka, dan mengungkapkan pendapat yang telah dirumuskan di belakang layar oleh atasan atau senior.

Selain itu, diungkapkan oleh Davies dan Osamu (2002:53), memamerkan kemampuan atau pengetahuan seseorang secara terbuka memberi kesan buruk pada orang lain di Jepang, dan orang-orang seperti itu dianggap tidak bijaksana, tidak sopan, dan tidak dewasa. Banyak orang di Jepang berpikir bahwa lebih baik tidak mengatakan apa-apa daripada menyebabkan kesalahpahaman atau masalah. Keheningan dalam komunikasi Jepang juga terkait dengan kesadaran hierarki sosial yang kuat di dalam kelompok dan masyarakat luas. Dalam interaksi sosial di antara orang Jepang, penting untuk mempertimbangkan orang mana yang lebih tinggi atau lebih rendah posisinya, tergantung pada usia, jenis kelamin, status pekerjaan, dan segera. Dianggap tidak sopan bagi bawahan untuk berbicara secara terbuka menentang seseorang dengan pangkat yang lebih tinggi.

C. Sudut Pandang Orang Jepang terhadap Sistem Senioritas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Michigo Yoshinaga pada tahun 2017 dengan mewawancarai orang-orang Jepang terkait sudut pandang mereka terhadap hubungan senpai-kouhai, kita bisa melihat bahwa terdapat pihak yang pro dan kontra terhadap sistem senioritas. Walaupun begitu, pihak yang berpendapat positif terhadap sistem senioritas lebih mendominasi, dan sekitar 40% responden adalah di pihak kontra. Mengenai penting tidaknya hubungan senpai-kouhai bagi masyarakat Jepang, sekitar 79% responden berpendapat bahwa sistem ini penting, 9% mengatakan tidak penting, dan 12% tidak bisa menjawab. Alasan mengapa sistem senioritas penting adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain. Hubungan senpai-kouhai berkaitan erat dengan interaksi sosial di tempat kerja, sekolah, maupun lingkaran sosial yang berjalan lancar karena ada pedoman budaya tentang bagaimana seseorang seharusnya berperilaku. Yang berpendapat sebaliknya, mengemukakan alasan bahwa sistem senioritas itu tidak penting karena sistem ini menyebabkan banyak intimidasi atau bullying dan menutup kesempatan untuk memberi pendapat dengan bebas, juga menghalangi peningkatan keakraban dalam hubungan pertemanan.

IV. Simpulan

Sistem senioritas, yang merupakan bagian dari hubungan vertikal dalam masyarakat Jepang, yang tercermin lewat fenomena yang terjadi dalam masyarakat Jepang memiliki sisi positif dan sisi negatif. Di satu sisi adalah untuk menjaga keharmonisan hubungan dan interaksi antar individu, dan di lain sisi menjadi hambatan dalam membina hubungan lebih akrab dan menghalangi hak seseorang mengemukakan pendapatnya secara terbuka, bahkan kemungkinan terburuknya adalah perilaku bullying atau intimidasi. Situasi yang problematik ini mendorong adanya sikap pro dan kontra terhadap sistem senioritas ini, dan walaupun begitu tatanan masyarakat Jepang yang sudah dikonstruksi oleh sistem senioritas membuat sistem senioritas menjadi elemen yang tidak dapat dihilangkan.

Daftar Pustaka

[1] Davies, Roger J. dan Osamu Ikeno.2002. The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Singapore: Tuttle Publishing.
[2] Enyo, Yumiko. 2013. “Exploring Senpai-Koohai Relationships in Club Meetings in a Japanese University”. Disertasi. Hawaii: Universiti of Hawai’I at Manoa.
[3] Etsuko, Tomomatsu dan Wakuri Masako. 2004. Tanki Shuuchuu Shokyuu Nihongo Bunpousou Matome Pointo 20. Edisi Pertama. Tokyo:3A Corporation.
[4] Marion, Elisa C. dkk. 2012. “Pengaruh Sistem Senioritas atau Nenkojoretsu Terhadap Perkembangan Karir Karyawan Lokal Berpendidikan S1 di Perusahaan Jepang di Indonesia”. Jurnal Lingua Cultura, 6(2):207-213.
[5] Marpaung, Laris Fransiska. 2017. “Senioritas dalam Masyarakat Jepang”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
[6] Nakane, Chie. 1984. Japanese Society. Charles E. Tuttle Company.
[7] Wiyatasari, Reny. 2019. “Budaya Senior-Yunior (Senpai-Kohai) dalam Struktur Masyarakat Jepang”. Endogami Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 2(2):137-143.
[8] Yoshinaga, Michiko. 2017. “Contemporary Attitudes Towards the Senpai-Kōhai Relationship”. Tesis. Oregon: Portland State University.

Kabzeel Rehuel
Mahasiswa Program Studi Studi Kejepangan
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Editor: Keke Putri Komalasari

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI