“Itu jelas salah sang korban, mengapa dia memakai baju pendek dan rok pendek?” Miris rasanya ketika melihat berbagai bentuk opini yang tidak berdasar seperti itu selalu bertengger pada kolom komentar berita pelecehan atau kekerasan seksual. Ketika terjadi suatu tindakan pelecehan seksual atau kekerasan seksual kepada seseorang dan justru sang korbanlah yang disalahkan itu merupakan tindakan victim blaming. Lantas pada siapakah korban harus meminta bantuan? Benarkah sisi kemanusian kian lama terkikis dengan sifat ketidak pedulian manusia?
Victim blaming sendiri muncul akibat budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding wanita. Menurut catatan tahunan oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2020 telah terjadi sebanyak 2.807 kasus di ranah dengan berbagai jenis kasus pelecehan seksual seperti pemerkosaan, eksploitasi seksual, marital rape, inses,perbudakan seksual persetubuhan dan pencabulan di segala usia. Hadirnya tindakan victim blaming ini tentu saja dapat mempengaruhi orang-orang tentang bagaimana mereka melihat sebuah tindakan kriminal. Tidak satupun tindakan kriminal pantas untuk dibenarkan dan tidak seorangpun pelaku tindak kriminal yang dengan sadar melakukan kesalahan patut untuk dibebaskan dari kesalahannya.
Trauma pada Korban
Akibat dari tindakan pelecehan seksual yang telah dialami korban akan terdapat tiga jenis atau lebih trauma yang dialami korban pelecehan seksual. Trauma yang pertama adalah trauma fisik yang dialami oleh korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Diabetes tipe 2 dan penyakit jantung merupakan contoh penyakit yang diderita oleh korban pelecehan seksual yang disebabkan oleh stress dan pola makan yang tidak teratur. Di dalam The American Journal of Preventive Medicine disebutkan bahwa 34 persen dari 67.853 pertisipan korban pelevehan seksual menderita penyakit jantung dan diabetes tipe 2. Setelah beberapa penyakit fisik yang dialami oleh korban, masih banyak orang yang menyalahkan korban dan percaya bahwa tindakan pelecehan muncul karena adanya tingkah laku korban yang mengundang hasrat.
Trauma mental dan emosional adalah hal yang paling sulit untuk disembuhkan karena ini juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Ketika seseorang mengalami pelecehan seksual selain mereka menerima tindakan kekerasan fisik, mereka juga harus menerima dan meyakinkan diri mereka bahwa semua itu bukan salah mereka. Victim blaming hanya akan menambah beban para korban yang bahkan juga tidak bisa menerima kenapa mereka bisa menjadi korban pelecehan seksual. Para pelaku victim blaming percaya bahwa korban merupakan aib bagi keluarga sehingga korban merasa malu dan memendam semua rasa yang ia alami sendiri. Pada titik ini, trauma mental yang besar dan depresi dapat muncul bahkan bisa saja menjadi bom waktu yang suatu saat nanti dapat meledak. Kalimat-kalimat negative seperti inilah yang menyuntikan mindset bahwa para korbanlah yang seharusnya menerima akibat dari tindakan mereka sendiri, hanya akan membuat kondisi korban terjatuh semakin dalam.
Peran Media
Sebenarnya seberpengaruh apakah media terhadap aksi victim blaming? Bukankah jelas bahwa Indonesia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemajuan dalam bidang teknologi. Namun, kita masih kecolongan dengan berbagai berita yang hanya mengeksploitasi sang korban. Sudah banyak berita dan orang berkeliaran di media massa yang membahas tentang kasus pelecehan seksual. Tragisnya, tidak sedikit orang yang masih berpikiran bahwa sebuah tindakan pelecehan ada karena sang korbanlah yang terkesan untuk menjual dirinya sendiri. Lantas apakah ucapan mereka memiliki dasar? Dewasa ini, beberapa isu tentang pelecehan menjadi sangat populer terutama tindakan pemerintah yang belum juga mengesahkan RUU PKS.
Mengapa belum disahkan? Padahal korban sudah mulai berjatuhan di sana-sini. Orang-orang juga sudah mulai sadar akan bahanya pelecehan dan efek samping yang ditimbulkan. KUHP Pasal 285 mendefinisikan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Seolah-olah hanya menekankan orang yang mengalami pelecehan seksual bentuk perkosa lah yang berhak melapor.
Hal ini memunculkan cara pandang bagi Mereka yang membela pelaku dan menyalahkan korban walapun hanya memiliki satu alasan, dengan bangganya melantangkan kalimat cemooh terhadap korban. Berita benar-benar dengan mudahnya berkeliaran di media sosial, entah benar atau salahnya sebuah berita tetap akan menjadi konsumsi publik. Jika terus-menerus orang-orang mampu dan sampai hati untuk menuliskan komentar cemoohan, maka sang korban akan merasa semakin terpojokan dengan dirinya dan keadaan.
Hilangnya Rasa Empati
Terdapat beberapa faktor yang mendorong perilaku victim blaming seperti faktor institusional, faktor individu dan faktor situasi. Tidak sedikit orang yang merasa bahwa mereka pernah berada di situasi yang sama dengan korban namun memakai pakaian yang berbeda. Hal itulah yang memunculkan perilaku menyalahkan tentang apa yang korban kenakan disaat itu. Sedangkan faktanya, jenis pakaian apapun asalkan tidak membahayakan orang disekitarnya bukan merupakan tindakan yang melawan hukum.
Terlalu banyak normalisasi pada tindakan pelecehan hingga banyak orang lupa bahwa korban membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Melihat banyaknya kasus yang terjadi mengenai penyakit mental pada korban seharusnya membuat orang-orang sadar dan lebih berhati-hati dengan apa yang akan mereka sampaikan. Berbeda pendapat boleh, namun yang salah tetap harus mendapat hukuman dan yang benar juga patut untuk dibela.
Semua golongan masyarakat wajib untuk merangkul para korban tindakan pelecehan seksual. Ketika tindakan victim blaming ini mulai dinormalisasi maka cara berpikir kita lah yang seharusnya diubah. Karena pada kenyataanya, pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja terlepas dari agama, status, gender, pekerjaan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensinya, sang korbanlah yang harus menanggung semua masalah yang mereka hadapi yang jelas disebabkan oleh orang lain.
Firda Arum Zaini
Mahasiswa Sampoerna University
Editor: Rahmat Al Kafi
Baca Juga:
Stop, Bullying di Kalangan Anak
Ketidaksesuaian Cyber Bullying dengan Pancasila
Audrey dan Alarm Darurat Bullying di Kalangan Remaja