Generasi sandwich adalah istilah yang mengacu pada seseorang yang menanggung tanggung jawab bertanggung jawab atas dirinya sendiri, orang tua, dan adik-kakak. Mereka harus mengorbankan waktu, energi, dan sumber daya untuk untuk memastikan kesejahteraan dua generasi. Kondisi ini dapat menambah tekanan psikologis karena mengingat tuntutan yang datang dari kedua arah.
Mulai dari orang tua yang membutuhkan bantuan keuangan, saudara yang sedang bersekolah maupun kakak yang menganggur, dan dirinya sendiri yang membutuhkan self reward dan tabungan. Di kasus ini, anak pertama yang paling banyak menjadi generasi sandwich, bahkan anak tengah pun mengalaminya.
Secara ekonomi, generasi sandwich sering kali menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keuangan. Pengeluaran besar, seperti biaya kesehatan orang tua dan kebutuhan pendidikan saudara, terus meningkat. Beban ekonomi ini semakin terasa berat jika mereka memiliki cicilan atau utang yang harus dibayar.
Tanpa perencanaan keuangan yang baik, mereka bisa terjebak dalam utang yang sulit dihentikan. Pendapatan yang terbagi antara memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan pribadi sering kali membuat mereka merasa tertekan secara keuangan.
Generasi sandwich sering terjebak dalam dilema antara memenuhi kebutuhan orang tua dan saudara atau memenuhi kebutuhan pribadi. Mereka menjadi yang kesulitan menabung untuk masa depan karena lebih memprioritaskan keluarga.
Akibatnya, tabungan pribadi atau dana pensiun yang seharusnya sudah dipersiapkan, sering kali terabaikan. Semakin sedikit tabungan yang dimiliki, semakin besar kekhawatiran mereka terhadap masa depan keuangan mereka. Beberapa terpaksa menunda rencana masa depan, seperti membeli rumah atau mempersiapkan dana pensiun
Kondisi ini sering memperburuk keadaan psikologis mereka, karena mereka merasa bertanggung jawab tidak hanya terhadap keluarga, tetapi juga terhadap diri mereka sendiri. Rasa bersalah muncul ketika mereka harus mengorbankan waktu untuk diri sendiri demi kebutuhan orang lain.
Tekanan yang terus-menerus ini dapat menyebabkan kecemasan terkait stabilitas ekonomi mereka di masa depan. Generasi sandwich sering merasa terbebani karena tak banyak yang bisa memahami beban yang mereka tanggung. Hal ini dapat berdampak negatif pada kinerja mereka di tempat kerja dan hubungan sosial mereka.
Di dunia kerja, banyak generasi sandwich memilih pekerjaan dengan penghasilan tetap meski harus bekerja lebih keras. Mereka merasa perlu mempertahankan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun, sering kali, antara karier dan kewajiban keluarga, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka. Banyak yang kehilangan waktu produktif, seperti berolahraga atau melakukan hobi, karena terlalu fokus bekerja. Hidup mereka jadi didominasi oleh rutinitas kerja untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Tantangan ekonomi semakin diperburuk dengan biaya hidup yang terus meningkat. Harga kebutuhan pokok, bahan bakar, dan layanan kesehatan terus melonjak, sementara pendapatan mereka tidak ada kenaikan.
Hal ini memaksa mereka untuk membuat pilihan sulit, misalnya mengurangi kegiatan pribadi atau mencari penghasilan tambahan dengan bekerja sampingan. Pekerjaan sampingan ini tentu memerlukan waktu dan tenaga ekstra yang semakin menambah beban mereka. Generasi sandwich pun sering merasa kelelahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Beban keuangan yang semakin besar dapat berdampak buruk pada kualitas hidup mereka, baik fisik maupun mental. Terbatasnya waktu untuk beristirahat atau berolahraga membuat mereka rentan terhadap kelelahan fisik yang kronis.
Stres yang berlebihan dapat memicu gangguan kesehatan seperti hipertensi atau masalah tidur. Selain itu, terlalu fokus pada pemenuhan kebutuhan orang tua dan saudara, mereka sering mengabaikan pentingnya menjaga kesehatan emosional. Padahal, menjaga keseimbangan emosional sangat penting agar mereka dapat menjalankan peran sebagai tulang punggung keluarga dengan baik.
Tantangan keuangan ini juga berdampak pada kesulitan generasi sandwich dalam merencanakan masa depan mereka. Mereka cenderung lebih fokus pada kebutuhan keluarga, sehingga tabungan untuk pensiun atau investasi lainnya terabaikan.
Ketidakpastian ekonomi global dan perubahan pasar kerja menambah kekhawatiran tentang masa depan keuangan mereka di jangka panjang. Tanpa persiapan yang matang, mereka merasa tidak siap menghadapi masa pensiun atau kondisi darurat yang membutuhkan dana besar. Beban ini semakin terasa berat, terutama bagi mereka yang berada di usia produktif dan harus merencanakan masa depan dengan bijak.
Beban ekonomi yang dihadapi generasi sandwich sering menciptakan ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Mereka memiliki penghasilan yang terbatas, namun pengeluaran mereka jauh lebih besar karena tanggung jawab terhadap dua generasi. Hal ini menyulitkan mereka untuk membangun kekayaan atau aset pribadi yang bisa memberikan kebebasan keuangan di masa depan.
Terjebak dalam situasi ini, mereka semakin sulit untuk keluar dari jerat ekonomi yang membatasi mobilitas keuangan mereka. Hidup mereka terasa terbatas oleh kewajiban keuangan yang seakan tidak kunjung selesai.
Fenomena keterbatasan ini juga menunjukkan adanya kesenjangan dalam sistem kesejahteraan sosial. Kebijakan pemerintah terkait pensiun atau jaminan sosial sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan generasi sandwich.
Terutama dalam hal perawatan orang tua yang semakin menua, generasi sandwich sering merasa terbebani. Ketiadaan sistem jaminan kesehatan yang memadai atau dukungan bagi keluarga yang merawat orang tua semakin membuat mereka tertekan. Mereka pun harus mencari solusi mandiri, yang tentu saja membutuhkan biaya tambahan yang semakin memperberat beban ekonomi mereka.
Generasi sandwich sering kali merasa terjebak dalam dilema keuangan yang sulit dihindari. Mereka merasa harus memilih antara membantu orang tua yang membutuhkan atau memastikan pendidikan adik-adik mereka. Namun, semakin lama mereka menunda memikirkan masa depan pribadi, semakin kecil peluang mereka untuk membangun kebebasan mengatur keuangan.
Keputusan-keputusan sulit semacam ini membuat mereka merasa terpuruk dalam ketidakpastian, karena tidak tahu apakah mereka bisa menjaga keseimbangan antara keluarga dan diri mereka sendiri. Tekanan ekonomi ini menyebabkan perasaan putus asa yang semakin mendalam.
Tekanan ekonomi yang begitu besar membuat generasi sandwich sering merasa frustasi dan tertekan. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kewajiban keluarga, namun merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya.
Tidak ada cukup waktu untuk beristirahat atau merencanakan masa depan yang lebih baik. Tekanan keuangan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi mereka secara individu, tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas hubungan keluarga mereka. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, yang semakin memperburuk keadaan mental dan emosional mereka.
Untuk itu, penting bagi generasi sandwich untuk mencari dukungan, baik dari keluarga maupun lembaga keuangan. Mereka perlu merencanakan secara bijak untuk memecah siklus tekanan ini dan mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik.
Dengan adanya dukungan yang tepat, mereka bisa mulai mengelola keuangan dengan lebih bijaksana. Hal ini akan membantu mereka merencanakan masa depan yang lebih stabil, baik dari segi keuangan maupun emosional. Dengan cara ini, generasi sandwich dapat menjalani peran mereka sebagai tulang punggung keluarga tanpa mengabaikan kesejahteraan pribadi mereka.
Penulis:Â Annisa Ramadhani Fadila Aristy
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Universitas Tidar
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News