Selama bertahun-tahun, disabilitas kerap dipandang semata-mata sebagai kondisi fisik atau mental yang perlu “disembuhkan”. Pandangan ini dikenal sebagai pendekatan medis terhadap disabilitas, yang menganggap bahwa ketidakmampuan seseorang adalah akibat dari kondisi individu itu sendiri—baik secara fisik, mental, maupun intelektual.
Dalam kerangka ini, disabilitas dianggap sebagai “masalah pribadi” yang harus ditangani melalui rehabilitasi, intervensi medis, atau bahkan pemisahan dari masyarakat. Namun, seiring berkembangnya kesadaran sosial dan gerakan penyandang disabilitas, pendekatan ini dinilai tidak cukup adil. Perspektif baru pun berkembang, yaitu pendekatan sosial terhadap disabilitas.
Dalam pendekatan ini, disabilitas dipahami bukan hanya dari sisi individu, melainkan juga sebagai hasil dari interaksi antara individu dengan hambatan sosial, lingkungan, dan kebijakan yang tidak inklusif. Pendekatan sosial ini muncul dari perjuangan panjang komunitas penyandang disabilitas yang menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak mereka sebagai warga negara.
Model ini memberikan ruang bagi kita untuk mengkritisi sistem pendidikan, transportasi, hingga hukum yang sering kali mengecualikan kelompok disabilitas. Dengan kata lain, bukan orang yang harus menyesuaikan diri dengan sistem, tetapi sistemlah yang harus berubah agar dapat mengakomodasi keberagaman.
Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan kursi roda bukan “tidak mampu berjalan”, tetapi menjadi “tidak mampu mengakses” bangunan jika tidak tersedia jalur landai atau lift. Disabilitas terjadi bukan semata-mata karena kondisi tubuh, tetapi karena lingkungan yang tidak mendukung keberagaman tubuh manusia. Dengan demikian, disabilitas adalah persoalan struktural dan politik, bukan hanya persoalan medis.
Baca Juga: Kisah Inspiratif Aktivis Penyandang Disabilitas dalam Mengubah Stigma Negatif
Sayangnya, masyarakat masih banyak yang memandang penyandang disabilitas dengan penuh stigma. Mereka dianggap tidak produktif, menjadi beban, atau bahkan dikasihani secara berlebihan. Sikap ini berakar dari ketidaktahuan dan kurangnya representasi yang adil terhadap penyandang disabilitas dalam media, pendidikan, dan ruang publik. Padahal, banyak penyandang disabilitas yang aktif berkarya, berorganisasi, bahkan menjadi pemimpin dalam komunitasnya.
Stigma ini bisa berdampak pada rendahnya partisipasi sosial, ekonomi, dan politik penyandang disabilitas. Data dari Badan Pusat Statistik (2020) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja bagi penyandang disabilitas hanya sekitar 45,9%, jauh di bawah rata-rata nasional. Ini bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena sistem dan lingkungan belum membuka akses yang setara.
Peran media sangat penting dalam membentuk citra penyandang disabilitas di mata publik. Sayangnya, masih banyak tayangan yang menggambarkan mereka secara stereotipikal, sebagai objek belas kasihan atau sebagai pahlawan yang “luar biasa”.
Narasi ini justru memperkuat jarak antara penyandang disabilitas dan masyarakat umum, alih-alih membangun pemahaman yang setara dan empatik. Representasi yang adil, manusiawi, dan beragam harus menjadi komitmen media arus utama maupun media alternatif.
Inklusi Sosial: Mengubah Sistem, Bukan Menyalahkan Individu
Konsep inklusi sosial menjadi kunci penting dalam pembangunan yang adil. Inklusi berarti memberikan ruang yang setara bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas, untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah memberikan dasar hukum untuk menjamin hak-hak mereka. Namun, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.
Baca Juga: Pengaruh Lingkungan Sekolah Inklusi bagi Anak Disabilitas
Sekolah yang ramah disabilitas, ruang publik yang aksesibel, layanan kesehatan yang inklusif, serta media yang merepresentasikan disabilitas secara bermartabat adalah contoh nyata dari upaya membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Ini semua hanya bisa dicapai jika masyarakat mengubah cara pandangnya—dari melihat disabilitas sebagai kelemahan, menjadi melihatnya sebagai bagian dari keberagaman manusia.
Kebijakan afirmatif seperti kuota kerja untuk penyandang disabilitas dan penyediaan alat bantu di sekolah atau tempat kerja sering kali belum dilaksanakan secara konsisten.
Tantangan terbesar bukan hanya soal anggaran, tetapi juga soal komitmen dan kesadaran dari para pembuat kebijakan. Diperlukan kolaborasi antarsektor—pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil—untuk memastikan bahwa prinsip inklusi tidak berhenti di atas kertas, melainkan benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Bergerak dari Simpati ke Solidaritas
Dalam memahami disabilitas, kita perlu bergerak dari sekadar simpati menjadi solidaritas. Artinya, bukan hanya merasa iba, tetapi aktif mendorong perubahan sistemik agar penyandang disabilitas bisa hidup setara dan bermartabat. Mahasiswa, akademisi, media, pemerintah, hingga masyarakat umum memiliki peran untuk membongkar stigma dan membangun sistem yang benar-benar inklusif.
Baca Juga: Stereotip terhadap Disabilitas, Sudahkah Terapkan Perlawanannya di Indonesia?
Disabilitas bukanlah kekurangan. Yang kurang adalah akses, kesempatan, dan keberpihakan dalam sistem sosial kita. Saatnya kita berhenti membicarakan disabilitas sebagai “masalah individu”, dan mulai mengakui bahwa tantangan sebenarnya ada pada lingkungan yang belum sepenuhnya adil.
Membangun solidaritas berarti mengakui bahwa perjuangan penyandang disabilitas adalah bagian dari perjuangan kita semua untuk menciptakan masyarakat yang setara dan manusiawi. Ini bukan tentang “membantu mereka”, tetapi tentang membongkar ketidakadilan yang kita semua warisi, dan bersama-sama menciptakan dunia yang benar-benar inklusif untuk semua.
Penulis: Giacinta Pavita Dita Awina
Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka & Referensi Daring
Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Oliver, M. (1990). The Politics of Disablement. Macmillan Education UK.
WHO & World Bank. (2011). World Report on Disability.
Ikuti berita terbaru di Google News